Share

Delapan Tahun Kemudian

“Tuan Andra. Saya minta maaf, karena belum berhasil menemukan di mana Alana berada.” Rian—salah satu orang suruhan Andra kini berdiri menghadap Andra dengan wajah tegangnya.

Tatapan mata Andra menajam. “Kamu gagal? Dan masih berani menghadap kepadaku?” 

Delapan tahun berlalu Andra telah berubah menjadi lelaki tegas yang tak berperasaan. Ia tak segan menghardik semua orang yang tak bisa menjalankan tugasnya dengan benar. 

Kedua kaki Andra juga sudah bisa berdiri dan berjalan dengan normal berkat terapi yang rutin ia jalani. Tetapi luka di hatinya tak kunjung samar.

Sampai saat ini, dia bahkan masih mencari di mana perempuan yang sudah memberinya luka itu berada? Tentu saja Andra tidak akan puas sebelum bisa menemukan Alana, dan memberikan pelajaran pada wanita itu. 

“Maaf, Tuan. Saya akan berusaha mencari Alana sampai ketemu. Saya akan pastikan itu, Tuan. Saya janji.”  

“Aku tidak percaya,” kata Andra dengan nada dingin. “Sekarang juga kamu akan ku pecat. Keluarlah dari ruanganku dan jangan berani hadapkan wajahmu lagi padaku!” 

Bola mata Rian melebar. Ia menatap Andra penuh harap, kemudian menggelengkan kepalanya dengan cepat.

Rian tidak ingin dipecat. Menjadi orang suruhan Andra untuk mencari Alana adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa menjamin hidupnya. Sebab Andra tak segan membayar orang-orang suruhannya dengan jumlah besar. 

Untuk itu, Rian akan sangat malang jika ia harus kehilangan pekerjaanya ini.

“Saya mohon jangan pecat saya, Tuan Andra. Saya akan pastikan jika saya bisa menemukan Alana dan membawanya pada anda. Tolong berikan saya kesempatan satu kali lagi. Saya tidak ingin dipecat—“

Andra tak menggubrisnya meski Rian memohon hingga mulut lelaki itu berbusa. Jemari tangan Andra yang keras kini bergerak menekan sebuah tombol yang ada di atas meja kerjanya. 

Tak lama kemudian, dua orang keamanan datang untuk menghadap Andra.

“Bawa dia keluar! Dia sudah mengganggu pekerjaanku!” suruh Andra pada kedua keamanan itu. Mereka mengangguk patuh pada Andra, lantas dengan cepat meringkus Rian yang berontak tak ingin ditarik keluar. Ia masih ingin memohon pada Andra agar tidak memecatnya.

“Tidak, Pak! Saya tidak mau. Tuan Andra, tolong jangan pecat saya—“

Andra mendengus, melihat punggung ketiga orang itu yang kini menghilang dari balik pintu ruang kerjanya. 

Setelah bisa berjalan dengan normal, Darma memang langsung memberikan kepemimpinan perusahaannya pada Andra. Karena ia tahu, jika Andra bisa mengembangkan perusahaannya dengan baik. 

Terbukti dengan banyaknya proyek besar dan berjumlah fantastis yang berhasil Andra taklukan. Hingga Andra bisa membawa bisnis ayahnya jauh lebih maju dari sebelumnya. 

Sementara Darma memilih diam di rumah. Sebab usianya yang semakin menghadap senja, membuat kondisi tubuhnya mudah jatuh sakit. Jadi ia membiarkan Andra yang mengendalikan semuanya.

“Di mana kamu bersembunyi, Alana?” Andra bertanya sinis. Di dalam ruang kerjanya yang sepi. sunyi. Tidak ada satu orang pun di sana kecuali dirinya.

“Jangan harap kamu bisa lepas dari aku semudah itu. Karena sampai kapanpun, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kamu harus membayar apa yang kamu lakukan padaku delapan tahun yang lalu. Wanita murahan sepertimu, harus mendapatkan balasannya!” kecam Andra dengan gigi yang mengeletuk. 

Tatapan matanya sarat akan benci dan kemarahan. Sementara tangannya terkepal dengan erat di atas meja, hingga jari-jemarinya nampak memutih.

Alana telah menorehkan luka di hatinya terlalu dalam. Hingga luka itu berbekas dan menyisakan kebencian.

*** 

Di sisi lain, Alana mengerjap saat merasakan sinar matahari mengusik tidurnya. Perlahan ia membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. Ia masih ngantuk.

Bantal dan selimut yang hangat membuatnya merasa nyaman.  

Namun Alana terkejut, saat seorang anak kecil tiba-tiba mengagetkannya dengan muncul dari samping tempat tidur. 

“Duarr!!”

“Aaakhh..” jerit Alana bergerak duduk. “Rehan!” pekik Alana melotot saat tahu jika yang mengejutkannya adalah Rehan, anak laki-lakinya yang sudah berumur tujuh tahun.

Rehan tertawa melihat wajah bantal Alana yang melotot padanya.

“Selamat pagi, Mama!” 

Tapi akhirnya Alana luluh juga. Ia tersenyum melihat Rehan melompat ke tempat tidur, lalu memeluknya hangat.

“Selamat pagi,” sahut Alana. “Tumben. Kamu sudah mandi pagi-pagi sekali. Rambutnya juga sudah rapi. Nenek yang sisirkan, ya?” tanya Alana.

Rehan yang duduk di pangkuannya menggeleng. “Bukan, Ma. Nenek sedang pergi ke pasar.”

“Lalu siapa? Mama tidak percaya kalau kamu bisa menyisir serapi ini sendirian,” Alana memainkan rambut Rehan membuat anak itu protes dengan kesal.

“Ih, Mama. Jangan diberantakin. Rehan ‘kan sudah ganteng. Kasihan Ayah nanti harus bantu sisirin rambutku lagi.”

Kening Alana berkerut bingung saat mendengar Rehan menyebut nama Ayah. Tapi kebingungan Alana terjawab sudah, saat seorang lelaki berparas tampan, dengan perawakan jangkung dan tegap. Kini berdiri menjulang di ambang pintu kamar Alana.

“Good morning Mama Alana yang masih bau iler,” sapa lelaki itu sambil terkekeh memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Alana terhenyak.

 “Danu!” pekiknya kaget. Lalu dengan cepat Alana mengusap kedua sudut bibirnya. Memeriksa apakah yang Danu katakan tadi benar kalau ada iler di wajah Alana.

Tetapi Danu dan Rehan malah tertawa. Mereka menertawakan tingkah Alana yang polos dan mau saja dibohongi.

“Haha.. Mama lucu. Ayah ‘kan bohong. Tapi Mama malah percaya. Aduh, Mama.. mama..” Rehan menepuk keningnya seraya menggelengkan kepala.

Sementara Alana memajukan bibirnya.

“Kamu masih belum mandi, Alana. Apa kamu tidak malu dengan Rehan. Dia sudah wangi, tapi mama-nya masih bau kecut. Ayo cepat mandi. Hari ini ‘kan kita akan pergi ke restaurant yang baru buka itu. Kamu lupa, ya?” kata Danu.

Dan Alana merutuki dirinya yang pelupa. Pantas saja Danu datang ke rumah dan Rehan sudah rapi pagi-pagi sekali. Hari ini mereka akan pergi ke restaurant baru yang sedang viral di jogja. Tentu saja semua itu atas keinginan Rehan. Dan Danu adalah orang pertama yang paling tidak bisa menolak permintaan si kecil nakal itu.

Seperti saat Rehan sakit dan sedih karena Alana melarangnya makan es krim. Tetapi Danu malah membelikanya es krim rasa cokelat kesukaan Rehan. Hingga anak itu bersorak dan memeluknya. Padahal Danu sendiri adalah seorang dokter.   

Tentu saja Alana marah pada Danu. Tetapi jawabannya selalu sama.  

‘Aku tidak bisa melihatnya bersedih, Alana. Jika aku membuatnya senang, maka dia akan langsung memelukku dengan erat. Dan aku sangat suka Rehan memelukku.’

Alana paham. Selama ini, Danu selalu menjadikan Rehan hidupnya. Sedangkan Rehan melihat Danu sebagai sosok seorang ayah yang selalu menjaga dan memenuhi keinginannya. 

Danu tak sedikit pun merasa terganggu dengan panggilan Rehan yang memanggilnya dengan sebutan ‘Ayah’. Sebab ia sendiri senang mendengarnya. 

Pertama kali Alana bertemu Danu adalah pada saat Alana mengalami pendarahan di usia kehamilannya yang ketujuh. Hingga mengharuskannya dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. 

Tapi setelah kondisinya membaik, Alana tidak bisa pulang karena ia belum melunasi biaya perawatannya yang ternyata cukup mahal. Beruntung pada saat itu Danu datang seperti sosok penolong untuk Alana dan Winarti. Tanpa berpikir lagi, Danu mengeluarkan uangnya untuk membayar semua tagihan rumah sakit Alana.

Sejak saat itu, Danu sering sekali membantu Alana dan Winarti. Rupanya dia adalah salah satu dokter di rumah sakit tempat Alana di rawat. Mengetahui Alana tidak memiliki suami, juga kondisi keuangan wanita itu yang pas-pasan. Membuat hati Danu tergerak untuk memberikan akses check-up kandungan gratis pada Alana. Tentu saja Danu lah yang membayarnya.

Belum cukup sampai di sana kebaikan lelaki itu, Danu bahkan menemani Alana saat hendak melahirkan. Danu lah lelaki pertama yang menggendong bayi Rehan dan mendekap hangat di dadanya. Hingga saat ini, Danu tetap menjaga Rehan dan Alana.

“Mama kok melamun? Bukannya cepat-cepat mandi?” protes Rehan merengut pada Alana. Lalu ia menoleh pada Danu yang kini sudah berdiri lebih dekat dari ranjang. “Duh, Ayah. Mama malas mandi. Mungkin Mama mau dimandiin juga, seperti ayah tadi mandiin aku,” ceplos Rehan dengan wajah polosnya.

“Rehan!” Alana memekik. Sementara Danu tertawa mengepalkan tangannya di depan mulut. 

“Memangnya kamu mau aku mandiin juga, Alana?” goda Danu menaik-turunkan alisnya. Tapi Alana melemparkan pelototan pada lelaki itu. Membuat Danu semakin terkikik geli.

“Mimpi kamu!” Alana bangkit berdiri dari ranjangnya. Kemudian ia turun dan menghilang ke kamar mandi.

Menyisakan Rehan dengan wajah polosnya. Rehan menatap Danu yang berjalan menghampirinya lalu mendudukan diri di sampingnya.

“Mama tetap cantik ‘kan, Yah. Meski baru bangun tidur dan rambutnya acak-acakan seperti singa?” tanya Rehan memperagakan rambut Alana yang memang agak berantakan.

Danu mengangguk sambil tersenyum. Ia mencubit pelan pipi Rehan yang mungil dan lembut. 

“Iya, Rehan. Mama kamu memang selalu cantik dalam kondisi apapun. Itu sebabnya Ayah sayang,” ucap Danu lalu mengatupkan bibirnya dengan cepat. Ia keceplosan.

Tapi nampaknya telinga Rehan terlanjur mendengar apa yang Danu ucapkan.

“Jadi Ayah sayang sama Mama?”

Pertanyaan Rehan seketika membuat Danu terkejut. "I--itu..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status