“Raya, kamu pikir aku menikahimu karena mencintaimu?”
Dahiku sontak berkerut.Tadi, Mas Arman-calon suamiku-memang mengajak untuk melihat rumah yang akan kami tempati nanti.
Semua tampak berjalan lancar. Bapak dan Ibuk juga terlihat lega melihat anak gadis satu-satunya di tangan yang “tepat”. Calon mantu berpenghasilan dan sudah mempunyai tempat tinggal. Apa lagi yang kurang?
Namun, pertanyaannya barusan membuatku seketika waspada.
“Kita memang dijodohkan, Mas. Aku pun demikian. Tidak mengerti apakah aku cinta atau tidak. Kata orang-orang tua, cinta akan timbul saat sering bersama dalam ikatan pernikahan,” jawabku berusaha berpikiran positif.
Selama ini, kami tidak pernah bertemu berdua untuk bicara secara pribadi. Selalu ada bapak ibuku atau orang tuanya. Aku pikir, hari ini menjadi kesempatan untuk saling menyatukan hati, tapi kenyataannya justru aku mendapati dia yang sebenarnya.
“Aku tidak mau membeli kucing dalam karung. Sudah menikah dengan biaya yang tidak sedikit, ternyata aku mendapatkan zonk.”
“Maksudnya, Mas? Raya tidak mengerti.”
Mas Arman yang duduk sofa sebelah sana, tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Raya. Aku ini bukan laki-laki yang lugu. Aku tahu persis kehidupan mahasiswa di kota. Gaya pacaran mereka bagaimana.”
Tetap saja, aku tidak mengerti apa yang dimaksud.
Aku beringsut saat dia berpindah tempat duduk. Sekarang dia mensejajarkan diri di dekatku. “Aku tidak yakin kalau kamu masih perawan.”
“Mas Arman! Kamu keterlaluan. Kamu ….” teriakku tidak sanggup melanjutkan kata-kata.
Ucapannya begitu menggores hati ini. Aku merasa dilecehkan.Bapak memberiku nama Nayaka Raya. Katanya, itu berarti pemimpin besar. Harapan yang tersemat senada dengan usaha Bapak yang menyekolahkan aku sampai lulus sarjana.
Jadi … saat sekolah ataupun kuliah, aku tidak pernah pacaran. Mempunyai teman laki-laki pun hanya sebatas rekan kuliah, atau kegiatan di kampus. Tujuanku hanya bertumpu untuk menjadi kebanggaan Bapak. Meraih gelar sarjana tanpa direcoki dengan hubungan asmara yang tidak perlu.
Aku pun menurut saat Bapak memperkenalkan Arman-putra teman masa sekolah Bapak-untuk dijodohkan denganku. Penampilannya lumayan dan terlihat sopan saat itu. Aku tidak masalah kalau nantinya aku tidak bisa menggunakan high hell lagi, karena calon suamiku tidak terlalu tinggi. Melupakan impianku seperti di novel roman, saat si gadis menjinjitkan kaki saat mencium sang pangeran. Tapi, siapa sangka ia akan berbuat seperti ini?
Genggaman tangan ini semakin terkepal erat saat dia mendekatkan wajah sambil berbisik, “Kalau begitu buktikan.”
Aku masih dalam keterkejutan. Dia mengutip paksa napas ini tanpa memberiku kesempatan untuk mengelak. Sofa panjang meleluasakan niatnya. Berusaha aku untuk memberontak, dan berakhir dengan kancing-kancing bajuku yang berhambur di lantai.
“Mas Arman! Hentikan!” teriakku saat dia menjeda.
Begidik diri ini melihat matanya yang mulai berkabut dan senyuman yang nyaris seperti seringai. Tindak tanduk sopan yang biasanya aku dapati, sekarang tidak tersisa.
“Jangan jual mahallah, Raya. Kita bersenang-senang. Toh aku ini calon suamimu, kan.”
“Ja-jangan, Mas. Tolong, ini tidak benar.” Aku mencoba beringsut menjauh sambil memegangi kemeja yang sudah tidak berkancing.
Alih-alih melepaskan aku, dia justru membisikkan kata-kata yang memaksaku bersiap untuk bertindak kasar.
“Ciumanmu payah. Aku jadi penasaran ingin membuktikan kalau kamu benar-benar perawan.”
DEG!
Kala itu, aku terdiam tidak percaya. Seseorang yang harus melimpahi aku dengan kasih sayang, justru menebar kengerian. Laki-laki yang mempunyai kewajiban menjaga wanitanya, malah kini dia bersiap merusak hidupku.
Musnah sudah bayangan merajut keindahan bersama lelaki ini. Seketika rasa mual dan ingin muntah mendera. Badanku gemetar menahan amarah yang mulai membuncah.
Calon suami seperti inikah yang akan aku nikahi? Laki-laki inikah yang akan kujadikan sandaran hidup sampai akhir hayat? Tidak! Detik ini juga, aku membuang manusia bejat ini.
“Kulit kamu mulus dan tubuhmu walaupun kurus, tapi berisi,” ucapnya dengan mata berkedip kurang ajar.
Seperti binatang kelaparan, dia merenggut bajuku, menarik paksa tanpa menghiraukan penolakan. Dia tetap meringsek dengan satu tangan membekap mulut ini. Aku tidak bisa menolak dengan kata-kata. Mau tidak mau aku melakukan pilihan terakhir. Melemaskan diri untuk mencari kesempatan.
Bibirnya tersenyum miring, mungkin merasa di atas angin karena aku mulai pasrah. Mendapat kesempatan, satu kali gerakan kaki ini berhasil menendang selangkangannya.
“Aduh!” Dia menangkup aset pribadi andalan laki-laki.
Aku bergegas beringsut berniat menjauh, tetapi gerakan tangannya lebih cepat. Ternyata, tendanganku kurang cukup kuat untuk melumpuhkannya. Gerakanku masih ragu.
PLAK!
Tubuhku terhuyun. Belum sempat menegakkan diri, satu tendangan menghantam tubuh ini dan aku pun tersungkur di atas meja kayu.
“Dasar jalang jual mahal!” teriaknya dengan menyeringai.
Tanpa menoleh pun, aku tahu dia berada di belakangku.
Napas tersenggal jelas tertangkap di pendengaranku. Keadaan terjepit, mataku menangkap asbak kaca tidak jauh dari tangan ini.
“Minimal beri aku alasan untuk menikahimu. Karena bertanggung jawab sudah mengambil keperawananmu. Iya, kan, Raya Sayang.”
Suaranya seperti lolongan serigala yang siap memangsa. Aku semakin bergidik saat dia mengusap tengkuk. “Ayo Sayang. Kita coba ranjang baru kita,” ucapnya sambil menunjuk ruangan tempat tidur.
Seperti takut kehabisan waktu, tanganku diseretnya.
Aku berontak, hingga membuatnya mencengkramku semakin kuat.
“Tidak akan!” teriakku sambil mengayun asbak kaca tepat di kepalanya.
Bugh!
***
Dia terkesiap, matanya terbelalak. Mungkin, tidak percaya kalau aku mampu melakukannya. Tangan ini dia lepaskan, kemudian dia menangkup kepala.Dari sela-sela jemarinya, mengucur darah segar. Sengaja aku arahkan ke dahi.Ini tidak akan menimbulkan akibat fatal, dari pada terkena tengkuk.“Perempuan kurang ajar!” serunya sebelum lelaki kurang ajar itu ambruk di lantai. Saat itu, dengan sisa kekuatan aku berhasil menghubungi Bapak.Kami pun dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.***“Maafkan Bapak, Nduk. Bapak yang salah karena menyebabkan kamu seperti ini.”Bapak menangis sambil menciumi tanganku.Orang tua mana yang sanggup melihat keadaan anaknya yang lebam di pipi dan memar di punggung akibat tendangan? Bapak begitu geram melihat keadaanku. Bahkan tadi sempat menambah tendangan dan pukulan pada Arman.Kemarahan itu redam kala beberapa hari kemudian keluarga beserta Arman datang ke rumah. Arman bersujud mengaku bersalah. Dia melantunkan kata-kata yang merujuk kalau dia
"Ehem! Apa ada yang kurang?"Deheman dan suara yang dikeraskan, menyadarkan aku."I-iya. Harus isi form dulu," jawabku segera.Aku gelengkan kepala, sambil membungkuk mengambil form di laci bagian bawah, dan menyerahnya. Sesaat aku menepuk dada, meruntuki kelakuanku yang kampungan ini. Memang dia terlihat tampan, tapi tidak seharusnya aku melongo seperti orang bodoh.Telunjuk dan ibu jari memposisikan frame kacamataku. Mata rabun ini harus menajam untuk membaca kartu identitas yang terlihat kecil.Nama yang tidak biasa, Alexander Dominic. Sepadan dengan penampilannya yang tidak seperti orang kebanyakan.'Masih bocah,' bisik hatiku.Kalau dihitung dari tahun lahir, dia berusia dua puluh lima. Kemungkinan anak muda ini berasal dari universitas lain yang berkunjung ke sini. Tidak mungkin dia mahasiswa di kampus ini, aku tidak pernah bertemu.Memang aku tidak hapal. Akan tetapi seseorang yang mencolok seperti dia, tidak mungkin terlewat dari pandangan."Selain kartu identitas, dilampirkan
Aku terdiam sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Ogah. Laki-laki yang tampangnya pas-pasan saja banyak yang belagu. Apalagi seperti dia? Bisa makan hati setiap hati." "Kenapa? Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin." "Laki-laki seperti Alexandra Dominic itu, anggap saja makhluk astral. Ada tapi tidak bisa dijangkau. Dia itu–" Ucapanku terhenti seketika. Dia ini benar-benar makhluk astral. Disebut namanya langsung muncul di hadapan. "Em... Mbak Raya. Ini ternyata sekretaris saya sudah menitipkan foto. Tadi jatuh di dalam tas," ucapnya sambil menyerahkan dua lembar foto berukuran kecil. Mbak Leni yang duduk membelakangi langsung membalikkan badan, dengan posisi seperti tadi. Bibir lelaki ini menyunggingkan senyuman tipis. Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi, ya? Ingin segera mengusir orang itu, aku langsung menempel foto itu ke kartu perpustakaan dan menyerahkan kembali. "Sekarang Pak Alex bisa menggunakan untuk meminjam buku," ucap Mbak Leni sambil mengangguk. Lagi-lag
Bukannya keder, dia justru tertawa kecil. Tangannya bertepuk seakan mendapat ide cemerlang. "Sip! Kenapa tidak dari tadi?" ucap Alex tersenyum lebar. "Apanya?" sahutku masih dengan kening masih berkerut. "Fotocopi. Saya tidak jadi pinjam. Semua difotokopi saja. Bisa?" Aku mengangguk. "Bisa. Ada ruangan fotokopi di atas. Pak Alex bisa bayar langsung di sana." "Kalau saya ambil besok, bisa?" Aku menoleh ke Pak Arya, tugasku sudah selesai. Selanjutnya dia yang harus melaksanakan tugasnya. "Bisa, Pak. Dengan syarat harus isi form dan meninggalkan deposit," sahut Pak Arya cepat. Laki-laki berwarna rambut semburat coklat, tersenyum. Kemudian mengeluarkan dompet dari saku. "Saya hanya punya uang cash segini. Pasti tidak cukup," ucapnya sambil menaruh tiga uang lembaran berwarna merah di depan meja Pak Arya. "Saya bayar pake dollar, ya. Adanya ini," ucapnya sambil mengeluarkan dua lembar uang kertas bergambar tokoh Amerika yang bertulis angka seratus. Mata ini melebar, walaupun ber
“Ada yang salah?” Mendengar ucapannya, aku tersadar dari lamunan. Segera, aku menunjuk bibirku--memberi petunjuk. “Oh.” Lidahnya dijulurkan menyapu bersih foam dan menyusuri bibirnya yang kemerahan. Kemudian, dia menyesap sekali lagi cappucino. Huft! Sesaat aku lupa bernapas. Tawaku terhenti dan memilih membuang pandangan ke arah lain. Dia terlihat seperti iklan kopi, dengan gerakan pelan yang begitu … mengundang penasaran rasanya bagaimana. “Kenapa disembunyikan?” “Apanya?” tanyaku sambil mengambil kentang dan menikmati dengan saus sambal. Ini bisa mengusir rasa jengah barusan. “Senyum dan tawanya Mbak Raya. Ternyata indah dan sedap dipandang mata. Daripada pasang wajah seram seperti tadi.” Dengan santai dia mulai menikmati croisant. Aku mengernyit. ‘Laki-laki ini merayu?’ bisik hatiku, dan seketika diri ini memasang benteng. Seperti siput, aku langsung masuk dalam cangkang. Senyum yang sempat terbersit, sekarang luruh. Niatku menikmati hidangan ini pun, musnah. Lebih bai
“Saya bosan.” Akhirnya dia berterus terang setelah dengan hebatnya membuatku keluar dari kursi kerja. Leni sontak menatapnya tajam. Menyadari itu, dia langsung berbicara kembali, “Begini Mbak Leni. Saya ini membutuhkan pemandu untuk mencari buku untuk menunjang pengembangan proyek baru. Kebetulan kemarin Mbak Raya menemani saya dan mengerti tentang bioteknologi.” “Maaf, Pak Alex. Kami tidak bisa menemani pengunjung,” ucapku cepat. Dia mengetuk-ngetuk telunjuk ke pelipis, seolah memikirkan sesuatu. “Kalau begitu, bantu saya mengurus foto kopian kemarin. Katanya tadi, mereka tidak menerima mata uang asing. Please … ini tidak sampai lima belas menit. I promise.” Seperti tahu kelemahan seniorku itu, Alex mengerjapkan mata dengan senyuman lebar yang menunjukkan lesung pipit. Karenanya, sekarang aku terdampar di ruang foto kopi yang masih disibukkan dengan pesanannya. Masih tertinggal empat buku tebal yang harus di foto kopi. “Tolong hitung saja dulu yang sudah, kemudian ditambahkan
“Kamu ini kebiasaan memaksakan kehendak, ya?” ucapku begitu bertemu dengannya. Dia yang duduk di belakang kemudi menoleh dan tersenyum, kemudian kendaraan berjalan pelan keluar dari tempat parkir. Tadi sempat otot-ototan, aku enggan masuk mobil. Bagaimanapun aku belum kenal benar siapa dia sebenarnya. Bisa jadi orang berniat jahat yang memakai topeng menawan. Namun kalau dipikir, siapa aku? Sampai segitunya hanya untuk menculikku. “Mbak Raya, kalau kita jalan kaki memang bisa. Tapi sampai sana, waktu istirahat sudah habis. Iya, kan?” Penjelasannya selalu berdasarkan logika, dan membuatku mengatakan iya. Memang rasa CEO itu beda. Di kepalanya tidak ada kamus tidak bisa, adanya hanya kalimat harus bisa. Mungkin karena ngeyel itu, dia bisa menjadi seperti sekarang. Mobil mahal berwarna hitam yang tidak berguna. Kapasitas hanya untuk dua orang dan tidak bisa untuk berbelanja. Buang duit saja, pikirku. Tidak lama, mobil sudah terparkir di restoran pizza Itali. Aku mengernyit, kemu
Aku masih kepikiran dengan ucapan si Alexander.Hanya saja, kupilih untuk mengabaikannya mengingat akhir minggu harusnya menjadi surga bagi karyawan sepertiku! Kami mempunyai kesempatan bergelung kembali ke ranjang selepas fajar. Itu yang aku lakukan sekarang sembari berkutat dengan ponsel melanjutkan cerita bersambung yang sudah ditagih kelanjutannya oleh pembaca. “Tor! Updatenya jangan lama-lama. Penasaran, nih.” “Saya sudah top-up seratus ribu. Update jangan Cuma dua bab. Koinnya masih banyak.” Kalau sudah begini, aku merasa senang campur bersalah. Yang bisa kulakukan hanyalah menyarankan untuk membaca dengan pelan-pelan dan mengutamakan kebutuhan keluarga, termasuk waktu. Bagiku, pembaca adalah sumber semangat. Tanpa mereka, penulis seperti orasi tanpa pendengar. Merasa dirindukan, disayangi, dan itu perasaan bahagia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ting![Raya! Kamu masih molor? Bantu aku. Kamu kesini, ya!] Pesan masuk dari Ria membuatku berhenti menulis. D