"Halo," sapa Emma pelan.
"Emma, Jessica bilang dia bertemu denganmu di depan kantornya. Mengapa tidak memberitahu paman kalau kau datang ke kota?" tanya Mike Palaru, paman Emma.
Pria paruh baya itu adalah adik dari ibu Emma. Tapi Emma tidak pernah menyukainya. Meskipun dia banyak membantu Emma dan ibunya, tapi sikap genit pria tua itu selalu membuat Emma merasa tidak nyaman.
"Aku tidak mau merepotkan paman," jawab Emma berbohong.
Emma tidak menyangka Jessica mengadu begitu cepat. Tapi mendengar nada suara pamannya, sepertinya Jessica belum mengadukan pertengkaran mereka tadi.
"Apa maksudmu merepotkan? Kau tinggal dimana? Biar paman jemput. Tinggallah bersama kami!" perintah sang paman bersemangat.
"Tidak usah paman. Aku tinggal bersama seorang temanku dari Calamba. Kami sudah berjanji untuk terus bersama, aku tidak mau membuatnya kecewa," sahut Emma kembali berbohong.
Tinggal bersama paman, bibinya dan Jessica adalah hal terakhir yang dia inginkan. Lebih baik dia hidup di jalanan daripada tinggal bersama mereka. Jenice, adik Jessica, adalah satu-satunya orang yang disukai Emma di keluarga itu, tapi sayangnya Jenice tidak memiliki kekuatan apapun di rumah itu.
"Baiklah, lalu apa kegiatanmu? Kalau kau tidak melakukan apa-apa lebih baik bermain di rumah paman, kebetulan Janice sedang liburan, jadi kalian bisa bermain bersama."
"Aku ... Aku bekerja paman, jadi tidak ada waktu untuk bermain."
Emma berusaha menenangkan suaranya, dia tidak ingin sang paman mengetahui kebohongannya.
"Paman, maaf aku harus pergi. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," ucap Emma cepat, lalu segera mematikan telepon genggamnya sebelum Mike Palaru menanyakan tentang pekerjaannya.
Emma meletakkan telepon genggamnya di atas meja.
"Setan apa yang masuk ke dalam pikiranku hingga nekat datang ke kota ini. Padahal hidupku baik-baik saja di Calamba," gerutu Emma sambil membongkar tasnya.
Dia memang tinggal sebatang kara di sana. Tapi hidupnya sungguh baik-baik saja dan dia sudah bisa memperkirakan masa depannya.
Emma mengeluarkan dompetnya dan mulai menghitung sisa uang yang dimilikinya.
"Masih cukup untuk hidup lebih dari sebulan. Kalau uangku habis, aku akan langsung pulang ke Calamba," guman Emma sambil memasukkan kembali dompetnya ke dalam tas.
Emma membawa semua uang tabungannya dan dalam dua minggu dia sudah menghabiskan seperempatnya untuk makan dan ongkos perjalanannya. Emma sudah berusaha menghemat pengeluarannya namun biaya hidup di ibukota memang sangat mahal dibandingkan dengan Calamba.
Ibukota tampak sangat menarik dan menggoda bagi Emma saat dia masih berada di Calamba. Dia selalu bermimpi untuk hidup di ibukota. Namun setelah tiba disini, ibukota bukan saja kehilangan daya tariknya tapi juga jadi sangat menakutkan bagi Emma.
***
"Pengunjung restoran ini adalah para elite dan orang-orang terkaya negeri ini. Kalau bukan karena terpaksa, aku tidak akan memperkerjakan seseorang tanpa pengalaman sepertimu."
Emma hanya mengangguk, mendengarkan manajer restoran, tempat dia akan memulai pekerjaan pertamanya di ibukota, sebagai pramusaji paruh waktu.
"Alice berikan seragamnya dan ajari dia dengan benar. Aku tidak akan menolerir kesalahan apapun!" perintah sang manajer kepada Alice.
Alice segera menarik Emma ke ruang ganti dan menyuruhnya berganti baju dengan cepat. Setelah itu Alice segera memberitahu Emma apa saja yang harus dia lakukan dan mengajarinya langsung.
Untungnya Emma adalah gadis yang cerdas dan cepat tanggap. Malam itu dia bekerja dengan sangat baik. Para pegawai menyukai cara kerjanya yang cepat dan sempurna. Cara kerjanya sangat meringankan pekerjaan pegawai lain. Sang manajer juga tampak sangat puas dengan hasil kerja Emma.
"Kalau kau terus bekerja seperti tadi. Aku yakin bos akan memberikan bonus yang besar untukmu," ucap Alice dalam perjalanan pulang dari restoran.
Emma hanya mengangguk senang. Akhirnya dia merasa kembali bersemangat, setelah hampir kehilangan harapannya terhadap ibukota.
"Apakah kau tahu tadi aku melayani Lea sang Diva? Aku sangat gemetar sampai hampir menjatuhkan catatanku. Dia tampak jauh lebih cantik daripada di TV," seru Emma dengan ekspresi tidak percaya.
"Tenang saja, kau masih akan bertemu dengan banyak orang terkenal lainnya. Para artis, politisi, konglomerat atau anak-anak kaya yang pekerjaannya hanya menghabiskan uang orangtua mereka. Tapi ingat, tetaplah profesional!" ucap Alice sambil tertawa senang, karena untuk pertama kalinya sahabatnya itu tampak bahagia sejak datang ke ibukota.
Hari kedua bekerja, Emma tampak lebih bersemangat lagi. Sebagai seorang gadis yang bertumbuh di kota kecil, Emma tidak pernah menyangka akan bertemu para selebriti dengan semudah ini di ibukota. Di Calamba mereka hanya akan menyaksikan para artis melakukan konser atau temu penggemar setahun sekali. Itupun mereka hanya bisa melihatnya dari jauh.
Emma mengikat rambutnya dengan rapi lalu berdandan dengan hati-hati, sehingga dia tetap terlihat segar dan cantik tapi tidak berlebihan. Para pramusaji dilarang memakai parfum dan sebelum mulai bekerja, manajer akan mengendus aroma mereka, yang berbau badan harus kembali mandi dan mengganti pakaiannnya.
Emma mulai bekerja dengan senyuman yang terus melengkapi kecantikannya. Gadis berusia 24 tahun itu tampak sangat menonjol dibandingkan para pramusaji lain. Kalau saja dia memakai gaun dan sepatu salah satu pengunjung, semua orang pasti mengira dia adalah seorang artis. Sayangnya pakaian pramusaji membuatnya dipandang sebelah mata. Bagi para pengunjung Emma dan pramusaji lainnya hanyalah orang-orang rendahan yang dibayar untuk melayani mereka.
"Ini tip untukmu," bisik salah satu pengunjung sambil menyerahkan beberapa lembar uang kepada Emma.
"Terima kasih, Nyonya," ucap Emma sambil tersenyum sopan.
"Kau sangat ramah dan tulus. Aku menyukai cara kerjamu," ucap wanita tua itu sambil menepuk lembut lengan Emma.
Emma segera berjalan kembali ke dapur dan mencari Alice.
"Alice seseorang memberikan aku tip, apa yang harus aku lakukan?" tanya Emma bingung.
"Simpan saja. Apakah kau sudah mengucapkan terima kasih?"
"Tentu saja aku mengucapkan terima kasih. Aku bukan anak kecil yang tidak tahu bagaimana caranya bersikap! Tapi uang ini ... apakah aku tidak perlu memberitahu manajer?" tanya Emma lagi.
"Emma, setiap tip yang diberikan adalah hak kita. Itu sudah menjadi kebijakan restoran ini. Karena itu bekerjalah yang rajin agar kita mendapat banyak tip."
Emma mengangguk dengan senang, lalu kembali bekerja. Dia segera mengambil buku menu dan membawanya ke meja yang baru saja di isi oleh dua orang tamu pria.
"Sila ...."
Emma berhenti bicara ketika melihat salah satu tamu pria yang tadi duduk membelakanginya. Matanya membesar dan mulutnya menjadi kering karena tidak menduga pertemuan ini.
"Emma?" Emma menelan ludah dan berdeham untuk membersihkan tenggorokannya. Dia kembali tersenyum lalu menyerahkan buku menu kepada masing-masing tamu."Emma apa kau bekerja disini?"Emma menanggukkan kepalanya dengan sopan."Silakan memilih menu yang diinginkan, saya akan datang lagi untuk mencatat pesanannya," ucap Emma lembut."Emma, kita harus bicara.""Paman, aku sedang bekerja. Tolong jangan mempermalukan aku," ucap Emma hampir berbisik."Baik, setelah kami selesai makan. Minta izin kepada bos mu untuk keluar sebentar dan berbicara dengan paman!" tegas Mike Palaru dengan tatapan tajam.Emma benar-benar tidak menyangka pamannya akan datang ke restoran ini. Dia tahu pamannya memiliki kehidupan yang baik di ibukota. Tapi dia juga tahu pamannya bukanlah konglomerat atau orang dengan kekayaan berlimpah. Bertemu dengan pamannya benar-benar mengubah suasana hati Emma."Ada apa?" tanya Alice yang mengamati Emma sejak tadi."Pamanku. Dia ingin bicara denganku setelah selesai makan," ucap
"Kita mau kemana, paman?" tanya Emma mulai khawatir begitu mereka keluar dari lift. Semua tampak seperti pintu kamar dan tidak ada satu ruanganpun yang tampak seperti ruang pertemuan."Seseorang sedang menunggumu di kamar VVIP. Dia adalah teman paman yang makan bersama paman semalam. Apa kau tahu bahwa dia adalah seorang konglomerat? Dia sangat menyukaimu. Layani dia dengan baik, maka kau pasti akan mendapatkan uang yang banyak."Emma terbelalak. Dia mundur dan menatap Mike Palaru dengan bingung."Apa maksud paman? Mengapa aku harus melayaninya? Bukankah hotel ini punya pegawai yang siap melayani setiap tamu?" tanya Emma dengan suara bergetar."Emma, dia menginginkanmu. Apa kau tahu betapa sulitnya mencari wanita yang sesuai dengan seleranya? Dia bersedia membayarmu puluhan juta demi melayaninya. Lagipula ini kan juga pekerjaanmu," paksa Mike sambil menarik lengan Emma."Paman aku mohon, aku tidak mau masuk ke sana. Aku sudah katakan, aku tidak mau menerima pekerjaan yang paman tawar
"Tuan, proyek kita di Calamba mengalami masalah. Sebagian warga terprovokasi oleh beberapa orang yang meyakinkan mereka bahwa kita akan menghancurkan kota mereka," lapor Tony, asisten Ethan begitu pria itu tiba di kantor."Lalu?" tanya Ethan sambil berjalan dengan cepat. Hari masih pagi, tapi berita pertama yang dia dapatkan adalah berita buruk. Suasana hati Ethan memburuk mendengar berita itu, belum lagi dia masih kesal memikirkan apa yang terjadi terhadap Emma di hotel miliknya kemarin. "Mereka menolak pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan.""Aku akan kesana hari ini dan memeriksanya langsung. Siapkan saja semua berkasnya!""Baik, Tuan. Berapa orang yang anda butuhkan untuk mengantar anda, Tuan?""Aku akan kesana sendirian, siapkan saja mobilku. Aku akan menghubungimu bila membutuhkan bantuan,""Baik. Tuan," jawab Tony cepat. Dia baru saja akan keluar dari ruangan Ethan ketika Ethan kembali memanggilnya."Bagaimana dengan Mike Palaru?" "Sudah saya bereskan, Tuan.""Baik, ingat
"Sudah berapa lama kau bekerja sebagai asisten?" tanya Emma lagi."Belum lama," jawab Ethan asal-asalan.Emma berhenti bertanya dan mulai sibuk dengan telepon genggamnya. Ethan merasa lega karena akhirnya dia lolos dari pertanyaan-pertanyaan Emma yang menyudutkan."Aku sedang mencari pemilik Empire, ternyata Empire adalah bagian dari Atlantis Grup dan aku tidak menduga kalau ternyata perusahaan ini sangat besar. Pantas saja kau diperbolehkan membawa mobil sebagus ini. Siapa nama bosmu?"Pertanyaan Emma membuat tenggorokan Ethan tercekat. Dia pikir Emma sudah tidak tertarik dengan latar belakangnya, ternyata sebaliknya."Ngomong-ngomong aku lupa menanyakan namamu, Nona ....""Emma. Namaku Emma Cruz. Jadi siapa nama bosmu?" jawab Emma lalu melanjutkan pertanyaannya."Namanya Tuan Francis Lucero," jawab Ethan cepat.Francis Lucero adalah nama paman Ethan, adik ibunya. Tadinya dia ingin menyebutkan nama ayahnya, tapi jika Emma mencari tahu tentang ayahnya maka kebohongan Ethan pasti ketah
"Membersihkan rumahmu?" ulang Ethan masih tidak percaya dengan apa yang di dengarnya."Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Aku tahu kau kelaparan. Ayo," ajak Emma sambil menarik tangan Ethan.Ethan mengikuti Emma dengan patuh, dia benar-benar tidak menyangka kebohongannya akan membuat keadaannya memburuk. Dia datang hanya untuk memeriksa proyek yang dia buat dan berakhir membersihkan rumah seorang gadis asing yang akan membayarnya dengan makanan."Ayo masuk."Ethan masuk perlahan, dia melihat sekelilingnya. Rumah sederhana namun sangat apik. Halamannya terlihat tidak terlalu kotor, hanya beberapa tanaman yang tampak layu karena tidak disiram dan beberapa rumput liar yang tidak terlalu mengganggu pemandangan. Ethan merasa tidak akan terlalu masalah membersihkan rumah yang sedikit kotor.Memasuki rumah barulah Ethan melihat debu yang cukup tebal. Ethan adalah penggila kebersihan dan semua orang disekitarnya tahu itu. Dia tidak tahan melihat debu yang memenuhi rumah Emma. Dia mulai
Emma menatap Ethan dengan mata membesar. Ethan membalas tatapan Emma dengan senyum lembut. "Wah, kekasihmu tampan sekali!" seru wanita lain sambil tertawa senang. Emma benar-benar putus asa karena tahu kali ini dia tidak akan lolos dari gerombolan pemangsa gosip ini. 'Ethan bodoh!' maki Emma dalam hati. "Anak muda, dari mana asalmu? Apa kau seorang mahasiswa di Universitas Calamba?" tanya wanita termuda di antara mereka. "Apa wajahku terlihat seperti mahasiswa?" tanya Ethan sambil tersenyum manis. "Ya, kau terlihat sangat tampan dan muda. Aku menduga kau berumur 22 tahun," jawab wanita itu malu-malu. "Nyonya, anda benar-benar berlebihan. 22 tahun? Apa anda tidak melihat keriput di wajahnya? Aku hampir memanggilnya paman, ketika kami baru pertama kali bertemu," sahut Emma yang merasa tersinggung karena para wanita itu menduga dirinya lebih tua dari Ethan. Mendengar kata-kata Emma semua orang tertawa mereka pikir Emma hanya bercanda. "Apa kalian mau makan?" tanya salah satu wan
"Mengapa kau harus melakukan itu, Emma?" tanya Ethan mulai marah."Ini adalah tanah kelahiranku. Kewajibanku melindunginya dari orang-orang yang akan merusaknya!" tegas Emma tidak peduli dengan nada suara Ethan."Lalu apa kau tidak peduli dengan keuntungan yang akan didapat oleh tanah kelahiranmu ini? Oleh orang-orang yang kesejahteraannya akan meningkat karena pembangunan itu?" tanya Ethan mencoba mempengaruhi Emma."Keuntungan? Apa menurutmu mereka mau, tanah tempat mereka hidup dijadikan tempat perzinahan?" "Darimana kau tahu hotel itu akan dijadikan tempat perzinahan? Kalau orang mau melakukan hal itu, maka hotel bukan satu-satunya tempat! Apa di Calamba tidak ada prostitusi? Apa tidak ada yang berzinah disini? Apa hanya orang-orang suci yang hidup disini?" bentak Ethan tidak tahan lagi dengan Emma yang sangat keras kepala.Emma menatap Ethan dengan tajam. Dia tidak suka dengan kata-kata Ethan tapi tidak dapat membantahnya."Kau benar-benar anjing penjaga yang setia. Pantas saja
Emma dan Ethan baru saja tiba di alun-alun ketika sekelompok wanita meneriaki mereka."Itu Emma dan kekasihnya!""Hei, kalian berdua, cepat ke sini!" panggil wanita keriting yang tadi mereka temui di rumah makan.Emma dan Ethan segera berjalan ke arah para wanita itu."Selamat malam nyonya. Kami mau menemui kepala desa, tadi dia meminta bantuan kami," ucap Emma sopan."Dia sudah memberitahu kalau kalian akan datang membantu. Sekarang kalian berdua tolong bantu kami untuk membereskan semua meja ini. Acaranya akan mulai setengah jam lagi," perintah Nyonya pemilik rumah makan.Mereka segera bergerak dengan cepat. Ethan lega karena sebenarnya tidak terlalu banyak hal yang harus mereka lakukan, sebagian besar sudah dibereskan oleh para warga. Dia masih tidak mengerti mengapa Emma merasa sangat tertekan datang ke acara ini, padahal Ethan merasa baik-baik saja.Kepala desa mulai menyalakan mikrofon dan memberitahu semua warga yang hadir bahwa acara akan segera dimulai."Bersiaplah!" ucap Emm