Share

BAB 3

"Halo," sapa Emma pelan.

"Emma, Jessica bilang dia bertemu denganmu di depan kantornya. Mengapa tidak memberitahu paman kalau kau datang ke kota?" tanya Mike Palaru, paman Emma.

Pria paruh baya itu adalah adik dari ibu Emma. Tapi Emma tidak pernah menyukainya. Meskipun dia banyak membantu Emma dan ibunya, tapi sikap genit pria tua itu selalu membuat Emma merasa tidak nyaman. 

"Aku tidak mau merepotkan paman," jawab Emma berbohong.

Emma tidak menyangka Jessica mengadu begitu cepat. Tapi mendengar nada suara pamannya, sepertinya Jessica belum mengadukan pertengkaran mereka tadi.

"Apa maksudmu merepotkan? Kau tinggal dimana? Biar paman jemput. Tinggallah bersama kami!" perintah sang paman bersemangat.

"Tidak usah paman. Aku tinggal bersama seorang temanku dari Calamba. Kami sudah berjanji untuk terus bersama, aku tidak mau membuatnya kecewa," sahut Emma kembali berbohong.

Tinggal bersama paman, bibinya dan Jessica adalah hal terakhir yang dia inginkan. Lebih baik dia hidup di jalanan daripada tinggal bersama mereka. Jenice, adik Jessica,  adalah satu-satunya orang yang disukai Emma di keluarga itu, tapi sayangnya Jenice tidak memiliki kekuatan apapun di rumah itu.

"Baiklah, lalu apa kegiatanmu? Kalau kau tidak melakukan apa-apa lebih baik bermain di rumah paman, kebetulan Janice sedang liburan, jadi kalian bisa bermain bersama."

"Aku ... Aku bekerja paman, jadi tidak ada waktu untuk bermain."

Emma berusaha menenangkan suaranya, dia tidak ingin sang paman mengetahui kebohongannya.

"Paman, maaf aku harus pergi. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," ucap Emma cepat, lalu segera mematikan telepon genggamnya sebelum Mike Palaru menanyakan tentang pekerjaannya.

Emma meletakkan telepon genggamnya di atas meja. 

"Setan apa yang masuk ke dalam pikiranku hingga nekat datang ke kota ini. Padahal hidupku baik-baik saja di Calamba," gerutu Emma sambil membongkar tasnya.

Dia memang tinggal sebatang kara di sana. Tapi hidupnya sungguh baik-baik saja dan dia sudah bisa memperkirakan masa depannya. 

Emma mengeluarkan dompetnya dan mulai menghitung sisa uang yang dimilikinya. 

"Masih cukup untuk hidup lebih dari sebulan. Kalau uangku habis, aku akan langsung pulang ke Calamba," guman Emma sambil memasukkan kembali dompetnya ke dalam tas.

Emma membawa semua uang tabungannya dan dalam dua minggu dia sudah menghabiskan seperempatnya untuk makan dan ongkos perjalanannya. Emma sudah berusaha menghemat pengeluarannya namun biaya hidup di ibukota memang sangat mahal dibandingkan dengan Calamba.

Ibukota tampak sangat menarik dan menggoda bagi Emma saat dia masih berada di Calamba. Dia selalu bermimpi untuk hidup di ibukota. Namun setelah tiba disini, ibukota bukan saja kehilangan daya tariknya tapi juga jadi sangat menakutkan bagi Emma.

***

"Pengunjung restoran ini adalah para elite dan orang-orang terkaya negeri ini. Kalau bukan karena terpaksa, aku tidak akan memperkerjakan seseorang tanpa pengalaman sepertimu."

Emma hanya mengangguk, mendengarkan manajer restoran, tempat dia akan memulai pekerjaan pertamanya di ibukota, sebagai pramusaji paruh waktu.

"Alice berikan seragamnya dan ajari dia dengan benar. Aku tidak akan menolerir kesalahan apapun!" perintah sang manajer kepada Alice.

Alice segera menarik Emma ke ruang ganti dan menyuruhnya berganti baju dengan cepat. Setelah itu Alice segera memberitahu Emma apa saja yang harus dia lakukan dan mengajarinya langsung.

Untungnya Emma adalah gadis yang cerdas dan cepat tanggap. Malam itu dia bekerja dengan sangat baik. Para pegawai menyukai cara kerjanya yang cepat dan sempurna. Cara kerjanya sangat meringankan pekerjaan pegawai lain. Sang manajer juga tampak sangat puas dengan hasil kerja Emma.

"Kalau kau terus bekerja seperti tadi. Aku yakin bos akan memberikan bonus yang besar untukmu," ucap Alice dalam perjalanan pulang dari restoran.

Emma hanya mengangguk senang. Akhirnya dia merasa kembali bersemangat, setelah hampir kehilangan harapannya terhadap ibukota.

"Apakah kau tahu tadi aku melayani Lea sang Diva? Aku sangat gemetar sampai hampir menjatuhkan catatanku. Dia tampak jauh lebih cantik daripada di TV," seru Emma dengan ekspresi tidak percaya.

"Tenang saja, kau masih akan bertemu dengan banyak orang terkenal lainnya. Para artis, politisi, konglomerat atau anak-anak kaya yang pekerjaannya hanya menghabiskan uang orangtua mereka. Tapi ingat, tetaplah profesional!" ucap Alice sambil tertawa senang, karena untuk pertama kalinya sahabatnya itu tampak bahagia sejak datang ke ibukota.

Hari kedua bekerja, Emma tampak lebih bersemangat lagi. Sebagai seorang gadis yang bertumbuh di kota kecil, Emma tidak pernah menyangka akan bertemu para selebriti dengan semudah ini di ibukota. Di Calamba mereka hanya akan menyaksikan para artis melakukan konser atau temu penggemar setahun sekali. Itupun mereka hanya bisa melihatnya dari jauh. 

Emma mengikat rambutnya dengan rapi lalu berdandan dengan hati-hati, sehingga dia tetap terlihat segar dan cantik tapi tidak berlebihan. Para pramusaji dilarang memakai parfum dan sebelum mulai bekerja, manajer akan mengendus aroma mereka, yang berbau badan harus kembali mandi dan mengganti pakaiannnya.

Emma mulai bekerja dengan senyuman yang terus melengkapi kecantikannya. Gadis berusia 24 tahun itu tampak sangat menonjol dibandingkan para pramusaji lain. Kalau saja dia memakai gaun dan sepatu salah satu pengunjung, semua orang pasti mengira dia adalah seorang artis. Sayangnya pakaian pramusaji membuatnya dipandang sebelah mata. Bagi para pengunjung Emma dan pramusaji lainnya hanyalah orang-orang rendahan yang dibayar untuk melayani mereka.

"Ini tip untukmu," bisik salah satu pengunjung sambil menyerahkan beberapa lembar uang kepada Emma.

"Terima kasih, Nyonya," ucap Emma sambil tersenyum sopan.

"Kau sangat ramah dan tulus. Aku menyukai cara kerjamu," ucap wanita tua itu sambil menepuk lembut lengan Emma.

Emma segera berjalan kembali ke dapur dan mencari Alice.

"Alice seseorang memberikan aku tip, apa yang harus aku lakukan?" tanya Emma bingung.

"Simpan saja. Apakah kau sudah mengucapkan terima kasih?"

"Tentu saja aku mengucapkan terima kasih. Aku bukan anak kecil yang tidak tahu bagaimana caranya bersikap! Tapi uang ini ... apakah aku tidak perlu memberitahu manajer?" tanya Emma lagi.

"Emma, setiap tip yang diberikan adalah hak kita. Itu sudah menjadi kebijakan restoran ini. Karena itu bekerjalah yang rajin agar kita mendapat banyak tip."

Emma mengangguk dengan senang, lalu kembali bekerja. Dia segera mengambil buku menu dan membawanya ke meja yang baru saja di isi oleh dua orang tamu pria.

"Sila ...."

Emma berhenti bicara ketika melihat salah satu tamu pria yang tadi duduk membelakanginya. Matanya membesar dan mulutnya menjadi kering karena tidak menduga pertemuan ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status