Share

8. Hancur

Happy Reading

*****

Masih menatap benda yang dicelupkan pada urine miliknya, Hanum menatap dengan linangan air mata. Tubuhnya bergetar hebat kalau melihat garis dua warna merah yang masih samar. Segala ketakutan membayang. Kemarahan ibunya yang menaruh harapan begitu besar. Impian untuk menjadi sarjana demi kesejahteraan ekonomi keluarga. Semua impian dan harapan itu akan kandas jika hamil tanpa suami saat ini.

"Ya Allah. Mungkinkah ini benar adanya? Mengapa ... mengapa harus berakhir begini? Masih banyak impianku yang belum tercapai. Bagaimana jika Ibu tahu aku hamil?" Semua pertanyaan-pertanyaan itu, Hanum gunakan sendirian di dalam kamar mandi kosnya.

Tubuh Hanum meluruh di lantai kamar mandi. Memegang kepala serta meremas rambut, menyalurkan semua kekecewaan. Sungguh, penyesalan itu kini terjadi. Mengapa dia harus terlena dengan segala bujuk rayu dan menuruti nafsu yang menguasai sesaat. Tidakkah yang dirugikan adalah dirinya jika sudah seperti ini?

Tangan Hanum memukul kuat tembok dengan kuat. Berteriak penuh kecewa karena semua kebodohan yang dilakukan, sementara Aryan sudah bahagia bersama sang istri dan anaknya. Dunianya runtuh seketika, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Karir serta cita-cita yang ingin dia capai musnah jika sudah begini.

"Kenapa ... kenapa harus aku yang mendapatkan masalah seperti ini? Benarkah aku sangat kotor hingga harus menebus dengan cara ini," teriak Hanum tanpa ada orang yang tahu.

Mata itu kembali melirik alat mungil tadi. Dia pun tersenyum. "Garis itu masih samar, bisa saja aku nggak  hamil, kan? Apalagi alat digunakan paling murah. Besok pagi akan kucoba. Semoga saja hasilnya nggak begini." Hanum mengusap seluruh air matanya. Merapikan kembali pakaian  dan berjalan keluar kamar. Berharap besok pagi akan menemukan keajaiban dan semua yang dilihatnya sekarang adalah semu.

Lelah dengan semua tangisannya, Hanum terlelap dalam keadaan perut kosong. Sebelum, mata menutup sempurna, dirinya sempat mengirimkan sebuah chat pada Aryan.

"Selamat, Mas. Semoga menjadi ayah terbaik bagi anakmu. Hanum harap, jangan ada lagi perempuan yang kamu dekati. Sakit rasanya ketika orang yang kita cintai nggak jujur dengan statusnya. Cukup aku yang kamu bodohi," tulis Hanum meluapkan semua kekecewaan.

*****

Di tempat lain, tepatnya di rumah sakit tempat istri Aryan yang dikabarkan tengah melahirkan buah cinta mereka. Lelaki itu memandang gundukan kecil yang tertutup oleh tanah. Tidak pernah berniat mengabaikan telepon dari semua orang, tetapi hatinya tengah dirundung kemalangan saat ini.

"Maafkan Papa, Nak. Bahkan kamu belum bisa melihat indahnya dunia ini harus pulang kembali. Papa tidak pernah membencimu, kehadiranmu adalah anugerah terbesar dalam hidup Papa, tapi sayangnya mamamu tidak merasakan hal itu. Dia dengan sengaja ingin membunuhmu. Maaf, Papa datang terlambat." Aryan membenarkan letak kacamatanya.

Berdiri dari jongkoknya dan meninggalkan area pemakaman. Sudah seminggu lebih, Aryan berada di kota ini demi melihat kelahiran sang putra. Namun, semua kandas ketika mengetahui bahwa bayi yang dilahirkan sang istri sudah tiada.

Sesampainya di rumah, wajah Aryan makin terlihat sedih. Dia melihat sang istri yang terlihat gembira sedang tertawa bersama teman-temannya.

"Hai, Yan," sapa salah satu sahabat Meilia, istri dari Aryan.

"Tumben pulang cepat," sindir Meilia.

Aryan masih diam. Wajahnya nyaris tak berekspresi apa pun ketika melihat kelakuan sang istri. Beginilah rumah tangga yang sudah dia jalani selama ini? Lalu, salahkah jika sebagai lelaki, Aryan mencari kesenangan pada wanita lain walau pada akhirnya akan menyakiti hati para perempuan tersebut.

Melangkahkan kaki ke lantai dua, Aryan melengos begitu saja di hadapan para perempuan tersebut.

"Suamimu tidak pernah berubah, Mei. Betah, ya, kamu?" tanya sahabat Meilia yang lain.

"Biarkan saja. Asal dia tidak menganggu kesenangan kita saja. Siapa suruh dia nikahin aku," jawab perempuan sang pemilik rumah.

Keempat sahabatnya tertawa mendengar jawaban Meilia. "Gila, kamu. Sudah ditiduri juga masih saja berkata sadis begitu," sahut yang lain.

"Dia memperkosa aku. Mana mungkin aku mau melayani lelaki macam dia. Cih, dikira aku cewek apaan. Dia itu barang bekas pakai banyak wanita."

"Omonganmu, Mei."

"Untung anak yang aku lahiran mati. Kalau tidak, bakalan seumur hidup aku ngurus anaknya."

"Jangan gitu, Mei. Walau bagaimanapun, bayi itu darah dagingmu sendiri. Tidak baik berkata demikian," kata sahabat Meilia yang tadi menyapa Aryan. Dia cuma bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan sikap wanita berambut cokelat itu.

"Apa kamu masih memendam rasa pada lelaki itu, Mei?" tanya wanita yang duduknya paling ujung.

"Tentu saja, dia tidak akan pernah hilang dalam hatiku sampai kapan pun. Lelaki seperti dialah yang aku cari selama ini. Andai tak ada kesepakatan sialan itu, aku sudah bersamanya sekarang." Sorot mata Meilia menerawang jauh. Mungkin, dia tengah membayangkan lelaki yang selama ini masih bertahta di hatinya.

Tanpa Meilia sadari, semua perkataan itu didengar oleh Aryan. "Wanita sialan. Aku juga tidak akan Sudi menikahi perempuan sepertimu jika bukan karena Mama."

Masuk kamar dengan membanting pintu, Aryan meninju dinding kamar dengan keras. Pukulan tersebut mengakibatkan punggung tangannya memerah. Namun, rasa sakit itu tak seberapa jika dibandingkan dengan perkataan Meilia tadi.

Membuka pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon. Aryan menghidupkan layar ponselnya. Puluhan panggilan tak terjawab dari berbagai nomor serta chat memenuhi layar. Salah satu yang menarik perhatian sang lelaki adalah chat yang dikirimkan Hanum.

Dia membacanya dan tersenyum miring. "Jadi, kamu sudah mengetahui statusku. Apakah Dirga yang mengatakannya? Kukira kamu berbeda ternyata sama saja. Sifat lugu dan sok jual mahal, hanya dibibir saja. Ketika rayuan serta hadiah mahal disodorkan dengan sukarela kamu menyerahkan kehormatan begitu mudahnya. Gampangan sekali," ejeknya.

Chat terakhir yang dibaca oleh Aryan adalah pesan dari Septi. Mamanya itu mengatakan bahwa Dirga marah-marah ketika datang bersama seorang wanita yang mengaku berhubungan dekat dengannya. Jempol Aryan segera menekan ikon hijau telepon untuk melakukan panggilan pada mamanya.

"Anak kurang ajar. Kenapa kamu membuat kami dihina seperti tadi oleh Dirga. Pakai otakmu saat berhubungan dengan wanita, setidaknya pilihlah yang berkualitas. Jangan wanita rendahan seperti Hanum," omel Septi ketika panggilan Aryan terangkat.

"Ma, sudahlah. Aku cuma memanfaatkan Hanum saja, tidak ada maksud apa pun."

"Awas saja kalau dia sampai Hamil. Mama tidak akan menerima anak itu."

"Jangan ngaco kalau ngomong, Ma. Hanum tidak akan hamil."

"Tidak hamil bagaimana. Belum ada satu jam di rumah ini, wanita itu sudah pingsan dua kali. Wajahnya terlihat pucat. Apa kamu sudah tidur dengannya. Sembarangan kamu nebar benih." Septi makin menjadi memarahi putranya.

Aryan terdiam. Dia mengingat hari itu. Hari ketika dirinya dan Hanum melakukan penyatuan. Mungkinkah ... mungkinkah Hanum bisa hamil secepat itu, sedangkan bersama Meilia butuh waktu bertahun-tahun.

"Apa mungkin Dirga turut andil menyebar benih dalam rahim Hanum?" tanya Aryan dalam hati.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Silvester Siska Doni
bagus alur ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status