Matahari baru saja keluar dari tempat persembunyian. Rambutnya yang dikuncir ala kadarnya membuat aura cantiknya keluar. Ditambah kemeja yang kebesaran dan bawahan hot pans adalah perpaduan bagus dan berhasil membuat mata Taksa tak berkedip.
Pagi ini Asep dan Taksa pergi ke rumah Rengganis. Mereka mengambil keputusan ini setelah berpikir beberapa hari setelah Asep pergi ke rumah Rengganis.
Bagas dan Mahes tak bisa ikut karena ada urusan. Bagas dengan kuliahnya dan Mahes dengan bisnisnya.
Rengganis membulatkan mata saat melihat siapa yang datang. Ia segera menutup pintu rumah dengan kasar sampai menimbulkan bunyi keras. "Sebentar, tunggu di luar dulu!" teriaknya saat berlari menuju kamar.
Suara debaman pintu yang keras mengembalikan kesadaran Taksa setelah menikmati pemandangan yang menakjubkan. Asep terkekeh kecil melihat sikap Rengganis yang begitu menggemaskan.
Ia menyerngitkan dahi
Terima kasih dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komentar.
"Anak buahku menemukan salah satu dari mereka, Mo."Pria dengan ikat kepala hitam dan rambut yang mulai memutih mengatakan kepada lawan bicaranya dengan raut wajah datar.Begitupun dengan sang lawan bicara. Raut tak suka jelas tergambar pada wajah yang mulai menua itu."Kalau anak itu bisa menghalau santet yang kau kirimkan. Artinya dia bukan anak sembarangan. Kita harus bertindak, To."Mereka adalah Angkoro Darso dan Ki Broto. Keduanya bersekutu untuk kepentingan masing-masing. Tujuan mereka sama, untuk menghabisi keturunan musuh mereka. Yang tak lain Taksa dan kawan-kawannya."Apakah kamu sudah bisa melacak tempat mereka?" tanya Angkoro Darso dan mengepulkan asap dari rokok yang sedang ia hisap.Ki Broto menyeruput kopi dan menaruhnya. "Belum pasti. Tapi tak jauh dari tempatmu bertemu salah satu dari mereka dulu. Mereka membuka toko pakaian," jelas Ki Broto yang mendapat informasi itu dari anak buahnya. Yang tak lain adal
"Jadi gini, Rengganis punya toko roti. Udah turun temurun, tapi belakangan sepi. Oke kalau orang jualan pasti ada sepinya. Tapi ini aneh, karena toko rotinya udah lama, dan pelanggannya udah tetap gitu. Jadi, ya, gue berpikir negatif, dong," papar Mayang tentang kecurigaannya. Meski sedang tak sehat mulut Mayang tetap berfungsi dengan baik. Buktinya bisa berbicara panjang lebar dengan baik. Hal itu membuat Rengganis sedikit tersenyum kecil. "Lo ada curiga sama seseorang, Nis?" tanya Asep membuat Rengganis menoleh ke arahnya masih dengan senyum kecil. "Eh, enggak. Aku enggak curiga. Itu pemikiran negatif Mayang aja. Udah jangan didengerin," pinta Rengganis. Karena menurutnya tak ada hal-hal seperti itu. Mungkin memang roti di toko baru yang tak jauh darinya lebih enak dan lebih murah. Jadi pelanggan berpindah tempat. "Udah berapa lama sepi?" tanya Taksa yang sedari tadi diam. Rengganis menoleh dan ber
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia melihat Taksa dari dalam toko sedang menanyakan beberapa orang yang membeli roti di tempat yang tak jauh dari toko Rengganis.Rengganis setia melihat Taksa dari kejauhan. Ia cemas, takut apa yang dikhawatirkan benar terjadi. Dan saat awal mereka memasuki toko semerbak harum bunga menusuk indra penciuman.Meski tak lama, hanya beberapa saat tetap saja sudah ada kejanggalan yang dirasa. Rengganis juga sempat bertanya pada karyawannya, tetapi menurut karyawan Rengganis semuanya normal-normal saja.Hanya saja tidak ada orang yang melihat ke arah toko roti Rengganis. Ada beberapa langganan yang hanya melihat dari kejauhan dan setelahnya berbalik arah menuju toko roti saingan Rengganis.Taksa kembali, setiap gerakannya tertangkap mata Rengganis."Bicarain di rumah aja. Enggak enak kalau di sini. Daripada rugi lebih banyak, mending sementara waktu tokonya tutup dulu. Soal roti, men
"Gue ngerasa ada yang beda semenjak kita pulang dari gedung terbengkalai. Iya enggak, sih?" Raut wajah serius ditunjukkan pemuda dengan alis tebal.Tatapan tak suka terpancar dari lawan bicaranya yang sedang sibuk memakan mi. "Asep bilang enggak ada apa-apa, 'kan? Jangan parnoan. Lo udah duapuluh tahun masa takut sama setan," omel Mahes yang paling sebal jika sifat penakut Bagas muncul.Badan besar dengan sedikit otot tak membuat Bagas berani dan ketakutannya hilang. Dibalik wajah tampan dengan sifat humoris tersimpan jiwa penakut yang sudah mendarah daging dan sulit dihilangkan. Mungkin karena selama ini ia hidup dikelilingi tiga pria membuatnya terbiasa untuk dilindungi membuat sifat penakutnya enggan menghilang. Terlepas dari itu, bukankah setiap manusia wajar bila memiliki rasa takut meski berlebihan? Asal rasa takut tak membuatnya hilang kewarasan."Takut mah takut aja, enggak ngaruh sama umur," ujar Bagas tak terima dibilang penakut. Seba
Mentari mulai meredupkan sinarnya, awan-awan kelabu menyelimuti. Angin berembus cukup kencang, debu-debu berterbangan. Raut wajah bosan menghias wajah tampan yang dihiasi alis tebal dengan hidung bangir. "Mendung, semoga enggak hujan. Beberapa minggu ini kita sepi bahkan beberapa hari kebelakang kita belum menjual apapun." Helaan napas kasar terdengar cukup nyaring di sore yang tak bersahabat itu. Biasanya ia tak suka mengeluh. Entahlah, akhir-akhir ia sangat berbeda."Namanya juga jualan, ada sepi ada ramainya. Gue jamin malam minggu besok bakal ramai. Teman-teman gue bilang mau borong," ucap Bagas menghibur Taksa. "Lagian gak biasanya lo gitu. Lagi ada masalah?""Biasa, urusan dia lagi. Padahal udah jelas gue enggak akan usik milik dia." Helaan napas kasar terdengar, wajah yang biasanya berseri kini sedang meredup. Ia memaksakan senyum untuk terlihat seolah baik-baik saja."Sa, bukannya mau ikut campur. Tapi, itu hak lo, dia gak berhak apa-apa. Bah
Mereka sampai sore hari tepat sebelum hujan turun. Perjalanan panjang dengan jalan bebatuan membuat tubuh mereka terasa letih. Meski sudah tidur di mobil tetap saja tubuhnya tak merasa lebih baik. Namun, senyum ramah mereka dapatkan dari pasangan suami istri yang Seto maksud."Kalian ini memiliki kekuatan besar kenapa masalah sepele seperti ini harus jauh-jauh ke sini. Padahal kalian bisa menyelesaikannya sendiri," tutur Paklik Seto saat mereka sedang duduk di ruang tamu dengan asap mengepul dari gelas berisi teh yang disugukan tuan rumah."Maksudnya bagaimana, Pak?" tanya Asep penasaran."Sudah waktunya yang tertidur dibangunkan. Enggak baik terus-terusan tak digunakan. Sebuah keistimewaan akan tetap istimewa bila digunakan dengan benar. Namun, akan sia-sia bila tak digunakan. Kalian sudah mampu mengendalikan dan tak ada kesempatan untuk menghindarinya." Keempatnya menyerngit herat. Sementara Seto mencoba mengartikan ucapan Pakliknya. Ia perna
Sepulang dari tempat paklik Seto, keadaan kembali seperti semula. Tidak ada gangguan, pun kecurangan karena telah dibersihkan. Distro kembali ramai, tetapi Taksa menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Lebih banyak diam dan enggan tersenyum, hanya senyum palsu karena tuntutan agar pembeli menganggapnya ramah. Bagas, Mahes, dan Asep tak mempersalahkan hal itu. Bagi mereka jika Taksa sudah siap, pasti ia akan menceritakan alasannya. Sebab sebelumnya, saat ada masalah ia selalu seperti itu. Bagi Taksa biarlah ia yang menganggu masalah sendiri, sahabatnya tak perlu ikut menanggungnya. Meski hal itu tak akan terjadi, Bagas, Mahes, dan Asep akan selalu ikut memikul beban yang sama pada akhirnya. Belakangan Taksa sering melamun dan tak fokus. Pekerjaannya pun berantakan, untung saja hal itu bisa ditangani Mahes dan Asep. Sementara Bagas, bisnis bukanlah keahliannya. Asep melihat hal aneh pada Taksa. Ia sangat ingin menanyakannya, tetapi bingung bagaimana memulai hal itu.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Taksa dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tak khawatir, saat ini Bagas tak sadarkan diri. Ia merasa bertanggungjawab atas keadaan Bagas sekarang. Bagaimana pun ia yang tertua dan orang tua Bagas sudah memasrahkannya tanggungjawab itu. "Tidak apa. Ia baik-baik saja saat ini. Sebaiknya kita segera menuntunnya pulang." Setelah mengecek keadaan Bagas. Pak Kiai beranjak dan meminta segelas air putih. Di atas tempat tidur terbaring tubuh Bagas yang terlihat seperti sedang tidur. Namun, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Tubuh itu sudah tiga hari menutup mata dan tak dapat dibangunkan. Ia masih bernafas, tetapi tak merespons. Suara gaduh, menggoyang-goyangkan badannya tak berpengaruh sama sekali. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan Asep khawatir. Sudah manggil dokter. Menurut penjelasannya Bagas sehat, tidak ada gangguan medis atau apapun itu. Bukankah itu aneh? Mereka akhirnya bercerita pada Seto dan ia kembali menya