Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.
Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik. “Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangatFinally! Delapan bulan nulis novel ini selesai juga😅 Terima kasih sudah bersedia baca karya receh tidak seberapa ini. Jangan kapok baca karyaku yang lain, ya😁 Love you guys❤❤❤
Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka
Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤
“Do you remember I was the first for you, baby girl?” Sayup – sayup terdengar bisikan kasar di telingaku. Aku berusaha memahami situasi saat ini. Terbangun dengan keadaan seseorang melingkarkan tangannya di pinggulku bukan hal yang pernah kupikirkan. Aku berusaha menahan napas, suara serak dan dalam itu mengingatkanku pada satu nama. Nama yang tak pernah aku ingin ingat. “I miss you.” Sontak aku bangun dan melepaskan diriku darinya. Kesalahan apa yang pernah kulakukan kemarin sampai harus melihatnya di sini. Di tempat yang bahkan kurang lebih baru satu hari aku menempatinya. Aku bangkit dari posisiku, turun dari kasur king size di kamar hotel ini. Langkahku mundur saat melihatnya mendekat ke arahku. “Bagaimana bisa kau di sini?” tanyaku hampir berupa bisikan. “Pergi!” pekikku saat dia meraih kedua tanganku. Aku mencoba melepaskannya, meskipun itu sia – sia. Tubuhnya terlalu menjulang, aku tak punya cukup tenaga melawannya.
5 years ago “Bridgette, honey. Turunlah. Ada seseorang yang ingin mom kenalkan padamu." Aku yang saat itu sibuk mempelajari materi ujian akhir, akhirnya memilih menutup laptop. Dengan cepat aku menuruni anak tangga. Dari jauh kulihat mom sedang bersama seseorang. Tampak binar bahagia di mata mom saat menatap pria muda di depannya. Aku tidak tahu dia siapa, dia begitu asing bagiku. Pria itu menunduk dalam, seperti tak ingin siapapun melihat wajahnya. Dan biar kutebak, mom juga sepertinya baru bertemu dengannya. “Hai, Mom. Ada apa?” “Oh. Hai, Honey. Kau lama sekali.”“Sorry, Mom. Tadi aku sedikit sibuk,” kataku agak menyesal. Mom meraih tanganku dan tersenyum memakluminya. Aku pun ikut tersenyum. Jujur saja, senyum mom dan dad selalu menular padaku. Ntahlah, melihat mereka bahagia, rasanya begitu menyenangkan. “Mom punya kejutan,” ujar Mom. Matanya berbinar penuh kebahagiaan. “Kejutan? What is that?” tanyaku penasaran.
Day after day. Week after week. Month after month. Banyak perubahan setelah kedatangan Axe. Kehidupan keluargaku terasa lengkap. Aku masih tidak menyangka kenyataan bahwa aku memiliki saudara laki-laki. Kucoba tanyakan ini pada mom bagaimana semua terasa masuk akal. Di usia kami saat ini, kenapa kami baru dipertemukan. Seharusnya sedari dulu kami bersama, saling berbagi kasih sayang. Saling mengerti karakter masing-masing dan saling melindungi. Nyatanya, aku maupun Axe tidak seperti itu. Dia begitu menutup diri, walau begitu dia tidak lagi mengasingkan dirinya di dalam kamar. Aku cukup bersyukur akan hal itu, setidaknya aku bisa mengenalnya meskipun dia seperti buku tebal. Aku harus membacanya lembar demi lembar, agar aku tahu akan ada apa di halaman berikutnya. Tapi mom tak pernah mau memberitahuku alasan sebenarnya keberadaan Axe yang tak bersama kami sejak dia kecil. Sayangnya mom lupa bagaimana aku. Jika tidak ada jawaban memuaskan
Oh My. It’s real? I can’t believe it! Setelah dua bulan lalu menerima kelulusan. Mom dan dad akhirnya sepakat bahwa aku akan melanjutkan studiku di Harvard University. Beruntungnya aku diterima di salah satu fakultas di sana, Harvard Graduate School of Design. Oh, aku sudah tidak sabar membayangkan akan menjadi mahasiswa ajaran baru. “Bridgette, what’s going on? Apa yang membuatmu berteriak?” tanya mom di depan pintu kamarku. Cepat-cepat kuambil laptopku, memperlihatkan layar monitor yang tertera tulisan di sana. Tanpa kuminta, mom membacanya dengan saksama. Tak lama kemudian mom tersenyum dan memberikan kecupan lembut di keningku. “I’m so proud of you, Honey.” “Thanks mom. I love you.” “Me too. So, wanna help me? Kita akan membuat perayaan untukmu. “Tidak perlu, Mom. Ini akan sangat merepotkan.” “Kau meragukan mom, ehm?” “Bukan begitu, maksudku—“ Ucapanku terpoto
Today is Saturday. Berarti sudah enam hari berlalu dan sejak kejadian malam itu. Malam di mana Axe mengusirku, aku tak pernah lagi menginjakkan kakiku di sana, di kamarnya. Bahkan enam hari penuh itu pula aku tidak bertemu dengannya. Saat pagi Axe selalu pergi lebih dulu meninggalkan sarapan bersama, dan malamnya dia pulang begitu larut. Axe seperti menghindariku, seakan bertemu denganku bukan bagian dari kegiatannya lagi. Aku sendiri berusaha terlihat tidak peduli. Lagipula apa salahku padanya? Kenapa sikapnya berubah pesat. Yang kutahu, selama ini dia tidak pernah mengatakan bahwa dia keberatan dengan keberangkatanku ke New York besok. Semoga saja tebakanku tidak benar kalau dia agak tidak setuju tentang keputusanku dan mom maupun dad. Sayangnya, mom dan dad tak bisa menemaniku besok. Kemarin pagi mereka berpamitan ke hotel Paman Luke, yang ada di Bristol merayakan hari pernikahannya dengan kekasihnya, Denisa. Paman Luke adalah kerabat dekat sekalig
5 years later Aku menarik napas dalam – dalam. Berusaha menenangkan diriku. Ini adalah hari ke delapan aku bekerja di sini. Pintu bertuliskan kata ‘Direktur Utama’ seolah memaksa jantungku memompa lebih cepat. Tidak tahu apa yang akan didiskusikan oleh Mr. Witson, aku dipanggil ke ruangannya tepat setelah jam makan siang selesai. Yang lebih mendebarkan adalah aku hanya asisten pengganti, sementara asisten dulu mengambil cuti melahirkan. Ya, mungkin sekitar satu tahun penuh sesuai kontrak kerjaku. “Masuk!” Suara bariton itu mempersilakanku membuka pintu kaca. Aku masuk dengan kegugupan penuh. Pasalnya Mr. Witson orang yang begitu dingin dan tak tersentuh. Matanya saat ini menatapku tajam, aku merasa seluruh tubuhku dikuliti hanya dengan indera penglihatnya itu. “Duduklah.” Aku tersenyum kikuk begitu mendapati suaranya yang agak melembut. “Ada apa, Si—“ Ah. Aku menipiskan bibirku, belum menyelesaikan kalimatku tapi