Sana turun dari kamarnya ke lantai bawah, keheningan memenuhi ruangan tersebut. Papahnya pergi seperti biasa untuk urusan bisnis dan mamahnya pasti ikut pergi bersama papahnya, sedangkan kak Dewa belum pulang. Karena hari ini dia hanya memiliki satu mata kuliah, jadi dia pulang sendiri naik transportasi online.
Dan pastinya dia sudah memberikan pesan pada kakaknya untuk tidak menjemputnya. Sana duduk di sofa ruang TV nya, dia baru sadar rumahnya sebesar ini, dan ternyata rasanya sangat sepi jika dia sendirian saja di dalam rumah. Dia melihat figura-figura foto yang di pajang di dinding rumahnya, dia menghela nafas.
"Kayaknya, temen gua gak bakal susah nyari aib gua. Tinggal dateng aja ke rumah." Gumam Sana, memperhatikan satu persatu foto-fotonya, disana ada foto dia dari masih kecil sampai terakhir foto kelulusannya waktu sma.
Masa Sma ya? Sana tidak begitu mengingat banyak kenangan, ketika masa-masa smanya. Kecuali satu orang, yang sampai saat ini masih sangat
Sana dan Sarah masih berlari, tapi bau menyengat yang berasal dari perkampungan kumuh ini seakan menjadi uji nyali bagi mereka, apalagi di tambah tanah yang becek, membuat baju mereka basah karena cipratan dari kaki mereka yang sedang berlari.Tapi masih ada satu hal yang Sana syukuri. Hari ini dia memakai celana! Dia tidak bisa membayangkan harus lari-larian menggunakan dress panjang kesukaannya.Dan di perkampungan kumuh ini banyak sekali tikungan-tingkungan kecil yang bisa mengecohkan. Istilah lainnya jalan tikusnya banyak."Belok kanan!" Ucap Sana sepelan mungkin, saat di depan mereka ada pertigaan.Orang-orang yang mengejarnya dibelakang belum sempat melihat mereka berbelok, tikungan seperti ini memang menguntungkan. Saat Sana panik berlari, Sarah menarik tangannya masuk ke dalam kamar mandi umum daerah perkampungan kumuh itu."Hah?" Tanya Sana menggunakan tatapannya saat mereka tatap-tatapan di dalam bilik kamar mandi. "Stss." Sar
Setelah polisi datang, semua preman yang menculik Dinda, di bawa ke kantor polisi. Sebenarnya Sana tidak rela, seharusnya preman itu mati di tangannya."Awas aja kalau gua ngeliat muka orang-orang itu lagi!" Gumanya kesal.Saat ini Sana sedang duduk di kursi tunggu yang berada di klinik, tempat Kak Fikar di rawat sekarang. Ketika itu, polisi sekalian membantu mereka membawa Kak Fikar yang pingsan, ke klinik terdekat.Sedangkan Sarah dan Dinda sekarang sedang membuat laporan tentang penculikan yang sebelumnya terjadi, kepada polisi.Pikiran Sana sekarang sudah mulai jernih dan bisa di gunakan, karena pikiran dia sebelumnya hanya di penuhi ketakutan tentang kematian kak Fikar. Dia menghela nafas kasar, meskipun sekarang dia masih sedikit khawatir.Kakinya dari tadi tidak bisa diam dan terus bergerak, dan matanya menatap kosong ke depan, menunggu hasil pemeriksaan dokter di dalam.Srett ...Pintu ruang rawat Fikar terbuka, keluar l
"Lo gak papa?"Sana menoleh, wajahnya terlihat sekali paniknya. "Gapapa." Jawab seadanya. Dia tidak mengenal laki-laki itu.Cowo itu terkekeh pelan. "Bener? Muka lo pucet banget."Sana tersenyum kecil menatap cowo itu, kemudian mengalihkan pandangannya menatap sekitarnya. Saat ini dia sedang berada di taman depan gerbang kampus. Tali name tag yang dia pakai sekarang salah. Bukannya warna merah, dia malah memakai warna biru."Mau gue bantuin?" Tanya cowo itu lagi. Sana menggeleng, dia tidak mengenalnya. Sana juga sedang menunggu Sarah, mereka satu kelompok jadi tidak perlu.Kemudian cowo itu menunjukan seutas tali merah. "Ini kan yang lo butuhin." Senyum cowo itu. Wajah Sana langsung sumgringhai melihat tali itu, dia mengangguk.Cowok itu tertawa pelan, " ini buat lo aja, gua gepake soalnya." Menyodorkan seutas tali merah itu pada Sana."Makasih." Sana mengambil seutas tali itu, kemudian melepaskan name tagnya. Dia mengganti tali
"Dari segi penulisan cerita gua masih kurang ... "Sana menatap tangan seniornya itu, kemudian melihat ke tangannya. "Kek tangan babu." Bisiknya dalam hati. Bagaimana bisa seorang laki-laki memiliki tangan yang lebih lentik, ramping dan juga lebih putih daripada tangan perempuan. Saya iri saya bilang."San.."Sana terjengit kecil ketika pundaknya di sentuh. "Lo suka banget ya sama tulisa gua, apa mau bikin salinannya?" Tanya Kak Firdaus seniornya yang sedang memperlihatkan contoh cerpen yang dia buat.Sana yang sudah tersadar dari lamunanya, tertawa kecil. "Iya kak gua suka. Apalagi karakternya, mereka punya keunikannya masing-masing. Gua boleh pinjem? Buat contoh." Sana ngeles, padahal dari tadi yang dilihatnya bukan tulisan yang berada di kertas, melainkan tangan yang memegang kertas itu."Aaa ... dia malu!!" Teriak Sana dalam hati, matanya sedikit terbelalak melihat reaksi Kak Firdaus yang ngeblus. Orang ini cantik banget!! Wajahnya itu se
Sana meregangkan tubuh. Ketika membuka matanya, dia melihat sebuah atap, lalu dia menatap sekelilingnya."Hhm ... ini di kamar."Sana menoleh ke arah jam dinding, dia menghela nafas. "Hhm ... Udah jam satu." Gumamnya. dia ingat ada tugas yang harus dia kerjakan karena deadlinenya besok.Dia memaksakan tubuhnya untuk bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi di washtafel. Kemudian dia mengganti bajunya menjadi baju tidur. Setelah itu dia kembali ke kamar.Sana menguap, rasa kantuknya masih ada tapi setidaknya mata dia sudah bisa melek sepenuhnya. Dia menarik kursi belajar, lalu duduk disana. Ketika sudah membuka laptop di atas stand laptopnya, Sana baru menyadari di atas mejanya ada makanan. Ah ... disana juga ada notes kecil di sampingnya.Dear anak mamaJangan lupa di habisinya sayang! ♡Sana tersenyum melihat notes itu, lalu dia menyimpan notes itu ke dalam laci meja belajarnya. Sepertinya dia a
"Baik, kita akhiri pertemuan hari ini." Dosen itu dari tengah-tengah kelas berjalan menuju mejanya. "Ohh iya. Ibu sudah menentukan kelompok untuk tugas minggu depan."Keadaan Kelas saat ini hening. Sebenarnya hanya mahasiswa barisan depan yang mendengarkan dosen berbicara dari awal hingga akhir, sedangkan di paling belakang hanya orang-orang yang tidur. Tentu saja Sana bagian dari barisan depan, meskipun sekarang dia duduk di bagian tengah."Pj kelas disini siapa?" Tanya Dosen itu. Dinda mengangkat tangan, "Saya bu."Dosen itu berjalan ke arah kursi Dinda dan memberikan beberapa lembar kertas. "Disini sudah ada nama-nama kelompok dan tugasnya apa. Tolong bagikan pada teman-temanmu.""Baik bu. Apa bakal di presentasikan tugasnya?" Tanya Dinda, dia duduk di kursi barisan depan. Tipikal anak rajin dan pintar."Benar. Masing-masing satu kelompok setiap minggu mempresentasikan hasil belajarnya." Jelas Dosen itu, membenarkan kaca matanya yang sedikit mel
Sana menghantamkan kepalanya pada meja berkali-kali, "Dasar bego!" Umpatnya, Dan dia melakukan hal itu sudah dari tadi. Orang-orang di perpus yang melihat Sana pun, menatap aneh.Dia kemudian menempelkan pipinya diatas meja. "Apa ini akhir?" lemasnya. Sana menghela nafas. Dia menegakkan tubuhnya, lalu menopangkan wajahnya diatas satu tangan yang bersandar di atas meja. Pikirannya kosong, menatap ke sembarang arah. Dia benar-benar menyesal, Sana menghela nafas lagi.Rasanya ingin bilang kalau dia melakukannya secara tidak sadar, tapi saat itu pikirannya sadar dan jika dilihat secara penglihatan dia benar-benar membanting orang itu. Ketika dia membanting Kak Fikar rasanya jantung Sana ingin jatuh ke perut.Drtt ... drtt ... drttGetaran ponselnya membuat Sana tersadar dari lamunannya. Dia mengambil ponselnya yang berada dalam tote bag. Itu suara alarm yang menandakan kelas selanjutnya akan segera dimulai, lebih tepatnya 15 menit sebelum kelas dimulai.
Sarah menepuk pundak Sana dari belakang. Dia baru saja datang, sepertinya Sana juga sama. "Eh, Sarah." Ucap Sana menoleh padanya. Kemudian mereka berjalan bersama menuju kelas."Mau latih tanding gak?" Tawarnya. Dia tahu anak ini sedang galau karena kejadian waktu itu. Tapi dia bukan orang yang berbakat untuk menghibur orang yang sedang sedih, mungkin dengan begini suasana hati temannya ini akan lebih baik.Sana diam memikirkan jawabannya. Kemudian dia menjawab "Boleh deh. Masih sama kan harinya?""Iya. Lo maunya hari sabtu atau minggu?""Hari sabtunya aja. Besok berarti.""Oke. Anak-anak juga banyak yang nanyain lo. Semenjak lo keluar, gak pernah dateng lagi kata mereka."Sana membalas. "Gua bingung dateng juga ngapain."Sarah memutar bola matanya malas. Lalu mencubit ke dua pipi Sana. "Lo kan bisa latih tanding sama gua."Sana memukul tangannya. "Sakit!" Sarah melepaskan cubitan itu, lalu terkekeh kecil. Dia tidak tahan