Dalam dinginnya hujan, sore itu sepasang netra hitam dengan tahi lalat di bawah mata menampilkan senyum mengembang. Sang pemilik alis tebal sibuk memperhatikan sebuah gambar di kamera. Sangking fokusnya sampai-sampai tak menyadari masuknya Taksa setelah mengetuk pintu cukup lama dengan membawa buku yang sebelumnya ia temukan.
Dahi Taksa berkerut saat melihat Asep senyum-senyum menatap kameranya. Apakah sebagus itu hasil foto yang ia miliki sampai segitunya? Dan tak mendengar ketukan pintu. Begitu pikir Taksa.
"Ngeliatin apa? Awas kesambet," guyon Taksa dan menyenggol lengan Asep. Hampir saja karena terkejut kamera yang dipegang Asep terjatuh.
"Woh, eh. Apaan, sih, lo. Ganggu aja," ujar Asep dengan nada sedikit jengkel seraya tangannya meletakkan kamera itu pada tas kamera."Untung enggak jatoh. Kalau jatoh gue minta ganti yang lebih mahal baru tahu rasa, lo."
"Apaan, tuh, yang lo bawa? Kuno amat," ucap Asep melupakan tentang kameranya. 
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa vote dan komentarnya.
Udara kian dingin sementara mata Asep belum terpejam. Bahkan sekarang hari hampir pagi. Di bagian bawah mata Asep terdapat masker mata, hal itu sengaja ia gunakan agar tidak ada kantung mata dan mata panda. Sesekali ia menguap dan menutup dengan tangan kanannya. "Jam empat," gumam Asep saat melihat jam di layar ponselnya. Karena bingung mau melakukan kegiatan apa, Asep memilih mengambil laptop dan melihat hasil jepretannya. Sampailah ia pada sebuah foto di mana ada sosok seorang perempuan berambut panjang dengan pakaian berwarna biru kehijauan dengan wajah bersinar. Tanpa sadar bibir Asep membentuk lengkung senyum. Wanita itu amat memesona di matanya. Bibirnya yang mungil berwarna merah muda amat menggoda, ada hidung yang bangir cocok untuk wajah ayunya, serta pipi tirus yang sesuai dengan wajah mungilnya. "Cantik," gumam Asep. Ia belum pernah melihat wanita yang secantik itu selama ini. Ada hal yang istimewa menurut Asep pada
"Lo serius?" Wajah Bagas mendekat ke wajah Mahes. Matanya melebar dengan kedua alis terangkat. Ia terkejut dengan cerita Mahes. Dengan gemetaran Mahes menjawab, "iya, gue enggak bohong. Itu yang gue lihat." Bagas berbalik dan pergi menuju dapur untuk mengambil segelas air. Kemudian dengan cepat pula ia kembali dan memberikannya pada Mahes di ruang tamu. "Minum dulu. Tenangin diri lo," ucap Bagas dan mengelus pundak Mahes. "Lo tenangin diri dulu. Gue panggil Asep sama Taksa." Mahes menenangkan dirinya. Tubuhnya gemetar dengan napas sedikit tersengal-sengal. Keringat dingin bercucuran. Ia seperti orang berlari maraton dengan jarak cukup jauh. Setelah meneguk air minum, ia mencoba menetralkan degub jantungnya. Menarik napas, lalu diembuskan. Begitu terus dan berulang. Sementara itu Bagas keluar mencari Asep dan Taksa. Mereka berdua pamit untuk ke warung sebentar untuk membeli beberapa bungkus mi instan dan kopi. Saat sampai di j
Angin berembus tenang malam ini. Meski begitu, pintu, dan jendela yang ada di rumah itu ditutup oleh Bagas. Sementara Mahes menyiapkan beberapa lilin yang disusun melingkar dan tetap diberi jarak satu dengan lainnya. Tidak terlalu lebar tidak pula terlalu sempit. Pas untuk dua orang di dalamnya. Jarum jam menunjuk pukul tujuh malam. Asep berkali-kali mencoba menenangkan diri. Menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, begitu terus secara berulang. Taksa sedang di kamar dan berbicara dengan penjaganya. Memastikan bahwa akan baik-baik saja. Dan meminimalisir keadaan dan mengurangi resiko gagal. Tangan Taksa menepuk pelan pundak Asep yang sedang bersandar di dinding dengan memejamkan matanya saat keluar dari kamar. Bibirnya tersenyum dengan tatapan menenangkan. Mengatakan seolah jangan takut dan semua akan baik-baik saja. Mahes menyalakan lilin yang sudah disusun melingkar di tengah ruang tengah. Bagas menyilangkan tangannya di depan dada
"Jangan sampai ada yang tertinggal. Jam delapan kita berangkat." Taksa mengingatkan mereka agar mengemasi barang-barangnya dengan baik dan tak ada yang tertinggal. Pagi ini, setelah sarapan mereka akan kembali ke rumah. Tak terasa sudah satu minggu mereka ada di rumah itu. Ada banyak hal yang mereka dapatkan dari sana. Bahkan hal-hal yang tak terduga sebelumnya. Kematian kakek mereka yang awalnya dikira tidak wajar sebenarnya adalah karena ilmu hitam. Angkoro Darso adalah orang yang bertanggung jawab untuk kematian mereka. Niat hati ingin menghentikan kebengisan dan kekejaman, tetapi nyawa mereka yang menjadi taruhannya. Kakek mereka tak hanya diserang langsung. Santet, guna-guna, dan lainnya digunakan Angkoro Darso untuk mempercepat kematian mereka selain dengan bertarung. Ia tak puas hanya dengan kematian musuhnya itu. Ia juga berniat menghabisi anak keturunannya. Karena jika tidak kemungkinan keturunan mereka bisa mengalahkannya.
Setelah diingatkan Asep, Taksa sedikit membenarkan. Tak benar jika dia terus menyalahkan. Meski begitu ia belum bisa menerima sepenuhnya. Malam itu mereka tidur cepat. Karena esok mereka akan menangani toko. Ditambah laporan Seto bahwa ada kenaikan penjualan membuat esok harus membeli barang dagangan kembali. Hari sebentar lagi berganti. Jam menunjukkan pukul sebelas lewat empat puluh lima malam. Asep terbangun, keluar kamar perlahan menuju ruang tengah. Langkahnya sangat hati-hati, sebisa mungkin tak menimbulkan suara karena Taksa tengah tertidur pulas sesudah ia nasehati. Ia menghidupkan lampu tengah. Dengan tangan kanan ia menutup mulutnya yang menguap. "Masak mi enak kali, ya," gumamnya seraya mengucek mata. Tangannya membuka lemari dapur, mengambil sebungkus mi instan kuah dan sebutir telur di kulkas. Menghidupan kompor dan membiarkan air mendidih sementara ia mencuci wajahnya. Saat keluar kamar mandi, ia melihat Pethak ad
Satu minggu setelah percakapannya dengan Seto perihal rumah tusuk sate. Malam ini mereka berempat akan mendatanginya dan membuat konten. Setelah mengantongi izin, keempatnya sepakat akan pergi jam sepuluh malam setelah menutup distro. Awalnya Bagas menolak, karena sebelumnya mereka sudah menentukan tempat yang menurutnya tak semenyeramkan rumah tusuk sate. Namun, karena jaraknya yang cukup jauh dan ditro ramai. Mereka memutuskan untuk ke rumah tusuk sate saja yang lebih dekat. "Pastiin udah dibawa semua, jangan sampai ketinggalan," ucap Mahes mengingatkan saat membawa tas kamera ke dalam mobil. Bagas dan Asep menunjukkan jempolnya sebagai tanda bahwa semuanya sudah siap dan tak ada yang tertinggal. Sementara Taksa baru saja keluar dari rumah dan menguncinya. Ia menjinjing tas kecil berisi air mineral dan beberapa makanan ringan. "Kita satu jam aja untuk konten, estimasi waktunya paling lama sampai jam satu, ya," ujar Taksa mengingatk
Suasana canggung terasa di pagi hari setelah kemarin Bagas dan Asep berdebat. Bagas enggan menyapa, bahkan terbilang menghindari. Asep bersikap acuh tak acuh terhadap Bagas. Meski begitu ia masih tetap ceria dan humoris, tetapi tidak terhadap Bagas. Menurut Taksa keduanya salah, cuma ia memilih membiarkan mereka dahulu. Meredam keras kepala mereka berdua. Agar saat penyelesaian mau sama-sama disalahkan. Bagas salah karena pandangannya, begitu pun Asep salah memaksakan pendapatnya kepada Bagas sebelum menjelaskan tetang sosok itu. Karena manusiawi Bagas menolak karena takut. Mahes ikut bersikap sama seperti Taksa, toh memang sejak lama Asep dan Bagas sering bertengkar. Bahkan sejak di bangku sekolah dulu. Jadi, ia biasa saja dalam menghadapi pertengkaraan kali ini. Lihat saja, seminggu lagi juga akan kembali seperti semula. Tak usah menunggu satu minggu, tiga atau empat hari keduanya akan kembali seperti biasa dan melupakan pertengkaran itu. Namun, jika permasal
Angin malam ini berembus cukup beraahabat, tetapi tidak dengan hawa dinginnya. Hawa dingin kali ini menusuk kulit, meski Mahes sudah menggunakan jaket, rasanya masih saja terasa dingin. Ia mengendarai kuda besinya cukup kencang. Agar ia bisa segera pulang dan beristirahat, lagi pula suasana malam ini tak bersahabat untuk berada di luar ruangan. Jam yang melingkar di pergelangan tangan Mahes menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia pergi sejak pagi, niatnya akan pulang cepat, tetapi keadaan membuatnya pulang malam. Memang pekerjaannya selesai siang tadi, tetapi karena sekalian keluar rumah. Ia menghampiri seseorang yang spesial dalam hidupnya. Ditambah ia mampir ke rumahnya untuk mengecek keadaan keluarganya. Belakangan, semenjak ia tahu bahwa ada musuh yang mengancam nyawanya Mahes lebih sering pulang ke rumah atau menepon orang rumah. Beberapa waktu belakangan Mahes gencar mendekati seorang wanita yang pernah menjadi adik kelasnya semasa SMA. Keduanya cukup d