Share

6

"Apa?"

"Iya ... aku tidak akan mengulang perkataan dua kali. Aku sudah kirim rekaman video perselingkuhan itu ke ayah mertua."

Resikonya jelas, ayah mertua akan kumat sakit jantung, masuk rumah sakit dan kritis, selain itu belajar akan  murka, dan boleh jadi membatalkan warisannya untuk Mas Alvin.

Ya, mertuaku cukup kaya dan punya banyak aset, dia telah berencana membagikan setengah harta untuk kedua anaknya, yakni Mas Alvin dan adiknya Disha. Tapi, jika suamiku membuat skandal, aku tak yakin semua harapannya tak  akan berjalan mulus.

"Tunggu Indira ..!" Baru saja hendak melangkahkan kaki meninggalkan pria yang kemejanya sudah berantakan akibat bercinta itu, ponsel suamiku berdering. 

Ketika meraih gawainya ayah anak anakku terlihat gemetar dan syok. Dia melihatku dan pacarnya itu bergantian, tentu dengan ekspresi pucat sekali.

"Apakah itu dari ayah mertua."

"I-iya."

"Bagus," ujarku sambil membalikkan badan.

"Tunggu, kau harus katakan pada ayah bahwa ini salah paham, kita bisa celaka!" Teriaknya.

"Itu urusanmu!" jawabku sambil berjalan dan menjauh, di ujung koridor aku tak mampu menahan tawa bahagia. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya 

Tring ....!

Ponselku berdering saat aku tiba di lokasi parkir. 

"Halo."

"Apa yang kau tunjukkan pada ayah mertuamu?" tanya Ibu mertua. Wanita setengah tua yang cukup tegas dan sedikit sombong itu. Aku bisa bertahan jadi menantunya karena aku tinggal berjauhan, andai kami serumah, entah apa yang akan terjadi padaku.

"Aku mengirimkan kenyataan."

"Kau tidak perlu serendah itu untuk mempermalukan suamimu! Sekarang ayah mertuamu  pingsan! Apa kau mau bertanggung jawab jika terjadi sesuatu. Jika sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, aku bersumpah akan membuatmu mendapatkan akibatnya."

"Mami, tolong jangan menelpon dulu, ayo bawa ayah ke rumah sakit," ujar adik Mas Alvin dari seberang sana. Pasti sudah terjadi kekacauan seperti yang kubayangkan.

"Lihat akibat perbuatanmu ...."

"Bukan ibu saja yang menanggung resiko perbuatan Mas Alvin, tapi aku juga menderita."

Telepon berakhir tanpa ada percakapan lagi di antara kami berdua mungkin karena situasinya darurat jadi panggilan diakhiri tanpa mengucapkan kata pamit. Lagi pula ibu mertua terdengar sangat marah.

*

Aku kembali ke hotel dan sesampainya di sana aku langsung menuju ke kamar, meletakkan tas dan jaket lalu duduk di depan kaca rias menghapus riasan.

Tring ...

Pesan dan pesan lagi. Tentu saja, mulai sekarang aku tidak akan berhenti menerima pesan, karena terjadi situasi kacau yang cukup gawat.

(Papi belum sadarkan diri hingga sekarang. Ini semua akibat pesan yang kau kirimkan!)

(Kenapa malah menyalahkanku, bukankah itu akibat perbuatanmu sendiri. Jadi tanggung saja!)

(Kau keterlaluan sekali.)

(Apa bedanya denganmu.) Kujawab seperti itu dan langsung mematikan paket data, agar aku tak perlu menerima kabar yang tidak terlalu dibutuhkan.

Keesokan hari, aku dan anak anak kembali  ke rumah. Kami nikmati sarapan prasmanan lalu meluncur pulang.

"Kenapa tadi malam papa tidak kembali Bunda?"

"Karena sibuk sekali."

"Besok kita sekolah kan Bund?"

"Iya, besok kan Senin, Sayang," jawabku sambil membelai pelan rambut putriku lalu kami segera meluncur pulang.

Kuparkirkan mobil di garasi lalu naik pelataran rumah beriringan dengan kedua anakku, kubuka pintu lalu masuk ke dalam dan berencana langsung membereskan rumah agar pikiranku teralihkan dari kejadian menyakitkan semalam. Kubereskan tas anak anak, lalu mengambil vakum cleaner dan menyapu, mengepel, dan mengelap kaca.

Aku turun ke dapur setelah membersihkan lantai dua, mencuci piring bekas makan kemarin lalu menyikat kompor dan memberikan meja dapur. Selagi melakukan semua tugas itu aku kembali teringat tentang kejadian yang sukses meremukkan hati ini. Bagaimana Mas Alvin menyentuh punggung  wanita itu dengan gairah, memeluk tubuh sintalnya, menggendongnya, mencium dan mencurahkan segala kerinduan terlarang mereka. Tiba tiba kesesakan hatiku membuncah dan membuatku tak sanggup menahan air mata. Aku duduk di posisi menyender ke lemari dapur, lalu menangis sejadi jadinya dengan kepedihan hati yang tak sanggup kutahan lagi.

"Ya, Tuhan, tolong biarkan aku melupakan semua perbuatan bejat itu. Semakin teringat, semakin sakit hati ini." 

Segera kuhapus air mata dan  melepas sarung tangan  yang  kugunakan untuk mengerjakan tugas  dapur itu. Aku tak boleh terlihat menangis di depan anakku, agar mereka tak perlu menyadari apa yang terjadi.

Tring... tring ...

Ponsel rupanya berdering dari tadi namun aku tak menyadarinya. Kupikir itu pasti dari suamiku hingga kurasa aku tak perlu menjawabnya. Aku tak peduli.

Ternyata setelah diperiksa itu telpon dari Disha adik iparku.

(Ada apa yang Disha?)

(Papi udah gawat, apa mbak gak mau datang ke rumah sakit.)

(Aku akan datang.) Tentu saja aku akan datang untuk melihat penderitaan mereka.

Teringat dulu, ayah mertua adalah orang yang paling menentang hubungan kami. Dia melarang Mas Alvin mendekatiku yang berasal dari keluarga menengah, dia bahkan tidak Sudi menghadiri pernikahan kami karena merasa ia tak selevel dengan keluargaku. Sekarang sekeluarga sombong itu akan mendapatkan akibat perbuatan mereka.

*

Aku telah sampai di ambang pintu ICU ketika terdengar pecah suara tangis yang begitu memilukan. Ibu mertua terdengar histeris dan memanggil suaminya dengan ucapan.

"Mas Hendro, bangun Mas. Jangan tinggalkan aku sendiri....!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status