Share

Bab 4

Nia menatap ketiga pria di hadapannya dengan tatapan melas berharap pria-pria dengan wajah sangar tersebut untuk luluh pada wajah melasnya.

"Enggak ada tunda menunda lagi, Mbak Nia. Jatuh tempo sudah lewat tiga hari yang lalu dan kami minta mbak Nia buat melunasi cicilan bulan ini, hari ini juga," ujar seorang pria menatap Nia tegas.

"Yah, bagaimana ini? Aku enggak punya uang bulan ini. Aku hanya punya uang lima juta. Aku bayar seperempatnya dulu, ya?" pinta Nia menatap melas ketiga anak buah rentenir tersebut.

"Enggak bisa, Mbak Nia. Cicilannya dua puluh juta. Kalau mbak Nia kasih hanya lima juta, itu enggak akan cukup," tolak pria itu tegas.

Nia menggigit bibirnya menatap para pria itu cemas. Pasalnya ia tidak memiliki uang lagi. Mau mengambil uang di toko emasnya? Huh, lebih baik ia di pukul dari pada harus mengambil modal untuk tokonya.

Ini semua gara-gara Ramon!

Gara-gara pria pengkhianat itu ingin memasuki kantor dan menyogok Sarah agar menerima pria bodoh itu bekerja, ia harus rela berhutang dengan rentenir senila 300 juta dan akan di cicil satu bulan dua puluh juta. Total pembayaran selama 30 bulan. Sementara itu harusnya ia sudah melunasi uang itu tahun lalu. Tapi, Ramon berkeinginan membeli apartemen sendiri di kawasan elit. Jadi, kontrak peminjaman uang di tambah lagi.

Sebenarnya itu tidak masalah karena memang Ramon yang membayar cicilannya. Ramon hanya menjadikan Nia sebagai perantara saja. Tapi, sekarang ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Mau minta pada Ramon sekarang, Nia gengsi meski itu urusan Ramon.

Jika di pikir sekarang, betapa bodohnya dirinya saat-saat bersama Ramon. Pria tengik itu menerima manfaat banyak darinya sementara ia sendiri belum mendapat terlalu banyak manfaat.

Nia, mengapa kamu sebodoh itu hanya karena di butakan cinta? Nia meringis di dalam hati menyesalkan kebodohannya.

"Begini saja, kami memberi Mbak Nia waktu selama satu minggu dan cicilan harus segera di lunasi untuk bulan ini," kata debt colector pada Nia. "Mbak Nia harus mengusahakan agar lima belas juta segera di lunasi. Setelah itu, sisa angsuran lima kali lagi, lunas."

"Yah, Pak, kenapa satu minggu? Satu bulan ya?" pinta Nia melas.

Namun, pria itu menggeleng tegas.

"Kalau Mbak Nia enggak bisa membayarnya, terpaksa rumah ini akan kami sita dan menganggap utang Mbak Nia lunas."

Setelah mengucapkan kata-kata mengancam, pria itu bergegas meninggalkan Nia yang terpaku di tempatnya seorang diri.

"Sialan kamu Ramon!" teriak Nia frustrasi.

Nia akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya dan mengganti pakaian rumahan dengan pakaian kasual untuk bepergian.

Nia akan menebalkan wajah dan telinga untuk datang ke apartemen mantan kekasihnya itu dan meminta uang cicilan.

Nia tidak akan mau rugi dengan cara apa pun.

Nia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang sembari sesekali melirik ke sekitar jalan siapa tahu ia menemukan pemandangan yang sedikit menakjubkan.

Namun, sepertinya Nia bukannya menemukan pemandangan yang menakjubkan, melainkan melihat segerombolan anak SMA yang berlari kocar-kacir di jalan dan tengah di kejar aparat kepolisian.

"Mampus," kata Nia tak bersimpati sama sekali. Baginya para anak berandalan yang hanya tahu cara tawuran adalah pemandangan yang menjengkelkan.

Seseorang terlihat melompat dari trotoar dan menghadang laju kendaraan Nia sehingga membuat gadis dewasa itu menghentikan mobilnya secara mendadak.

"Ya ampun!" seru Nia terkejut.

Nia berniat keluar dari mobilnya dan memarahi orang yang hampir mencelakakan dirinya. Namun, ketika Nia sudah menurunkan sebelah kakinya, seseorang tiba-tiba tanpa terduga membuka pintu samping hingga membuat Nia menoleh dengan mata melotot.

"Kamu mau begal?" seru Nia panik.

"Begal apa? Ini gue anak orang kaya! Cepat jalan! Nanti gue di kejar polisi!" Anak itu berujar sambil sesekali menatap seberang jalanan dimana anak-anak lain di kejar oleh aparat kepolisian.

"Kamu anak yang ikut tawuran?" seru Nia keras. "Enggak bisa! Keluar dari mobil saya sekarang. Saya enggak mau berurusan dengan polisi." Nia menolak untuk membawa remaja SMA itu. Namun, remaja itu berkeras dan menolak perintah Nia yang akan mengusirnya. Pemuda itu tetap keukuh tidak ingin turun dari mobil.

Nia yang tidak ingin berurusan dengan polisi akhirnya pasrah dan membawa kendaraannya meninggalkan jalanan yang sudah mulai ramai.

"Turun dimana?" Nia melirik pemuda di sampingnya. Namun, pemuda itu justru mengangkat bahunya acuh. "Apa 'sih? Mau saya turunkan dimana?" ulang Nia sekali lagi.

"Enggak tahu, Tante. Gue enggak tahu tujuan gue kemana. Ikut lo aja deh." Pemuda itu menyahut acuh membuat Nia mendelik ke arahnya sebentar.

"Tante gigimu. Saya masih gadis dan masih 28 tahun. Bukan tante-tante," gerutu Nia. Nia tak terima di panggil tante begitu saja oleh pemuda tidak jelas ini.

"Masih gadis dan belum nikah? Perawan tua dong?" sahut pemuda itu menatap Nia aneh.

Nia berang dan berniat menghentikan laju kendaraannya. Namun, ia tidak bisa melakukan hal itu sekarang karena jalanan saat ini sedang padat dan ia tidak di perbolehkan untuk menghentikan mobilnya. Kalau tidak, mungkin saat ini Nia akan dengan senang hati menurunkan bocah laknat yang dengan seenak jidatnya memproklamirkan dirinya sebagai perawan tua. Bagi Nia, usia 28 tahun bukan perawan tua, tapi usia matang dan sudah mantap menikah.

Akhirnya Nia pasrah dan membiarkan pemuda tengik ini di dalam mobilnya.

Tidak berapa lama, Nia akhirnya tiba di kawasan apartemen tempat Ramon tinggal. Nia menatap pemuda di sampingnya dan bertanya, "mau ikut turun atau nunggu di sini aja? Nah, lebih baik pulang aja deh."

Pemuda itu menatap sekeliling apartemen kemudian beralih menatap Nia. "Tante tinggal di sini?" tanyanya di balas cubitan sengit dari Nia. Pemuda itu meringis sambil mengusap lengannya yang baru saja di cubit Nia.

"Mbak. Kalau kamu enggak bisa panggil saya dengan sebutan 'mbak' panggil kakak juga enggak apa-apa," kata Nia dengan mata melotot. "Saya enggak tinggal di sini. Saya datang kesini karena ada urusan. Kamu mau pulang atau gimana?" tanya Nia menatap pemuda tidak di kenal itu kesal.

"Ikut tante aja deh."

"Mbak atau kakak. Bukan tante. Ngerti bahasa manusia enggak 'sih?" Nia mulai geram meladeni bocah satu ini.

Sepertinya pemuda SMA ini berniat untuk memancing emosi Nia sehingga ia hanya menggeleng sebagai tanggapannya.

Nia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Hal itu ia lakukan berulang kali hingga akhirnya ia kembali bersuara dengan nada yang lain.

"Guk ... Guk!"

Suara Nia yang di buat seperti seekor anjing yang tengah menggonggong itu terdengar di dalam mobil diikuti semburan tawa dari pemuda 16 tahun tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status