Share

Bab 5

“Semalem lo lembur lagi, Nggun?” Aku baru saja mendudukan diri di atas kursi ketika Mbak Pita bertanya padaku.

“Iya, nih, Mbak.”

“Heran banget gue, kenapa Pak Mahesa demen banget ngajakin lo lembur.” Reno yang berada di sebelahku ikut menimpali.

“Udah ketahuan banget, nih, siapa yang bakal dapet bonus paling banyak akhir tahun ini. Jangan lupa traktir kita-kita ya, Nggun.” Mbak Pita berucap menggodaku.

“Percuma dapet bonusan banyak, kalo badan remuk semua. Gue, mah, gak peduli bonusan gede, Mbak. Sehari aja gue bisa tidur tepat waktu, udah bikin gue sujud syukur.”

Reno dan Mbak Pita tertawa mendengar keluhanku.

“Tapi, emang sih, akhir-akhir ini Pak Mahesa kayak lagi orang kesurupan kerja. Apesnya, yang jadi tumbal nemenin dia lembur, elo, Nggun. Gue kayaknya harus berterima kasih deh, sama lo, karena udah menyelematkan gue dari maut ini. Gak kebayang sih, kalo gue jadi lo.” Mbak Pita bergidik sendiri membayangkan. Lihat, kan, teman-teman kantorku saja ogah, apalagi aku.

“Ah, lo, Mbak. Mentang-mentang gue anak baru, enteng banget numbalin gue ke bos.”

Mbak Pita tertawa. “Tapi, serius, gue gak ikut andil kalo masalah lembur ginian. Ini murni keputusan Pak Mahesa ngajak lembur siapa.”

“Tapi kok, gue curiga, ya, kenapa yang diajak lembur Mbak Anggun mulu seminggu berturut-turut. Biasanya, kan, pak bos gak pernah gini. Kalo dulu biasanya kita itu ganti-gantian diajak lembur. Iya, gak, sih?” Rachel yang sedari tadi diam ikut menimpali.

“Lo curiga apa, Chel? Curiga kalo Pak Mahesa naksir si Anggun?” tebakan Reno membuat mataku otomatis membulat. Jangan sampai gara-gara omongan ngawur Reno, orang-orang kantor jadi berasumsi yang macam-macam. Bukan apa-apa, aku hanya tidak suka berada diposisi di mana aku digosipkan dekat dengan seseorang, apalagi orangnya adalah Pak Mahesa.

“Ngaco lo, Ren!” Aku segera menepis asumsi ngawur Reno.

“Eh, tapi masuk akal juga yang dibilang Rachel. Jangan-jangan Pak Mahesa modus aja ngajak lo lembur karena naksir sama lo, Nggun.”

“Gak usah ngomong yang aneh-aneh, deh, Mbak. Orang kalo suka itu gak mungkin bikin orang yang disukai sengsara. Kalo situasinya gini gue curiga justru pak bos punya dendam kesumat sama gue.”

“Tapi, bisa aja loh, Mbak, pak bos itu pengin lama-lama sama Mbak Anggun mulu, makanya ngajakin lembur.” Rachel berusaha memperkuat asumsinya.

Aku mengibaskan tangan. “Asumsi lo makin lama makin ngawur, Chel.”

“Gini, deh, gue tanya. Kalo semisal nih, semisal, ya, Pak Mahesa beneran naksir lo, Nggun. Reaksi lo bakal gimana?” Reno bertanya yang diangguki oleh Mbak Pita dan juga Rachel. Mereka bertiga menatapku dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Ingin sekali mendengar jawaban yang keluar dari mulutku.

Pak Mahesa? Naksir aku? Kalo pernyataan semacam itu diucapkan lima tahun yang lalu, mungkin saja aku akan percaya. Namun, kini, setelah apa yang terjadi antara kami, aku sangsi Mahesa – yah, maksudku Pak Mahesa masih menyimpan rasa padaku.

“Gue justru takut kalo Pak Mahesa sekarang bener-bener naksir gue.”

Mereka kompak mengerutkan alis mendengar jawaban tak terduga dariku.

“Takut kenapa?” tanya Mbak Pita.

“Ya, takut. Bayangin aja, gue sama Pak Bos baru-baru ini kenal dan kerja bareng. Gimana bisa Pak Bos dengan mudahnya naksir sama gue secepet itu? Maksudnya, apa yang diliat dari gue coba? Sedangkan, kami aja ngobrol cuma masalah kerjaan. Dari sudut pandang mana yang bikin dia bisa naksir sama gue? Jangan-jangan gue mau dijadiin korban ke-playboy-annya lagi. Bisa jadi, kan?”

“Dari mana lo tahu kalo bos kita playboy?” tanya Reno.

“Itu asumsi gue aja. Lo bayangin aja, deh, mana ada cowok yang langsung naksir sama cewek yang baru aja dikenalnya, kalo bukan karena cowok itu playboy.”

“Tapi iya juga, sih, tampang Pak Mahesa mendukung banget kalo jadi cowok playboy gitu,” ucap Rachel.

“Tapi, kan, Pak Mahesa ganteng. Emangnya lo gak tergiur sama muka gantengnya itu?” tanya Mbak Pita.

“Duh, buat apa muka ganteng kalo cuma bisa nyakitin, Mbak.”

“Siapa yang suka nyakitin?” Aku terlonjak ketika mendapati Pak Mahesa sudah berdiri di belakangku. Kami kompak kembali ke kubikel masing-masing.

Sejak kapan bos ada di sini? Duh, jangan-jangan dia mendengar semua percakapan kami. Mati!

“I-ini, Pak, mantannya Anggun. Orangnya sih, ganteng, tapi suka nyakitin, jadi Anggun milih buat mutusin mantannya.” Reno mengarang cerita pada Pak Mahesa. Aku takut-takut melirik ke arah Pak Mahesa. Untungnya bosku percaya saja dengan apa yang diucapkan Reno. Selamat. Kami selamat!

“Oh, baguslah. Memang sudah seharusnya kamu memutuskan cowok brengsek seperti itu.”

Aku tersenyum canggung. Diam-diam bernapas lega karena Pak Mahesa tidak mendengar percakapan kami.

“Ya, sudah, kalian lanjutkan kerjanya, saya mau ke ruangan saya dulu.” Setelahnya Pak Mahesa pergi meninggalkan kami yang masing-masing mengusap dada lega karena berhasil mengibulinya. Maafkan kami, Pak.

“Cerdas lo, Ren. Emang cocok lo, jadi pendongeng handal.”

***

“Gue kayaknya beneran mau resign deh, Ser.”

Sera yang kini sedang duduk di sampingku otomatis menoleh. “Nah, kan, kan, mulai kumat lagi otak tumpul lo.”

“Kok lo malah ngatain gue, sih!” Aku sewot tidak terima.

“Ya, lo kalo ngomong resign enteng banget kayak beli gorengan di trotoar depan. Emangnya lo mau jadi gembel lagi, hah? Lontang-lantung gak jelas, gak punya kerjaan?”

“Tapi, gue beneran gak kuat.” Aku berakting seolah-olah terluka, melambaikan tangan ke kamera dan berekspresi sedih.

Sera berdecak. “Lo gak kuat kenapa, sih? Bos lo emang ngelakuin hal yang bikin lo pincang, gak bisa jalan lagi?”

Aku mengangguk mantap. “Dia bikin pinggang gue encok kelamaan duduk tiap hari.”

“Ya elah, kalo itu mah, lo tinggal ke tukang pijet weekend nanti. Dijamin sembuh deh, pinggang encok lo itu.”

“Tapi, kan ….”

“Tapi apa? Lo tuh, kalo dinasehatin cuma masuk kuping kanan, keluar kuping kiri, ya.” Sera yang gemas kepadaku hendak melempar bantal ke arahku, yang langsung kuhindari.

“Nih, ya, Nggun, dengerin gue. Lo tuh baru kerja belum ada sebulan, dan lo juga harus inget kalo tempat lo kerja sekarang itu perusahaan idaman orang-orang. Semua orang pengin punya kesempatan kerja disana. Sementara lo, yang udah pasti kerja di sana malah mau resign karena alasan bos lo. Lo gak mikir ya, lo mau hidup gimana kalo gak kerja sekarang?”

Aku diam. Meresapi perkataan Sera. Sebenarnya niat untuk resign itu tidak akan pernah ada kalau aku tidak bertemu dengan Pak Mahesa. Aku juga tidak akan masalah jika bosku menyuruhku lembur, asalkan bosku itu bukan Pak Mahesa. Aku merasa seperti sedang dipermainkan olehnya. Ada yang aneh dengan tingkahnya. Pria itu seolah tidak mengenalku di awal, tetapi sengaja menyiksaku ketika sudah bekerja dengannya. Sekarang aku merasa sedang ditertawakan oleh Pak Mahesa karena dia berhasil membalaskan dendamnya dengan menyiksaku di kantor. Ini benar-benar membuatku dongkol dan merasa dipermainkan.

“Udah deh, daripada lo kebanyakan mikir, mending besok kita nge-mall aja gimana? Lo emangnya gak kangen cuci mata liat barang-barang keluaran terbaru? Gue denger brand make up kesukaan lo lagi ngadain promo di GI.”

Mataku langsung melek begitu mendengar informasi berharga dari Sera.

“Seriusan lo? Dapet info dari mana?”

Sera mengangguk mantap. “Tadi pagi gue liat di story instagramnya. Gas gak, nih?”

Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini. Daripada pusing memikirkan Pak Mahesa, lebih baik aku cuci mata di mall.

“Gas lah. Ya kali gue mau melewatkan kesempatan langka ini.”

“Nah, gitu, dong. That’s my girl.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status