Dengan tangan gemetaran Seruni mengorder ojek online. Ia ingin secepatnya meninggalkan tempat penuh dosa ini. Bayangan Mayang yang mabuk serta Nella dan Fika yang tengah beraksi, membuatnya mual. Ia memang sudah tau apa pekerjaan mereka semua. Hanya saja ketika di hadapkan pada praktek nyata di depan mata, lain lagi ceritanya.
"Kamu salah dua kali hari ini," suara dari balik bahunya membuat Seruni sadar kalau ia tidak sendiri. Xander masih mengikuti di belakangnya.
"Apa itu, Pak?"
"Kotak itu bukan permen, dan saya bukan karyawan club ini." Setelah mengucapkan dua kalimat singkat itu, Xander membalikkan tubuh. Meninggalkan Seruni yang berdiri termangu.
"Kalau dugaan saya salah, jadi kebenarannya apa?" Seruni mengejar Xander. Menghadang langkah Xander yang akan masuk kembali ke dalam club.
"Tanya saja pada Mayang," sahut Xander acuh seraya menggeser tubuh Seruni ke samping.
"Kalau Bapak memang tau jawabannya, untuk apa saya harus menunggu Mbak Mayang?" Seruni kembali mencoba menghadang langkah Xander. Tidak puas akan informasi yang hanya diberitahu setengah-setengah.
"Memangnya kamu ini siapa mengatur-atur saya? Minggir!" Suara dingin Xander menyurutkan langkah Seruni. Ia hanya menatap nanar punggung Xander yang berjalan kian menjauh.
Seruni kembali mengorder ojek online setelah tadi terinterupsi oleh Xander. Dan untungnya kali ini orderannya langsung diterima. Seruni berjalan menjauhi club. Mencari tempat yang strategis agar abang gojeknya lebih mudah menemukan keberadaannya. Sambil menunggu abang gojek, pikirannya melayang-layang. Sepertinya ia tidak cocok dengan kehidupan orang-orang di sini. Begitu banyak kesalahpahaman yang tidak ia mengerti. Terutama istilah-istilah aneh yang begitu asing di telinganya. Sulit sekali baginya untuk beradaptasi dengan gaya hidup ibukota.
Sesampai di mess, perasaan Seruni masih belum tenang. Benaknya terus memikirkan kalimat penuh teka-teki Xander. Seruni membuka jaket. Menggantungkannya bersebelahan dengan jas mahal Antonio. Saat akan mengganti celana panjangnya dengan kulot batik adem milik Mayang, saku celananya bergetar. Nella meneponnya.
"Ha--"
"Lo ini punya otak nggak, hah?"
"Maksudnya?" Seruni bingung. Belum juga ia sempat mengucapkan kata hallo, Nella sudah memakinya.
"Belagak bego lagi! Ngapain lo tadi ngebawa-bawa Pak Xander ke club segala? Lo tau nggak, gue baru aja diinterogasi Pak Xander soal kehadiran lo di mess. Lo membuat kami semua terkena masalah besar, Uni!"
"Saya tadi bermaksud mengantarkan kotak permen Mbak Mayang yang ketinggalan ke club, Nell. Hanya saja kedua penjaga di depan club tidak memperbolehkan saya masuk. Terus Pak Xander muncul dan beliau lah yang membantu saya mencari Mbak Mayang." Seruni menjelaskan asal usul keberadaannya di club pada Nella.
"Tapi saya sudah berpesan pada Pak Xander agar beliau tidak melaporkan masalah saya tinggal sementara di mess pada atasannya. Kamu tidak usah khawatir, Nell," tukas Seruni cepat. Ia tidak mau Nella salah paham padanya.
"Astaga, Uni. Lo ini naifnya kebangetan ya? Lo dengar baik-baik, yang lo anterin ke club tadi itu bukan kotak permen. Tapi kondom, Uni. Kondom alias sarung untuk burun* laki-laki!"
Seruni ternganga. Apa kata Nella tadi? Ko--ko--kondom?
Astaghfirullahaladzim! Apa yang sudah dilakukannya, ya Tuhan!"Satu hal lagi. Pak Xander itu bukan karyawan club. Tapi boss besar kami alias pemilik Astronomix club! Kenaifan lo bisa membuat kami semua diusir dari mess karena dianggap mengabaikan peraturan, Uni. Lo sadar nggak sih?!"
Seruni tercekat. Ia sampai tidak bisa berbicara saking terkejutnya.
"Kamu salah dua kali hari ini,"
Jadi ini maksud kalimat Xander yang menyatakan kalau ia sudah salah dua kali? Lihatlah kenaifannya kali ini bukan hanya menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Tetapi juga telah mencelakakan orang lain.
"Ya, sudah. Kalau begitu sekarang juga saya akan pindah dari sini. Jadi Pak Xander tidak akan--"
"Jangan mulai lagi! Emangnya lo mau pindah ke mana malam-malam begini? Inget, lo nggak punya siapa pun di sini selain kami. Lagian mau lo pindah sekarang atau pun nggak, Pak Xander udah terlanjur tau. Gue ngomong begini bukan mau ngusir lo. Gue cuma mau lo lain kali hati-hati dalam bertindak."
Nada suara Nella yang kesal bercampur kalut, membuat Seruni sadar betapa seriusnya masalah ini. Ia menyesal. Sungguh-sungguh menyesal!
"Udah lo diem aja di rumah. Jangan membuat masalah baru. Ntar kita lihat aja keputusan Pak Xander besok pagi. Inget ya, Uni. Jangan membuat masalah buat Mayang kalo lo main kabur-kaburan! Masalah Mayang sudah cukup banyak, Uni!"
"Tapi--"
Belum juga Seruni menyelesaikan kalimatnya, Nella telah memutus panggilan. Seruni terpekur memandang ponsel di tangannya. Nella pasti jengkel sekali padanya. Wajar jika Nella emosi. Keteledorannya telah membuat semua orang kalang kabut. Seruni melanjutkan mengganti celana jeans hitamnya dengan kulot batik. Merapikan kamar dan membereskan seluruh bagian rumah. Ia memerlukan pengalihan suasana hati. Makanya ia terus mencari-cari kesibukan. Waktu terus berlalu hingga jam menunjukkan pukul dua dini hari. Namun tidak ada satu orang pun penghuni rumah yang pulang. Seruni kian gelisah. Menunggu esok hari bagai seabad lamanya.
Suara mobil yang berhenti di halaman menarik perhatiannya. Seruni menyibak tirai jendela. Mengintip siapa yang datang berkunjung di pagi buta. Ia bergegas membuka pintu rumah saat melihat Mayang dan ke empat rekannya keluar dari mobil dengan sempoyongan. Jelas terlihat kalau mereka semua mabuk berat. Dan yang paling parah adalah Mayang. Ke empat rekannya yang lain masih sanggup berjalan ke kamar masing-masing, walau cara berjalan mereka seperti melayang-layang. Namun Mayang, ia bahkan tidak mampu berdiri. Mayang masuk ke dalam rumah dengan merangkak dan muntah-muntah hebat di lantai.
"Ayo Mbak, sini, Uni bantu." Seruni buru-buru memapah Mayang. Ia tidak tega melihat Mayang berjalan merangkak-rangkak sambil terus muntah dan cegukan.
"Nggak usah, Uni. Mbak udah biasa begini. Resiko cari duit instan. Hehehe." Mayang menepis tangannya. Ia terus tertawa-tawa sendiri. Namun sorot matanya begitu kuyu. Tawa di bibirnya tidak sampai ke matanya. Seruni sedih melihatnya. Tawa Mayang penuh dengan kegetiran.
"Nggak apa-apa, Mbak. Mumpung Uni belum tidur, sini Uni bantu," bujuk Seruni sabar. Ia tau, Mayang saat ini tidak dalam keadaan sadar seratus persen.
"Ya udah kalau kamu ikhlas dan nggak jijik melihat Mbak. Hehehe."
"Nggak kok, Mbak. Ayo kita ke kamar mandi dulu. Uni bantu Mbak membersihkan diri. Supaya Mbak nanti enak tidurnya ya, Mbak?" Seruni memapah Mayang dengan susah payah. Selain kakinya tidak sempurna, perawakannya memang lebih kecil dibandingkan dengan Mayang yang tinggi menjulang. Ditambah sedang mabuk yang membuat tubuhnya tidak mau bekerja sama, memapah Mayang bukanlah hal yang mudah.
"Mau dicuci sebersih apapun, Mbak ini memang sudah kotor, Uni. Kotor! Mbak terus mengulang kesalahan yang sama. Tapi mau bagaimana lagi, Uni. Mbak terpaksa." Keluh Mayang sedih. Air mata kembali menggenang di sudut-sudut matanya.
"Sudahlah, Mbak. Jangan berbicara yang tidak-tidak. Kotor dan bersihnya seseorang, bukan kita yang menilainya. Sekarang, ayo kita ke kamar mandi."
Seruni dengan sabar membimbing Mayang yang masih terus mengoceh-ngoceh. Sebentar Mayang tertawa dan detik berikutnya ia menangis. Dengan telaten Seruni membantu Mayang mandi dan membersihkan diri.
Setengah jam kemudian Seruni menyelimuti Mayang yang berulang kali mengeluh kedinginan."Hidup bukan tentang berulang kali melakukan kesalahan, Mbak. Hidup itu adalah belajar dari kesalahan. Karena semua orang bisa saja membuat kesalahan baik itu disengaja atau pun tidak. Tetapi hanya segelintir orang yang sadar dan belajar dari kesalahannya. Uni selalu berharap agar suatu hari Mbak sadar dan mau belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu, Mbak." Bisik Seruni lirih di sisi telinga Mayang. Seruni menguap lebar. Setelah semua kekhawatirannya terurai, barulah kantuk dan rasa lelah menghampirinya. Perlahan Seruni merebahkan tubuhnya di samping Mayang. Matanya terasa sepat dan pedas karena tidak terbisa begadang hingga larut malam. Tidak perlu waktu lama, kantuk telah membawanya menjelajahi alam mimpi. Sebelum kesadarannya menghilang, Seruni sempat menitipkan sepenggal doa. Semoga saja kesulitan hari ini akan dibalas dengan kemudahan pada esok hari. Semoga.
***
Seruni menimang-nimang kartu nama Antonio. Seperti yang diperintahkan Antonio kemarin, ia harus menghubungi tuan sombong itu untuk masalah pengembalikan jas. Seruni melirik jam dinding. Pukul tujuh kurang lima menit. Sepertinya waktunya cukup bila ia harus mengantarkan jas ini dulu pada tuannya. Shift paginya dimulai pada pukul sembilan. Seruni menarik napas panjang tiga kali sebelum menekan nomor-nomor yang tertera di kartu nama.
"Hallo, selamat pagi, Pak. Saya--"
"Saya bukan bapak kamu."
Tarik napas, buang napas. Sabar.
"Selamat pagi, Tuan. Jas Tuan harus saya antar ke mana ya? Apa saya antar saja ke..." Seruni kembali membaca kartu nama di tangannya. Bermaksud menyebutkan nama kantor Antonio yang tertera di sana.
"PT Graha Indah Nusantara? Kantor Tuan tidak begitu jauh dari restaurant ternyata."
"Tidak perlu! Saya tidak sudi kalau kantor saya dikotori tah* ayam. Saya akan mengambilnya di restaurant pada jam makan siang."
Klik. Sambungan ponsel langsung diputuskan. Seruni memandangi ponsel di tangan dengan perasaan terhina. Setelah ia tau konotasi ayam yang sesungguhnya, ia tidak rela dikata-katai seperti itu. Namun ia juga sadar kalau posisinya memang rentan disalahpahami. Satu-satunya cara adalah ia harus secepatnya pindah dari mess Astronomix Girls ini. Dan itu artinya uang lagi untuk biaya kost dan pengeluaran sehari-hari. Mengandalkan gaji dari restaurant sudah pasti tidak cukup. Sepertinya ia harus menyambi mencari pekerjaan lain sepulangnya dari restaurant.
"Kamu sudah mau berangkat kerja ya, Uni?" Suara serak khas bangun tidur Mayang memutus lamunan Seruni. Mayang sudah bangun. Dan sepertinya efek mabuknya juga sudah hilang. Nada suara Mayang sudah normal. Tidak cengengesan dan mengoceh-ngoceh aneh lagi.
"Iya, Mbak. Mbak kalau masih pusing, tidur aja lagi. Uni berangkat dulu ya, Mbak?"
"Iya, Uni. Hati-hati di jalan. Oh ya, mengenai masalahmu, nanti malam Pak Xander akan memberi keputusan. Kamu tenang saja. Mbak sudah punya satu jalan keluar seandainya Pak Xander tidak memperbolehkan kamu tinggal di sini. Kamu tidak usah khawatir," imbuh Mayang. Seruni mengangguk. Untuk saat ini ia memang hanya bisa mengandalkan Mayang. Ia belum punya kekuatan apapun di ibukota ini.
Seruni tiba di restaurant lebih awal satu jam dari waktu masuk yang seharusnya. Ia terus mencari-cari kesibukan demi membunuh waktu. Mengelap meja hingga mengkilat. Menata lembaran menu di tiap-tiap meja. Hingga menyapu dan mengepel lantai sampai bersih dan harum. Padahal semua itu bukanlah tugasnya. Ia hanya berprinsip untuk tidak hitung-hitungan dalam bekerja.
"Ya elah, lo kerajinan amat pagi-pagi udah ngerjain tugas gue? Lo ini pengen naik gaji atau minta perhatian gue?" Anita yang bertugas di bagian kebersihan mendorong pintu dapur. Di belakangnya menyusul Rizal, Winny dan Resty yang masih rekan satu tim Anita dalam divisi kebersihan. Membersihkan, merapikan, memperindah restaurant hingga mencuci semua peralatan dapur adalah tugas mereka berempat.
"Entah goals mana yang lo incer, gue cuma mau bilang, kalo usaha lo ini percuma, Uni. Pertama, gue bukan boss yang bisa naikin gaji lo. Dan kedua, gue ini masih doyan laki. So perhatian lo kagak bakalan berguna buat gue," lanjut Anita yang disambut cengiran geli rekan-rekannya.
"Saya nggak punya maksud apa pun kok, Mbak Nit. Saya tadi datangnya kepagian. Nah, daripada saya menganggur, lebih baik kalau saya bersih-bersih bukan?" terang Seruni.
"Ohhh... kalau begitu terima kasih deh, Uni. Sering-sering ya? Hehehe." Candaan Anita disambut seruan huuu berjamaah oleh rekan-rekan satu divisinya. Sembari tertawa ceria mereka dengan cepat melanjutkan sisa pekerjaan Seruni. Restaurant sebentar lagi akan buka, dan tamu pasti akan segera bermunculan.
Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul dua belas siang. Itu artinya si tuan besar Antonio akan segera datang. Di antara kesibukannya mengantarkan pesanan bagi para pengunjung, Seruni selalu melirik pintu masuk. Harap-harap cemas menunggu bom waktunya datang berkunjung. Tidak perlu menunggu lama, orang yang ia nanti-nantikan akhirnya datang juga. Hanya saja ia tidak sendirian. Ada dua orang berpakaian khas eksekutif muda ikut berjalan di belakangnya.
"Ini pesanannya, Bapak, Ibu. egg benedict, spaghetti aglio olio e funghi, dan grilled salmon with cream sauce. Minumannya, pescatore bianco, fresh watermelon juice dan raspberry mint ice teanya akan segera menyusul. Selamat menikmati, Bapak, Ibu." Seruni menyilangkan tangan di dada dengan sopan. Ia berusaha melayani pengunjung dengan sebaik mungkin. Setelahnya dengan langkah tertatih-tatih ia kembali ke pantry. Seruni membuka loker khusus staff dan mengeluarkan bungkusan jas Antonio dengan hati-hati. Ia tidak mau membuat kesalahan yang tidak perlu lagi.
"Mbak Ren, saya mengantarkan jas Pak Antonio dulu di meja 16 ya? Saya khawatir beliau akan mengamuk kalau saya kelamaan mengabaikannya," pesan Seruni pada Renata. Rekan sesama waitreesnya.
"Iya, sana urus dulu itu si anak sultan. Lo juga nggak perlu masukin ke hati semua omongan unfaedahnya. Kita semua udah tau kalau omongannya itu racun semua. Sabar ya, Uni?" Nasehat Renata dibalas dengan seulas senyum sabar oleh Seruni. Mau bagaimana lagi. Bagi orang kecil seperti dirinya, sabar telah menjadi nama tengahnya. Seruni melangkah menuju meja 16 secepat yang ia bisa. Semakin cepat urusannya dengan si anak sultan ini selesai, semakin tenanglah hidupnya. Semoga saja untuk waktu-waktu berikutnya, ia dijauhkan dari orang-orang yang menyulitkan seperti Antonio ini.
Namun doanya ternyata tidak terkabul. Semakin dekat ia dengan meja 16, semakin kecutlah air mukanya. Masalah baru telah menunggunya di depan mata. Bagaimana ia tidak stress, seseorang yang duduk di samping Antonio adalah orang yang paling ingin ia hindari. Dia adalah Bintara Sadewa. Mantan busuk satu-satunya!
"Selamat siang, Tuan. Ini jas Tuan. Sudah saya cuci bersih seperti sedia kala."Seruni menyerahkan bungkusan jas dengan sedikit membungkukkan tubuhnya. Sikap sopan ini memang wajib dilakukan. Setiap kali briefing, managernya tidak pernah lupa untuk mengingatkan. Air muka penuh senyum dan gestur tubuh sopan adalah halwajib yang harus diutamakan.Kata-kata Seruni hanya disambut dengusan oleh Antonio. Sejenak Seruni sempat bertatapan dengan Bian. Namun sikap Bian yang pertama kaget dan segera membuang pandangan, mengindikasikan satu hal. Bian tidak ingin dikenali. Walau memang sikap seperti ini juga yang ia harapkan, tak urung hatinya sakit juga. Hanya seperti ini sikap seorang laki-laki yang bulan lalu masih mengaku mencintainya melebihi apapun juga."Kalau tidak ada hal lainnya, saya permisi, Tuan." Seruni kembali membungkuk sopan. Bersiap-siap menghindar sejauh mungkin dari duo biang masalah di hada
Seruni membetulkan ikatan apronnya yang kendor. Ia baru saja keluar dari toilet. Ramainya pengunjung di restaurant, memaksanya menahan keinginan untuk buang air kecil. Dan kini setelah kantung air seninya kosong, barulah ia merasa lega. "Girang sekali kamu sehabis bertransaksi? Apa si Miguel tau kalau kamu suka jualan daging mentah di sini?" Si mulut mercon kembali beraksi.Seruni tidak langsung menjawab. Ia memikirkan posisinya. Setiap kalimat yang ia keluarkan pasti akan berimbas pada pekerjaannya. Makanya ia masih berusaha bersabar bagai hatinya panas menahan amarah. Bagaimanapun ia membutuhkan pekerjaan ini. Ya Tuhan, panjangkanlah sabarku."Saya tidak seperti--
Dari kejauhan saja Seruni sudah sangat mengagumi rumah baru Xander. Ia seperti melihat rumah di film-film Eropa kuno ada di depan matanya. Rumah Xander sangat luas dan bergaya klasik. Seruni merasa seperti sedang masuk ke dalam mesin waktu zaman victorian era, begitu pintu ruang utama dibuka.Pada bagian ruang tamu, terdapat sofa letter L berwarna krem yang mewah. Mejanya terbuat dari kaca penuh ukiran, disertai hamparan karpet bulu berwarna senada yang terhampar di bawahnya. Pada bagian dinding, dipenuhi dengan ornamen-ornamen antik abstrak yang tersusun rapi dari bebatuan marmer. Kemegahan lain terlihat dari tirai yang menjulang tinggi pada bagian jendela kaca berukir. Sebuah lampu hias spiral berbahan kristal, semakin melengkapi kemewahan ruangan. Satu hal yang paling menarik perhatian Seruni adalah,
Sudah seminggu ini Seruni tinggal di rumah baru Xander. Dan selama itu juga hatinya gundah gulana. Sejak ia tinggal di rumah mewah ini, ia selalu merasa bersalah terhadap keluarganya di kampung setiap kali ia akan mengisi perut. Bayangkan saja, saat di kampung dulu, lauk sehari-hari mereka begitu sederhana. Tempe, tahu, telur, kerupuk dan sayur bening, adalah menu utama mereka. Bila ia gajian, barulah ada menu ikan atau ayam di meja makan. Kalau daging, mereka hanya bisa berharap pada jatah pembagian daging kurban dari masjid setempat.Dan kini saat ia dihadapkan dengan berbagai macam menu-menu lezat menggoda selera, rasa bersalahnya kian merajalela. Di sini ia bisa makan enak hingga kenyang, sementara ibu dan adiknya di kampung entah bisa mengisi perut mereka dengan layak atau tidak. Dilema ini selalu muncul di kala ia dihadapkan pada makanan kesukaan adik kecilnya, yaitu rendang daging. Bayangan adiknya yang selalu berangan-angan bisa menikmati menu kesu
Ponsel Seruni bergetar saat ia baru saja menyentuh pintu mobil. Seruni urung membuka pintu mobil. Ia justru membuka pengait tas dan mengeluarkan ponsel dengan terburu-buru. Ia yakin kalau yang menelepon adalah Mayang untuk mengabarkan kondisi terkini ibunya. Setelah mengecek ponsel ternyata dugaannya salah. Nama Xanderlah yang terlihat di layar ponselnya. Seruni menepuk kening. Astaga, ia lupamengabari Xander kalau ia akan pulang ke Banjarnegara. Untung saja Xander meneleponnya."Ya P-- Mas Xander. Ada apa?" Seruni hampir terpeleset kata memanggil Xander dengan sebutan bapak. Ia lupa kalau posisinya sekarang adalah pacar Xander. Akan terasa ganjil kalau ia memanggil pacar sendiri dengan sebutan bapak bukan?Jeda sejenak. Xander pasti menyadari kalau dirinya sedang bersama dengan orang lainmakanya ia memanggilnya dengan sebutan mas. Perjanjian mereka berdua memang begitu. Tidak boleh ada orang yang mengetahui soal sandiwara yang
Seharusnya setelah mobil berguling, akan terdengar suara benturan-benturan keras yang disertai dengan serpihan kaca-kaca yang berterbangan. Tetapi kali ini tidak. Wajahnya yang menghantam keras dashboard pun tidak sakit sama sekali. Kakinya juga tidak terasa nyeri. Padahal saat itu ia melihat pintu mobil terbuka sesaat sebelum mobil terbalik dan menjepit keras kaki kanannya. Aneh bukan? Alih-alih merasa sakit luar biasa, ia malah seperti berada dalam buaian. Hangat, aman dan nyaman. Atau jangan-jangan ini hanya mimpi? Padahal sudah lama sekali ia tidak pernah memimpikan kejadian ini."Tidak apa-apa, Seruni. Tidak ada apa-apa. Tenang saja. Bersama saya kamu akan aman. Percayalah." Seruni mengerjap-ngerjapkan mata. Ia heran mengapa seperti ad
"Memangnya kamu polisi bisa memenjarakan orang seenaknya? Kamu ini sebenarnya siapa sih?" Pak Herry kesal melihat seorang anak muda yang terus menghalang-halanginya mendekati Seruni. Padahal gara-gara anak tiri tidak tau diri inilah hidupnya kumpal kampil tidak jelas selama seminggu ini. Pak Nyoto benar-benar ingin memenjarakannya karena kaburnya Seruni."Oh, jangan-jangan kamu ini backingnya Seruni ya?" cetus Pak Herry. Melihat betapa protektifnya pemuda ini pada Seruni, membuatnya menyadari sesuatu. Seruni berani pulang karena membawa bodyguard rupanya. Pak Herry mendengus. Pemuda kota pesolek ini sedang menggali kuburannya sendiri karena sudah berani mengusik incaran Pak Nyoto."Kalau iya, kenapa? Ada masalah?" tantang Antonio santai."Kalau iya, berarti kamu sudah mencari masalah dengan Pak Nyoto. Kamu harus tau kalau Seruni itu akan segera menjadi istrinya Pak Nyoto. Bisa habis kamu di tanga
Antonio membolak balik tubuhnya dengan gelisah. Ia merasa begitu sengsara saat harus tidur di kursi kayu keras seperti ini. Belum lagi kakinya lebih panjang daripada kursi. Ia jadi terpaksa harus menekuknya atau membiarkan kakinya menjuntai begitu saja melewati batas kursi. Kerasnya kayu membuat punggungnya sakit, walau Seruni telah melapisinya dengan sprei kain sederhana. Penderitaannya itu masih ditambah dengan serangan nyamuk yang begitu beringas keroyokan ingin menghisap darahnya. Ia sedikit menyesal karena menolak dibakarkan obat anti nyamuk oleh Seruni. Bukan apa-apa. Ia seolah-olah merasa seperti sate yang akan diasapi. Belum lagi aromanya membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Menghirup asapnya bukan hanya nyamuk yang akan lari. Tapi ia juga bisa mati. Antonio kembali menepuk nyamuk yang hinggap di pipinya. Astaga, ternyata menjadi orang miskin itu sengsara luar biasa!Antonio membalikkan tubuhnya sekali lagi. Ia benar-benar kesulitan untuk memej