Lithia mengangkat panggilanku dan memberikan sapaan dengan pertanyaan tanpa habis. Aku tak menjawab satu pun pertanyaannya. "Pinjamkan aku baju, Lith. Tolong antarkan ke rumah sakit." 'Rumah sakit? Apa yang kau lakukan di sana?' "Akan kujelaskan di sini," kataku lalu memutuskan panggilan. Aku kembali memerhatikan tanganku yang berdarah. Ini darah Archer. "Kau berhutang cerita padaku," kataku, menatap Archer yang menutup matanya. Aku tahu dia tidak benar-benar tidur. Aku berjalan menuju toilet untuk membersihkan darahnya dariku. Aku tidak ingin membuat Lithia heboh karena penampilanku. Tidak terlalu lama hingga Lithia datang bersama pakaian bersih. "Apa yang terjadi?" tanyanya berusaha untuk tidak histeris. "Kau berdarah." Aku tersenyum. "Bukan darahku." Aku mengganti seragamku dengan kaos navi polos dan rok putih selutut. Aku ingin protes tentang rok ini, tapi aku mengurungkannya. Setidaknya diriku yang sekarang sudah layak dilihat. "Apa yang terjadi?" tanya Lithi
Aku kembali ke ruangan Archer. Aku telah mengecek wajahku di cermin sebelum kembali, setidaknya aku tidak terlihat seperti telah menangis. Dia masih terlelap di kasur, membuatku merasa lega. Aku berjalan perlahan agar tidak membangunkannya. Lalu duduk di sampingnya. Jemariku perlahan memeluk jari kelingkingnya, takut membuatnya terbangun. Aku memerhatikannya untuk beberapa saat, kemudian tersadar jika badanku juga lelah. Aku merebahkan kepalaku di sisi kasurnya yang kosong, jemariku masih menggenggam kelingkingnya. Tak lama hingga aku ikut terlelap. Saat aku bangun, kurasakan ada kain yang menutupiku.
Selama menunggu Cindy dan Lithia menjemputku, aku hanya menatap bayanganku di cermin toilet rumah sakit. Entah berapa lama. Aku juga memberitahu adikku bahwa aku tidur di tempat temanku, meminta maaf karena lupa memberitahu lebih cepat. Namun yang menjemputku justru Nanda. Terkutuklah Cindy dan Lithia. Dia juga menungguku berganti sebelum mengantarkanku ke sekolah. "Aku ingin meminta maaf," katanya di perjalanan. "Kupikir kau juga menyukaiku." "Aku memang menyukaimu," kataku pelan. "Namun seperti yang kubilang, perasaanku tidak akan bertahan lama."
"Well, kalian tidak pandai berbohong," ejekku. "Kau bahkan juga tidak bisa menyamarkan niatmu padanya," ringis Cindy pelan. Tapi aku mendengarnya. Aku mengelak, "Bukannya kau yang menceritakan bahwa aku suka dia." "Mana mungkin aku menceritakan hal seperti itu padanya," balas Cindy. Lithia memijat kepalanya, tapi tak menengahi kami. "Kalau bukan kau siapa lagi?" "Dia tahu sendiri, Cath. Aku juga kaget ketika dia kembali dan mengatakan kau menolaknya. Maksudku, dia bodoh atau gila?!" "Keduanya," kataku sambil terkekeh. "Setidaknya senyumnya manis." "Oh, Cath. Aku minta maaf kemaren membentakmu," ucap Cindy lalu memelukku. "Nanda tidak pernah membahas tentang percintaannya apalagi mengatakan orang yang disukanya. Aku kaget saja." Aku membalas pelukannya erat. "Aku juga minta maaf, seharusnya mulutku perlu diberi sedikit penyaring." Kami memisahkan diri ketika mendengar teriakan dari luar. Spontan saja kami keluar kelas dan mencari sumber suara. Entah mengapa aku seperti
Aku menjawab pertanyaan Lithia itu tanpa banyak pikir. "Aku baru saja melukainya." Hanya untuk mendapatkan umpatan kesal dari Cindy. "Sebelum ini, bodoh!" Juga Lithia yang biasanya menegur Cindy saat dia mengumpat, kali ini dia hanya menatapku saja dengan mulut membisu. Pada akhirnya aku yang mengalah. Aku berusaha mengingat-ingat insiden yang pernah aku alami, tapi tidak ada. Selain masa SMP-ku yang tidak terekam di kepalaku, tentu saja. "Tidak pernah." "Tapi mengapa ada bekas jahitan?"
Ketika aku membuka mataku, pandanganku masih belum terlalu jelas. Suara orang bercakap-cakap membuatku mencoba memicingkan mata. "Kau benar tidak ingin cerita?" Suara yang tenang namun menuntut itu adalah suara Lithia. Aku masih belum jelas melihat sosoknya tapi itu dia. "Aku sudah berjanji." Aku juga mengenali suara itu. Rad, adikku. Entah apa yang mereka bahas. Yang jelas, Lithia terdengar frustrasi di setiap katanya. Aku mencoba menggerakkan tanganku ketika Lithia kembali bersuara. "Dia tidak ingat—Cath, kau sadar?" Hanya erangan kecil yang sanggup kukeluarkan. Operasi tadi sepertinya menguras habis tenagaku. Dan penglihatanku masih belum membaik, tapi aku sudah bisa melihat sedikit bayangan Lithia dan Rad di kedua sisiku. "Kau bodoh," ucap Rad, nyaris seperti dirinya yang biasa. Dibandingkan aku, mulut Rad lebih tidak bisa diatur. Dia selalu bicara seenaknya. "Apa sih yang kau lakukan dua hari ini sampai tidak bisa melindungi diri." Itu bukan pertanyaan, d
"Ini jam berapa?" Hallie mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Satu siang." Dia memperbaiki letak selimutku dan menyodorkan air agar aku minum. Aku hanya menghirup sekali. "Rad benar," ucapnya sambil menggeleng. Dia merapikan rambutku. Baik sekali dia memerhatikan aku yang berantakan ini. "Apa?" "Kau terlalu impulsif." Aku membela diriku. "Seperti dia tidak saja." Hallie tertawa. Aku baru sadar ternyata dia masih memakai seragam sekolahnya.
Tanganku bergerak risi. Entah yang mana yang benar, yang kutahu mereka sama sekali tak mau dekat-dekat denganku. "Brian membenciku." "Di mataku dia tidak terlihat seperti membencimu," cetus James sambil mengangkat bahunya. Mungkin aku salah, seperti halnya aku salah mengira James menyukaiku. Tapi apa gunanya? "Seharusnya aku kembali ke kelas ketika Brian bilang kalau mereka putus. Tapi adegan Britt yang memohon agar mereka tidak putus sangat seru untuk ditonton. Dia memelas, Cath." "Bagus untukmu," balasku tidak benar-benar bermaksud mengatakannya. James mengambil tanganku.