Dengan langkah gontai Anto pun terpaksa pergi dari sini, dia pergi bersama gundiknya. Terlihat penyesalan yang teramat dalam dari wajahnya. Namun, itu tidak akan merubah keputusanku.
Sakit? Tentu! Ini benar-benar menyakitkan. Rumah tangga yang kubangun dengan penuh cinta kini hancur begitu saja karena kehadiran orang ketiga. Seandainya kamu tau, saat ini ada anakmu di dalam rahimku, aku yakin kamu pasti tidak akan mau bercerai denganku. Tapi itu tak mungkin terjadi. Karena kamu harus bertanggung jawab dengan anak yang ada di rahim Ayu.
Ayu pergi dengan tatapan sinis, raut kebencian terlihat jelas di wajahnya. Begitu juga dengan Gery dan keluarganya, mereka pun berpamitan untuk pulang. Aku lelah, benar-benar lelah, aku ingin segera istirahat.
****
Malam semakin larut, semua tamu undangan sudah pulang, begitu juga dengan Reo dan Beca, mereka berdua p
Aku mulai mempersiapkan semua barang-barang yang akan kubawa, disana aku akan memulai semuanya dari awal. Membuka lembaran baru dan melupakan masa lalu. Hari ini aku akan bertemu dengan Reo untuk perpisahan. Dia pasti sudah menungguku di bawah, aku harus segera menemuinya. “Hai, Re! Maaf lama menunggu!” sapaku pada Reo yang sudah menunggu di taman belakang rumahku. “Gak ko, Tin! Santai saja. Aku tau kamu pasti repot, kan?” jawab Reo datar. “Re! Makasih ya, selama ini kamu uda banyak membantuku, kalau gak ada kamu, aku gak tau gimana nasibnya hidupku ini!” “Ngomong apa sih, Tin! Santai aja kali. Oh ya Tin, kamu tau gak berita baru tentang Ayu dan Anto?”
Hari ini aku sudah boleh pulang, Gery mengantarku ke rumah, karena Papa ada urusan bisnis yang tidak bisa ditinggal. “Makasih ya, Ger! kamu sudah mau mengantar kami sampai rumah!” ucapku pada Gery yang sedang sibuk menurunkan barang-barangku dari bagasi mobilnya. Mama menyuruh Gery masuk, dan mengajaknya untuk makan siang bersama. Sepertinya Gery dan Mama mulai akrab semenjak Gery menemani kami di rumah sakit. Selesai makan aku menemani Vino yang tertidur di dalam box bayi. “Tin, kamu disini?” ucap Gery menghampiriku. “Ger! sudah selesai makannya?” “Sudah, enak banget masakan asisten kamu!” “Syukurlah kalau kamu suka, Ger! oh ya Ger, makasih ya, kamu sudah mau nemenin aku selama dirumah sakit!” “Santai aja kali, Tin! Justru aku yang berterimakasi
Bukan Pemuas NafsuPart 1#Rhienz"Aw, sakit! Aku mohon, pelankan sedikit!""Sabar sayang! Bertahanlah, sedikit lagi aku mencapai puncak! Bukankah kamu ingin segera punya momongan?""Iya' sayang! Tapi gerakanmu terlalu kasar!" mendengar ucapanku, Anto hanya tersenyum. Ia sama sekali tidak peduli denganku yang merintih menahan keganasan nya di atas ranjang.Satu jam setelah pertempuran hebat itu, kami masih terbaring di atas peraduan. Aktivitas rutin yang selalu kita lakukan setiap malam agar segera mendapat momongan, walaupun pada akhirnya hasilnya selalu negatif.Sudah satu tahun kami menunggu hadirnya seorang bayi di rumah ini. Berbagai usaha telah kami lakukan. Namun, semuanya belum berhasil.Aku dan Anto menikah setelah lima tahun berpacaran. Selama kita pacaran kita sudah seperti layaknya pasangan suami istri. Aku se
Part 2Aku iya in saja dulu permintaan Ayu, yang penting dia berhenti menangis. Kasihan jika Bagas melihat ibunya menangis, dia pasti sedih. Urusan Anto dipikir nanti saja."Gimana, Tin? Kamu mau 'kan bantu Aku?" tanya Ayu memastikan."Em ... Oke! Aku mau bantu kamu, Yu! Tapi dengan syarat,""Syarat apa, Tin?" tanya Ayu penasaran."Kita rahasiakan ini dari siapapun, termasuk Anto! Aku nggak mau Anto sampai tau hal ini. Anto pasti akan sangat cemburu jika aku memata-matai Gery,""Oke, Tin! Aku setuju, yang penting kamu jan
Tak berselang lama setelah aku mengirim pesan singkat kepada Anto, bell pun berbunyi. Aku yang kala itu masih menggenggam ponsel di tangganku segera beranjak menuju ke arah pintu."Ko masih mencet bell? Padahal uda ku suruh langsung masuk! Ah ... Anto nih kebiasaan," ujarku yang hampir membuka pintu rumah.'Eh, masa iya itu Anto?' gumamku. Aku sedikit bingung dan penasaran.Akhirnya, aku putuskan untuk mengintip dari jendela. Dan Ternyata yang kulihat bukan Anto, tapi Bagas dan Ayu yg berdiri tepat depan pintu rumahku.Aku begitu kaget dan heran, "kenapa Ayu datang kerumahku malam-malam begini sambil membawa Bagas? Padahal, baru tadi pagi Mereka dari sini." Tak seperti biasanya padahal diluar kulihat hujan lumayan deras cuaca pun sangat dingin.Segera aku bergegas masuk ke kamar dan mengambil kemeja panjang milik Anto yang menggantung di belakang pintu.&nb
Tak terasa waktu hampir sepertiga malam."Sayang, semoga usaha kita kali ini membuahkan hasil, ya! Aku ingin segera memiliki keturunan darimu! Rasanya tak sabar ingin melihatmu mengandung anak kita," ucap Anto berbisik di telingaku yang tengah terbaring kelelahan di sampingnya."Amin, semoga ya sayang! Aku juga nggak sabar ingin segera dapat momongan," jawabku sembari menatap wajah Anto yang juga terlihat kelelahan sehabis bertempur barusan.Kita berdua pun tertidur.☆☆☆☆☆☆☆Matahari mulai terbit ke permukaan, waktu menunjukan pukul tujuh pagi. Aku pun terbangun dan segera mengambil kemeja yang semalam ku lempar di atas kursi. Setelah
Wajahnya semakin mendekat, bibirnya seolah akan mendarat di bibirku. Keringat dingin di tubuhku semakin bercucuran padahal semua ruangan di rumah ini terpasang AC.Bibirnya dengan bibirku hanya berjarak beberapa mili saja."Brakkk..." Bunyi benda terjatuh yang sangat keras. Gery yang akan menciumku terperanjat kaget.Dengan marahnya Gery berteriak memanggil nama seseorang yang dia sebut 'Bi ijah'"Bi Ijah! Bi Ijah! Bi Ijah…," Teriak Gery dengan nada emosi dan marah.'Siapa yang Gery sebut Bi Ijah itu?' Fikirku penasaran. Tak selang lama keluarlah seorang wanita paruh baya mengenakan daster berwarna hijau."Maaf Den.. aden manggil bibi?" ucap wanita paruh baya itu pada Gery."Bunyi apa barusan? Kenapa keras sekali bunyi nya?" tanya Gery dengan nada tinggi.Gery memang tidak pernah berubah,sikapnya
Aku pun keluar dari mobil Ayu dan beranjak masuk ke dalam kantor Gery.Di lobby kantor terlihat hanya ada beberapa karyawan dan dua orang resepsionis yang sedang melayani tamu yang datang.Aku harus segera menemui Gery di ruangannya, jangan sampai ada karyawan yang masih ingat dengan wajahku. Aku pun memutuskan untuk segera masuk lift.Ruangan Gery ada di lantai enam. Aku masih sangat ingat dengan ruangannya.Sesampainya di depan ruangan Gery, aku pun hanya mematung di depan pintu. Sungguh berat rasanya untuk memulai semua ini. Aku seperti mangsa yang akan menyerahkan diri kepada pemburunya."Ahhh… " aku menghela nafas panjang. Tuhan apa yang harus aku lakukan sekarang? Ingin rasanya aku kembali ke rumah dan mengurungkan rencana ini.Kring!...kring!Dering ponselku berbunyi kencang di lantai yang sepi ini. Lantai enam memang lant