Share

Bab 6. Jawaban

“Ini semua gara-gara kamu,” ucapku dengan nada yang datar. Aku tidak mampu berteriak atau melayangkan hujatan. Energiku sudah habis seakan terkuras tandas.

Dia mengusap kasar wajahnya, kemudian meraih tangan ini. Suamiku itu lalu menatapku seakan meminta maaf.

“Maafkan aku, Aida. Memang ini salahku,” ucapnya, seketika hatiku bersorak sekaligus berdarah. 

Ck! Laki-laki ini ternyata dengan gentle mengakui kesalahannya. 

Aku pikir dia akan berkelit dengan sejuta alasan.

“Aku membiarkan Daniel dengan hobinya. Bukannya melarang, aku justru membelikan sepeda motor untuknya. Maaf aku tidak mengindahkan laranganmu. Ini karena aku sayang kepada Daniel. Tidak suka melihatnya kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi,“ ucapnya menambah keterangan, dengan memberikan tatapan sendu.

Aku memejamkan mata. 

Memang, Mas Ammar begitu memanjakan Daniel. Apa yang diminta dan disukai, pasti dibelikan. Dia memang ayah yang baik untuk Daniel. Tetapi, itu yang dulu kupermasalahkan sebelum foto-foto itu muncul.

Seakan meminta maaf atas kesalahannya, Ammar lalu mengangkat telapak tanganku untuk diciumnya.

Lama.

Perlakukannya membuatku tidak berdaya, seakan memaksaku untuk meluruhkan amarah yang tadinya berkobar. 

Dia begitu pintar mematikan kemarahanku. Akan tetapi, mata ini menangkap ponselku yang tergeletak di sebelah tas. 

Hatiku mulai memanas kembali karena sadar, di benda pipih itu, tersimpan kebejatan suamiku ini.

Aku berusaha duduk, dan dengan sigap dia membantuku. 

Harum tubuhnya menguar bercampur dengan aroma keringat. Bukannya membuatku terpana seperti biasanya, kepalaku justru membayangkan dia memeluk wanita lain.

“Tolong ambilkan ponselku,” ucapku sambil menggerakkan dagu ke arah nakas.

“Untuk apa? Kamu sakit. Tidak usah bekerja dulu.”

“Bukan. Ada hal penting yang aku sampaikan kepadamu, Mas.”

“Aku?” ucapnya kemudian meluluskan permintaanku. Mengambil ponselku dan menyodorkan kepadaku.

Sambil menarik napas, aku membuka galeri foto yang dikirim dari ponsel Daniel. Aku mencari dan menunjukkan kepada Mas Ammar.

“Foto ini maksudnya apa? Tolong dijelaskan, dan ini aku dapatkan dari Daniel.”

Ucapanku menyisakan Mas Ammar yang terbelalak menunjukkan keterkejutan. Sekarang, aku menunggu penjelasannya.

“Itu hanya resiko pergaulan, Aida Sayang. Itu teman-teman yang menjahiliku. Tidak mungkin aku mengkhianati cinta kita. Kamu sudah mengenalku begitu lama. Dari kita kuliah, dan sampai sekarang usia pernikahan kita yang ke tujuh belas tahun. Pernahkah aku bermain perempuan di luar sana? Tidak, kan?”

Aku tersenyum sinis mendengar ucapan panjang lebarnya. “Terus apa artinya itu?”

Dia menghela napas. Tangannya terulur untuk meraih tanganku, dan aku segera menepisnya. 

Mengingat tangan itu juga menjamah perempuan lain, aku merasa mual seketika.

“Kejadian ini saat perayaan tahun baru. Ingat saat aku mendapat undangan teman-teman dan kamu aku ajak tidak mau? Coba lihat ini.” Dia mendekatkan layar ponsel setelah menggerakkan kedua jarinya untuk memperbesar gambar.

“Ada kilatan lampu diskotik, kan?” Aku melirik layar ponsel sekilas, kemudian menatapnya dengan sekali lagi menunjukkan tatapan sinis.

“Terserah itu di diskotik, di kantor, atau di tempat lain. Yang aku tahu Mas Ammar sedang bermesraan dengan perempuan. Titik!” teriakku dengan mendesis. Gigi ini sudah merapat erat, menahan amarah yang mulai memuncak. Terlihat sekali dia berbelit-belit seakan mencari alasan yang tepat.

“Ini yang aku maksud, Aida. Saat itu, anak-anak memberiku minuman yang memabukkan. Aku tidak sadar saat disodorkan wanita kepadaku. Mereka iseng dengan mengambil foto-foto ini.”

Aku diam tidak menanggapi, hanya menatapnya yang terlihat bingung mengemukakan alasan.

“Malam itu hanya sampai itu saja, Aida. Tidak lebih. Ini hanya ulah iseng teman-teman. Kalau kamu tidak percaya, mereka akan aku datangkan untuk menjelaskan ini kepadaku. Aida … aku tahu ini salah, tetapi maafkan aku,” ucapnya dengan memberikan tatapan sendu. Matanya mengerjap seakan meminta pengampunan.

“Malam itu, aku mabok dan takut untuk pulang. Mulutku bau alkohol. Makanya aku tidur di kantor demi tidak membuatmu marah. Sekarang, justru kamu begitu marah kepadaku,” ucapnya lagi sambil meremas kepalanya yang dia tundukkan. 

Nada suaranya terdengar putus asa, dan mulai menyentuh hati ini.

Ingatanku tergulir pada saat itu. Memang benar yang dia katakan. 

Aku diajak Mas Ammar, tetapi enggan menghadiri acara tahun baru di diskotik undangan temannya. 

Terus terang, kalau orang lain menyukai dan terhibur dengan keramaian, justru aku kebalikannya. 

Di tempat seperti itu, aku merasa tersiksa. Aku lebih menyukai keheningan.

Tiba-tiba, ada rasa bersalah yang muncul.

‘Seandainya aku ikut di malam itu, apa kejadian ini tidak terjadi? Tidak mungkin mereka mengusili orang yang membawa istri,’ bisik hatiku mulai menyalahkan diri sendiri. 

Seharusnya, kami saling menjaga, bukannya jalan-jalan sendiri dan beresiko ada godaan yang datang.

“Jadi, Mas Ammar tidak mengenal perempuan ini?” tanyaku pada akhirnya.

“Tidak. Dia perempuan yang dibawa mereka untuk memeriahkan acara. Aku saja tidak ingat benar apa yang dilakukan saat itu.”

“Kalian tidak–”

“Tidur bersama maksudmu?” sahut Mas Ammar memotong ucapanku. Dia tertawa kecil. “Tidaklah, Sayang. Itu di tempat keramaian. Hanya tempat laki-laki iseng saja.”

Aku menghela napas, mencoba mengurai satu per satu apa yang aku dengar. 

Aku harus hati-hati melangkahkan kaki ini, jangan sampai salah, apalagi nanti menyesal. 

Siapa tahu, ini ulah orang yang menginginkan keluarga bahagia kami pecah. Mereka mungkin mengharapkan aku bertengkar dengan Mas Ammar, kemudian mengajukan perceraian.

“Aida, Sayang. Mana bisa aku begituan dengan perempuan yang tidak jelas, sedangkan ada wanitaku yang luar biasa menungguku di rumah? Itu namanya merugi kalau sampai aku mengkhianati kepercayaanmu. Laki-laki di luar sana mungkin seperti itu, tetapi aku tidak seperti mereka,” ucapnya sambil mengulurkan tangan meraih telapak tanganku. 

Kali ini, aku terdiam. Sebagian hatiku mulai tersentuh, tetapi sisanya masih saja meragukan pria ini. Entah mana yang harus kupercayai? Mataku menajam menatapnya–mencari jawaban yang kucari. “Tolong jujur, Mas.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status