Share

Bab 6

Hari ini weekend. Seperti yang kami rencanakan semalam, aku dan Sera berencana pergi ke mal untuk cuci mata. Walaupun belum gajian, tetapi hasrat untuk jalan-jalan ke mal sambil melihat-lihat produk keluaran terbaru sudah memuncak. Apalagi informasi dari Sera, katanya akan ada promo brand make up kesukaanku. Aku tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakannya. Maklum, wanita. Kalau weekend dan bingung mau pergi kemana, sudah pasti tujuan akhirnya adalah mal. Ditambah ada promo. Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang dua kali. Maka dari itu, aku tidak akan menyia-nyiakannya.  

Aku sudah siap sejak jam sepuluh lalu, tetapi seperti yang sudah kuduga, tuan putri Sera baru bangun ketika aku sampai di apartemennya. Alhasil, aku harus lebih dulu membangunkannya seperti seorang ibu yang membangunkan anaknya untuk pergi ke sekolah.

Asal kalian tahu. Membangunkan Sera itu tidak gampang. Butuh effort lebih dari bekerja dua belas jam hanya untuk membangunkannya. Kalau kataku, Sera itu seperti tidur mati. Setelah matanya terpejam, dia akan terlelap seakan hidup abadi di alam mimpi. Bahkan kalau terjadi gempa atau bencana alam lainnya, mungkin saja Sera tidak akan bangun saking lelapnya.

“Lo kemarin janji, kita berangkat jam sepuluh. Sekarang udah jam setengah sebelas dan lo masih mau tidur? Bangun Ser!” Aku mengguncang tubuhnya berkali-kali, membuat Sera menggeliat.

“Lima menit lagi, Nggun. Lima menit.”

“Gak! Gak ada lima menit, lima menitan. Lo bangun sekarang atau gue ambil air dari kamar mandi, nih.” Mendengar ancamanku yang terdengar tidak main-main membuat Sera buru-buru bangkit.

“Gue tuh, baru ganti seprei semalem. Enak aja mau lo siram!” sewotnya.

“Bodo amat. Gue gak peduli!”

“Jahat lo.” Sera akhirnya bangkit dan duduk di kasur sambil mengucek matanya. “Ya udah gue mau mandi dulu.”

“Cepetan!”

“Bawel!”

Aku memutuskan untuk menunggu Sera yang sedang mandi sambil menonton televisi. Butuh waktu lama hingga Sera siap mandi dan merias diri. Tau kalau aku akan marah padanya, perempuan itu segera merangkulku untuk keluar dari apartemen.

“Hari ini gue yang traktir makan, deh. Udah, gak usah manyun gitu bibirnya.” Sera ini tau saja apa yang menjadi kelemahanku. Barang gratisan. Makanya setelah mendengar kata traktir keluar dari mulutnya, aku langsung tersenyum sumringah.

“Dasar matre lo! Giliran ditraktir aja langsung naik bibir lo, senyam-senyum.”

“Salah siapa bikin gue nunggu lama.”

“Salah sendiri semalem ngajak gue nonton drakor sampe jam dua. Wajar lah, gue bangun siang.”

Aku melotot mendengarnya menuduhku. “Helow? Siapa yang semalem ngerengek minta gue jangan pulang dulu? Duh, dasar mulutnya ini minta gue tarik, ya.” Sera hanya tertawa-tawa mendengar ucapanku.

Kami sampai di parkiran basemen mal setengah jam kemudian, mengendarai mobilku. Aku dan Sera langsung naik ke lantai dua begitu keluar dari basemen. Tanpa ba-bi-bu, satu-satunya tempat yang ingin aku datangi sekarang hanyalah toko brand make up kesukaanku yang saat ini sedang mengadakan promo. Namun, sayangnya kami terlambat, karena promo yang dikatakan Sera sudah habis sejak sejam yang lalu karena terbatas. Aku tidak bisa untuk tidak marah pada Sera. Kalau saja kami berangkat lebih awal pasti aku masih bisa mendapatkannya.

“Duh, bukan salah gue dong, kalo promonya udah abis. Salahin aja tuh, orang-orang yang pada beli, kenapa pada borong, jadi cepet abis, kan.”

“Eh, ege, kalo lo udah siap waktu gue dateng ke apartemen, kita gak bakalan dateng telat dan gue masih bisa dapet promonya.” Aku menoyor kepala Sera. Bisa-bisanya dia malah menyalahkan pembeli, dibanding sadar diri akan kesalahannya dan mengakuinnya.

Sera hanya menyengir mendengar ucapanku. “Ya udah, kita makan aja yok, gue traktir mumpung lagi baik hati.”

“Mata lo baik hati. Ini tuh emang kewajiban lo buat nebus dosa-dosa lo sama gue!”

Kami memutuskan makan sushi di restoran jepang yang ada di mal tersebut. Saat itu keadaan restoran sedang ramai-ramainya. Bahkan meja yang kami tempati adalah meja terakhir yang kosong. Efek weekend mungkin, makanya pengunjung restoran lebih ramai dari hari-hari biasanya. Ditambah saat ini memang sedang jamnya makan siang. Tidak heran kalau restoran di mal akan seramai ini.

“Gue mau ke toilet dulu, deh. Jagain tas gue, nih, Nggun.” Sera pamit pergi ke kamar mandi, membuatku harus duduk sendirian menunggunya. Aku memutuskan untuk memilih-milih menu sembari menunggu Sera kembali dari kamar mandi.

Ketika sedang asyik berkutat dengan buku menu di depanku, bahuku tiba-tiba ditepuk dari belakang. Seorang wanita yang umurnya berkisar lima puluh tahunan ke atas yang kuyakini sebagai pelaku yang menepuk bahuku berdiri sambil tersenyum menatapku, yang kubalas dengan senyuman kaku.

“Permisi, ini kursinya ada yang nempatin, gak, ya? Kebetulan saya lagi nyari kursi kosong buat duduk.”

“Oh, maaf, Ibu, kebetulan ini kursi teman saya. Dia lagi ke toilet sekarang.”

“Oh, gitu. Ya sudah kalau begitu. Makasih, ya, Nak.” Ibu itu tersenyum yang kubalas dengan senyuman juga.

“Kita pindah restoran aja deh, Ma.” Aku mendengar suara yang tidak asing terdengar di belakangku. Rasa penasaran yang memenuhi hatiku membuatku menolehkan kepala.

Dan … DUARRR.

Aku mendapati bosku – Pak Mahesa – bersama perempuan yang tadi meminta kursi padaku sedang berdiri sambi berbincang.

“Anggun?”

“Pak Mahesa?” Kami sama-sama terkejut dengan kebetulan yang terjadi. Apalagi aku.

Coba kalian bayangkan. Dari Senin sampai Jumat, aku sudah muak melihatnya hampir lebih dari dua belas jam. Dan kini, saat weekend, hari di mana seharusnya aku bisa absen melihat wajahnya, kenapa semesta seolah tidak rela membuat diriku bernapas sejenak dari tekanannya, hingga aku harus melihat wajahnya lagi? Apakah dunia memang sesempit itu?

“Kamu kenal dia, Sa?” Ibu itu yang kutebak adalah ibu dari Pak Mahesa bertanya.

“Ah, iya, Ma, dia karyawan aku di kantor. Namanya Anggun.”

“Anggun?” Ibu itu terlihat terkejut mendengar namaku disebut. Entah apa alasannya. Aku hanya bisa tersenyum dan berinisiatif mendekati ibu pak Mahesa dan menyalaminya sebagai bentuk rasa hormat.

“Kalau gitu kita gabung di meja kamu aja gimana, Nggun? Nanti saya minta tambahan kursi ke pelayan. Kamu gak keberatan, kan?” Itu terdengar seperti bukan pertanyaan, tetapi lebih ke sebuah perintah yang mau tidak mau harus aku terima. Yang kulakukan selanjutnya tentu saja mengangguk mengiyakan permintaannya.

“Iya, Pak. Boleh kok,” jawabku pasrah.

“Bener gak apa-apa, Nak Anggun? Nanti kami malah ganggu waktu kamu sama temen kamu.” Ibu Pak Mahesa terlihat tidak enak dengan permintaan putranya.

“Anggun gak apa-apa kok, Ma. Lagian, kan, meja mereka juga masih muat kalo kita berdua gabung. Iya gak, Nggun?”

GAK, PAK! BAPAK ITU MENGGANGGU BANGET! Ingin sekali aku berteriak seperti itu di depannya. Namun, apalah dayaku yang hanya bisa tersenyum dan mengangguk. “Iya, Bu. Gak apa-apa kok. Lagian mejanya masih muat buat kita berempat.” Aku bisa melihat Pak Mahesa tersenyum senang mendengar jawabanku. PUAS BAPAK SEKARANG?!

“Makasih banyak, ya, nanti biar kami yang bayarin bill kalian sebagai ucapan terima kasih.”

Aku menggeleng mendengar niat baik dari ibu Pak Mahesa. “Gak usah, Ibu. Ini gak seberapa, kok.”

“Gak apa-apa. Ibu juga pengin berbuat baik, jadi tolong terima, ya, Nak.” Aku yang tidak bisa menolak akhirnya hanya bisa menerima.

Setelahnya, Pak Mahesa meminta tambahan kursi kepada pelayan restoran kemudian memesan makan bersama ibunya setelah diberikan kursi.

Sera datang dengan raut keheranan ketika melihat dua wajah asing yang menempati salah satu tempat duduk di meja kami. Aku segera mengenalkan Pak Mahesa dan juga ibunya pada Sera agar sahabatku itu tidak merasa kebingungan.

“Itu Bos lo?” Sera menyenggolku yang sedang asyik menikmati sushi.

“Hmmm,” jawabku tak minat.

“Bos lo yang Mahesa itu, kan? Mantan lo dulu?” Kini gantian aku yang menyenggol Sera supaya mengontrol bicaranya. Jangan sampai Pak Mahesa mendengar percakapan kami. Kalau itu terjadi aku pasti akan dicap sebagai orang yang suka membicarakan orang lain di belakang, walaupun spesies manusia seperti bosku ini layak untuk dijadikan bahan gosip.

“Lo ngomongnya jangan kenceng-kenceng. Nanti kalo dia denger gimana?” bisikku pada Sera.

“Gila, ganteng banget, Nggun! Lo kok gak bilang kalau Mahesa bakal berubah seganteng ini? Kalau kerja ditemenin cowok seganteng dia, gue mah, betah-betah aja, Nggun.”

Sssttt. Lo bisa diem gak, sih?” Aku kini tak segan-segan mencubit lengannya, membuat Sera kesakitan dan memilih diam.

“Sakit bego!” umpatnya sambil meringis kesakitan.

“Makanya diem bego!” bisikku kepadanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status