Tanganku bergerak risi.
Entah yang mana yang benar, yang kutahu mereka sama sekali tak mau dekat-dekat denganku.
"Brian membenciku."
"Di mataku dia tidak terlihat seperti membencimu," cetus James sambil mengangkat bahunya.
Mungkin aku salah, seperti halnya aku salah mengira James menyukaiku.
Tapi apa gunanya?
"Seharusnya aku kembali ke kelas ketika Brian bilang kalau mereka putus. Tapi adegan Britt yang memohon agar mereka tidak putus sangat seru untuk ditonton. Dia memelas, Cath."
"Bagus untukmu," balasku tidak benar-benar bermaksud mengatakannya.
James mengambil tanganku.<
[BAB II] BERIAK MEMBENTUK SEBUAH GARIS _______________ “Kau terlihat bosan.” Nanda tiba-tiba masuk sambil menenteng dua kantong plastik besar. Aku yang memang sedang bosan menyambutnya hambar. Demi apa pun, tempat ini benar-benar membosankan, aku sungguh tidak tahan. “Dan kau terlihat menikmati pemandangan aku yang bosan.” Nanda tertawa. Dia meletakkan bawaannya di meja samping kasur, mengeluarkan sebungkus camilan yang aku yakin dilarang Lithia untuk aku makan. “Kau mau?” “Kau sengaja ingin mengejekku, kan?” “Oh, aku tidak sejahat itu.” Dia tertawa geli. Menunjukkan bahwa dia memang sedang mengejekku. Ada apa dengan perubahan sikapnya ini, tidak seperti dia saja. “Aku sudah bilang, aku akan membuatmu tidak berhenti menyukaiku.” Aku menatapnya. Dia seperti membaca pikiranku. Apa karena dia belajar psikologi? “Aku ingin memperingatkan terlebih dahulu, jangan kecewa kalau kau gagal nantinya,” saranku. “Kadang aku bisa mengatakan dan melakukan sesuatu itu tanpa berpik
“Ah, sudah kuduga akan begini.” Suara Cindy tiba-tiba muncul. Soda di tanganku ikut menghilang bersamaan dengan kemunculannya. Dan Cindy menatap aku dan Nanda berang. “Kubilang dia tak dibolehkan makan minum sembarangan! Kenapa malah kau beli semua jenis makanan ringan tidak sehat ini!” Dia mengerang. “Ah! Aku benar-benar tidak ingin mendengar Lith mengomel-omel karena ini dan kau Nanda, kau memberiku tiket untuk mendengar langsung omelannya yang bisa berlangsung berjam-jam.” “Bagus untukmu.” Aku terkekeh. Melupakan fakta jika tiket itu juga berlaku untukku.
Sejak kepergian James, aku kembali berpikir serius. Apa yang terjadi ketika aku SMP. Kenapa aku tidak ingat kejadian-kejadian yang lamanya tidak sampai lima tahun itu. Kenapa Brian dan Archer membenciku. Kenapa mereka memperlakukanku seperti hantu yang menyeramkan. Dan berbagai kenapa lainnya yang tak ada satu pun yang bisa kujawab saat ini. “Dia begitu marah hingga tak ingin melihat wajahku lagi.” Brittany kembali mengambil satu langkah maju. “Biar aku bertanya satu hal ... apa kau bahkan suka padanya?” Aku menatap Brittany, hampir saja memujinya. Dia punya imajinasi yang cukup hebat. Aku kagum dengan kreativitasnya. Sepertinya dia akan sukses menjadi penulis cerita fiksi. Aku akan membeli buku buatannya jika dia benar-benar menjadi penulis. “Aku tahu kalian dulu dekat—bukan, kau dekat dengan semua cowok.” Kali ini Brittany tidak lagi melangkah maju. “Kau tidak menyukainya tapi kenapa kau tidak melepaskan Brian dan membiarkan dia bahagia?” “Dari mana kau tahu aku du
“Tenanglah,” bujukku. Aku tak ingin mendengar Cindy mengumpat meskipun dia sangat menggemaskan. “Bahkan menurutnya Brian menyukaiku. Dia benar-benar mengatakan semua omong kosong untuk membuat alasan agar bisa menyalahkanku atas kelakuannya sendiri.” “Dia bilang Brian menyukaimu?” tanya Lithia. Oh, sial. Aku lupa. Lithia menyukai Brian. Kenapa aku melupakan hal semacam ini. Aku mengangguk dengan tergesa. “Apa sih bagusnya orang brengsek satu itu—” Aku salah omong lagi. “—ah, dia tampan aku akui. Tapi banyak orang yang lebih tampan dari dia. Contohnya ... Nanda ... atau James. Kau Lith, sebaiknya segera melupakan orang brengsek itu. Dia membuatmu sakit mata.” “Ngomong apa sih kau, Cath?” Cindy melempar selimut ke wajahku. Dia juga sama salah tingkahnya seperti aku. Ini salahku karena membahas Brian. Lithia tertawa. “Kalian berdua apa sih? Aku tak apa-apa.” “Siapa yang khawatir!” elak Cindy. Oh, Cindy. Aku tak akan heran lagi jika dia nanti kelepasan mengaku suk
“Apapun yang keluar dari mulut ayahku. Percayalah ... setiap katanya, dia bersungguh-sungguh.” “Apa kau sebelumnya pernah bertemu ayah Cath, Lith?” tanya Cindy. “Beberapa kali,” jawab Lithia tak fokus. “Waktu itu kau sedang liburan bersama keluargamu ke Dublin?” Aku pun ikut menimpali. “Iya, waktu itu kau ke Dublin.” “Ayahnya datang dan mengajak keluargaku untuk camping bersama—seolah tahu ayahku itu suka naik gunung.” “Dia memang tahu, makanya dia menyuruhku mengajak keluargamu juga,” timpalku lagi. “Ada apa dengan ekspresimu, Cath?” Cindy terkekeh geli. “Seolah kau ingin jauh-jauh dari ayahmu.” Pengamatan yang tepat, Cindy. Aku salut padamu. “Oh, kau akan mengetahuinya, Dy. Saat melihat ayahku nanti, kau akan paham.” Lithia akhirnya selesai membongkar kantong keresek pemberian Nanda dan kembali bergabung dengan kami. “Aku ingat waktu itu, kau tidak sengaja terjerembap ke lubang jebakan—yang aku tidak mengerti itu kenapa kau menjadi semakin ceroboh saat ada ayahmu. Kau
Jadi, sekarang aku berada di Amsterdam yang jauhnya satu jam memakai pesawat dan empat jam memakai kereta. Alasan ayahku baru sampai hari ini daripada kemarin walau Amsterdam-London hanya berjarak satu jam, ternyata karena dia mempersiapkan ini semua. Proses pemindahanku ke Amsterdam. Aku ingin mengumpat. 'Jadi kita benar-benar terpisah seperti ini?' Cindy dan Lithia meneleponku tak lama setelah aku dipindahkan di kamar VIP rumah sakit terbesar di kota ini. Aku benar-benar ingin mengumpat. 'Sudah kubilang jangan mengejeknya, Dy. Ayahnya itu serius.' 'Ayolah! Siapa yang mengira ayahnya sepanik itu karena lukanya yang tidak seberapa itu—lihat! Kau pun tak menyangkanya.' “Berhenti berdebat, kalian dua orang yang tak punya kerjaan. Sepertinya aku baru bisa kembali tahun depan—ah sialan.” Pada akhirnya aku mengumpat. “Mungkin saja aku tidak bisa kembali sama sekali.” 'Hei! Jangan bercanda. Kau tidak punya hati nurani, Cath!' Cindy menghardikku karena panik. 'Kalau tidak a
“Tapi, Lith. Apa kau bertanya ke Rad tentang bekas jahitan di punggungku?” 'Ah...' Lithia kaget karena aku tiba-tiba mengganti topik. 'Rad tidak mau memberitahuku.' Jika ada orang yang tahu segalanya tentangku, maka itu adalah adikku. Tapi aku tak pernah bertanya langsung padanya. Karena dia yang ada justru menghinaku dan menghinaku lagi, dia tak akan pernah puas menghinaku entah seberapa sering dia melakukannya. Rasanya menyebalkan saja. Ayahku selalu memutuskan semuanya sendiri, ibuku selalu mengajakku berdebat kapan pun itu, dan adikku selalu menghinaku setiap dia melihatku. 'Katanya ada alasannya kenapa kau tidak ingat tentang itu.' Siapa pula yang percaya adikku bisa mengatakan hal seperti itu dengan otak ikannya itu. “Katakan saja apa yang kau dengar darinya, Lith.” 'Kau yakin?' Aku hanya diam sebagai jawabannya. 'Dia bilang ... ‘Kalau dia tak lemah sudah pasti dia bakal ingat. Karena dia tak ingat, itu berarti dia lemah. Percuma kasih tahu orang lemah.’ Dia h
Aku menatap pintu yang tak lama kemudian terbuka. Menampilkan sesosok tubuh mungil anak laki-laki. Aku benar, dia berlari kepadaku. Apalagi setelah dia melihatku. Ini benar-benar membingungkan, bagaimana bisa dia berada tiba-tiba persis di depan wajahku. Maksudku, aku sedang berbaring di kasur yang tingginya hampir sama dengan anak laki-laki itu. Tapi seolah, di sini, semuanya mengikuti keinginan anak laki-laki itu. - Kondisi lu kacau… Yah, seenggaknya sekarang koneksinya sudah nyambung. Jangan keluar dari ^Magna Frisia^ untuk beberapa saat ini. Terima hadiah gue. Dia memakai bahasa yang tak kukenali tapi aku memahaminya seketika. Aku ingin berbicara ketika dia tiba-tiba menciumku—maksudku, ada apa dengan ini semua. Apa yang sedang— 'Cath? Apa kau tertidur? Hei bangun! Siapa yang mengatakan kau bisa tidur saat aku sedang bicara.' Aku refleks melihat ponsel di tanganku. “Cindy?” 'Kau akhirnya bangun! Siapa yang ....' Aku melihat sekitarku. Apa aku tertidur dan bermimpi?