*RSUD Gading Cempaka*
Dokter Rissa melewati lorong-lorong rumah sakit sendirian malam itu. Wanita tinggi langsing ini mengalungkan stetoskop hitam tanpa memakai jas putih dan memegang dompet kecil beige. Ia mengenakan rok berbunga putih pink dan baju pink senada, lengkap dengan jilbab kremnya yang ujungnya terjuntai ke depan dan ke belakang tubuhnya, sedikit mengikat lehernya. Sepatunya berhak tinggi lima senti berwarna krem. Lenggak-lenggok pinggulnya membuat rok itu terayun-ayun mengikuti gerakan angin malam. Ia berjalan mulai dari IGD (Instalasi Gawat Darurat), lorong Ruang Mawar hingga Ruang Melati (Bangsal). Lalu untuk sampai di ruang tim covid-19, ia harus melewati kamar jenazah yang tidak ada jenazahnya. Barulah ia bisa melakukan visite dokter di ruang isolasi covid-19 yang letaknya hampir di ruangan paling belakang dari rumah sakit itu tentunya setelah memakai APD lengkap bersama dengan dokter lain senior yang sudah duluan memakai hazmat dari ruang khusus tim covid yang penuh dengan barang-barang logistik keperluan perawatan pasien covid-19.Setelah selesai mengerjakan tugas visite, para dokter dan juga ditemani perawat kembali ke ruang jaga masing-masing setelah menyemprot APD itu dengan alkohol semprot lalu membuka hazmat, tetapi masih mengenakan APD level dua yang basah karena keringat mengucur dari balik pengapnya alat pelindung diri dari virus menyebalkan itu. Malam itu dr. Rissa sedang dinas malam di ruang IGD. Jadi ia harus berjalan jauh dari belakang rumah sakit menuju IGD yang letaknya paling depan dari rumah sakit. Malam ini tak seperti malam-malam biasanya sebelum datang pandemi covid-19. Biasanya tiap lorong penuh orang berlalu lalang hilir mudik. Tak perlu masker dan tak perlu rasa takut dari para pengunjung yang datang menjenguk. Alih-alih menjenguk, Rumah Sakit Gading Cempaka kini persis seperti kuburan, kosong, sepi, benar-benar menjadi malam yang mencekam hampir setiap harinya. Bahkan bila dapat jatah dinas pagi pun masih terasa seperti kuburan, kecuali bila rumah sakit kedatangan pasien baru pengidap covid-19, pasien kecelakaan lalu lintas atau sakit perut mendadak. Selain itu, sepi, sunyi, dr. Rissa merinding. Ia mempercepat langkahnya. Rasanya ada bayangan mengikutinya dari belakang. Ketika dilihat, tidak ada. Ia melangkah lagi tanpa ragu, tetapi tetap ditemani rasa takut yang tersembunyi di balik wajah cantik dan tenangnya itu.
"Ini baru di depan ruangan bangsal," Lirihnya. "Apa aku masuk ke bangsal dulu, ya?" Lirihnya lagi dengan sedikit rasa takut yang mendadak menyelimuti perasaannya. Tapi kakinya tetap mengayun ke depan. Ia terus berjalan, tak mau berhenti."Sebentar lagi dekat ruang mawar kok. Barulah nyampe IGD." Dokter Rissa menegarkan diri. Ia memberanikan diri karena ini memang profesinya. "Menyesal tadi tidak jalan bareng perawat mawar," katanya dalam hati.Ketika visit di ruang isolasi tadi, Dokter Rissa malah sibuk membaca hasil ekspertise dokter radiologi untuk 5 pasien covid yang dirawat. Semuanya positif pneumonia. Para dokter harus memastikan bahwa setiap pasien sudah makan makanan berprotein tinggi dan sudah minum azitromicyn dan vitamin lainnya. Pasien juga harus banyak minum air putih agar virus dapat keluar lewat ekskresi tubuh, seperti lewat BAB, BAK, dan keringat."Pakk!" Kali ini pundak dr. Rissa benar-benar merasa dipukul oleh seseorang di belakangnya. Seseorang berjaket hitam tebal menyenggol dr. Rissa dengan pundaknya. Dokter cantik itu langsung pucat pasi dan pasrah. Lelaki itu menyodorkan pisau kecil yang masih disembunyikan di balik jaket hitamnya. Hanya ujungnya saja terlihat bahwa itu pisau kecil.
Dokter muda tinggi, cantik, mulus, dan modis itu benar-benar kaget. Matanya terbelalak dan melihat ke kanan dan kirinya tak ada seorang pun yang lewat untuk ia meminta bantuan. Tak disangka firasatnya tadi benar bahwa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Rissa masih terbungkam dengan rasa takut. Menyesal dulu pikirnya tak ambil kelas taekwondo yang disarankan papinya. Laki-laki paruh baya tadi mulai menjelaskan misinya ingin meminta uang."Kata masyarakat, kalian para dokter diberi insentif covid sangat besar, bukan?!" Mata lelaki paruh baya bertubuh gemuk pendek itu mulai melihat dompet kecil yang dipegang dr. Rissa. "Maaf pak, saya barusan visite pasien covid. Saya, saya, em, emm, belum mandi pak." Kata dr. Rissa ketakutan. Lalu ia melanjutkan berbicara, "takutnya virusnya masih nempel di ujung APD saya. Peralatan mandi saya ada di IGD." Kata dr. Rissa lagi mencoba membujuk lelaki berjaket hitam itu agar segera menjauh darinya. “jangan sampai bapak tertular covid-19 dari saya karena saya belum mandi, pak.” Bujuk Rissa lagi."Saya tidak takut covid. Anak istri saya kelaparan karena saya di-PHK." Kata lelaki itu lagi. Kali ini tangannya hendak merampas dompet itu. Rissa mengeluarkan seratus ribuan. Tapi bapak itu ingin lebih.Rumah sakit ini rumah sakit tipe D, tetapi sangat luas. Antar ruangan bukan sekat tipis seperti rumah sakit di kota Jakarta atau di kota besar lainnya. Rumah sakit ini memiliki gedung bagungan ruangan masing-masing dan gedung antar ruangan atau antar instalasi terpisah sekitar 5 meter. Rumah sakit ini betul-betul luas dengan hutan kecil di kiri kanannya, juga di belakang rumah sakit dekat ruang isolasi covid-19. Rumah sakit ini bukan rumah sakit rujukan covid-19, tetapi tetap memiliki pasien covid rawat inap. Oleh karena itu, rumah sakit ini tidak memiliki satpam yang hilir mudik di mana-mana, tetapi hanya bersiap siaga di pos satpam di dekat gapura masuk rumah sakit. Benar-benar tempat yang berisiko tinggi bila berjalan sendirian di lorong-lorong rumah sakit yang sepi seperti kuburan semenjak diberlakukan anjuran di rumah saja oleh presiden demi menekan laju penularan covid sialan ini sehingga para pengunjung pasien benar-benar dilarang berkunjung atau membesuk si pesakit.HEI!
Tiba-tiba ada seseorang menangkis tangan bapak berjaket hitam tadi dari samping. Ia main silat dengan bapak itu demi memperebutkan dompet dr. Rissa. Karena teriakan kencang dari dr. Rissa dan pemuda penolong ini, otomatis perawat ruang melati mendengar dan menelepon pos satpam untuk mengamankan situasi.
Dokter cantik mulus itu, masih dengan APD level duanya terlihat masih pucat. Untung tidak diperkosa seperti di berita baru-baru ini, batinnya. Sudah pakai mukena dan salat di masjid, masih saja menjadi korban pemerkosaan."Makasih ya Mas." Ucap dokter cantik ini kepada pemuda di depannya. Tatapan dokter Rissa tak biasa. Ia masih merasa sedang berada di negeri dongeng, di mana tuan putri diselamatkan oleh pangeran tampan berkuda putih."Saya Rissa." Rissa mengenalkan dirinya dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. Seperti protokol kesehatan yang dianjurkan presiden semenjak terjadinya pandemi covid-19 di seluruh dunia."Saya Cecep." Balasnya dengan logat halus Sunda.Lelaki tertutup masker di depannya hanya bilang lain kali hati-hati dan jangan suka jalan sendirian di lorong sepi. Lalu ia memunggungi Rissa dan berlalu pergi.Rissa masih menatap kosong. Antara masih trauma, sedih, senang, bingung, dan berdebar."Siapakah dia? Kayak pernah lihat." Rissa yang baru seminggu bertugas menjadi dokter internship di Bengkulu-Sumatera ini, belum terlalu mengenal lingkungannya bagaimana. Bahkan antar teman-teman iship saja juga baru kenal, baru berjumpa. Tapi, ngomong-ngomong, ini di Sumatera, tetapi tetap saja dapat kenalan yang kalau ngomong, logatnya Sunda. Namanya pun Cecep. Pasti Cecep merantau, lirihnya dalam hati.Claudya Nikita Rissa, seorang mahasiswa kedokteran umur akhir yang sedang internship di sebuah RSUD Gading Cempaka Tipe D, Provinsi Bengkulu. Ia berasal dari Jakarta. Rumahnya di daerah Gandaria, Jakarta Selatan, dan di rumahnya ada 7 pembantu: dua orang tukang masak, dua orang tukang kebun dan kolam renang, dua orang tukang bersih-bersih rumah, dan seorang bertugas di laundry rumahnya. Papinya pengusaha besar berawal dari hanya menjual sepotong dua potong baju di pinggir kota Padang sambil mengambil gelar insinyur pertanian dari universitas di Padang. Mami paling setia membantu papi yang kala itu hanya seorang pedagang kaki lima. Waktu itu mereka hanyalah teman dekat dan sama-sama kuliah di universitas yang sama dan duduk di kelas yang sama pula, tetapi ternyata papi dan mami saling menyimpan rasa sayang di hati mereka masing-masing. Akhirnya, setelah lulus jadi insinyur pertanian, papi Rissa menikah dengan maminya dan membangun pabrik Levis di Bandung.Setelah ber
"Non, ada tamu. Dipesenin nyonya lewat telepon tadi kalau Non Rissa disuruh temui tamunya." Ucap seorang tukang bersih-bersih rumah Rissa sore ini."Lah, mami mana, Bi?" Tanya Rissa yang sedang memakai hijab pinky-nya untuk bersiap-siap ke rumah Rara yang malam nanti bakal ada acara tunangan Rara dan Chandra."Mami pergi dari siang tadi, Non. Katanya ada meeting." Jawab Bi Ija."Siapa sih, Bi, yang harus ditemui? Rissa mau pergi nih!" Kata Rissa lagi dengan hati tak tenang."Namanya, Ri, Ri, Ri,... Lupa Non."Gubrak!"Ri, Rissa?" Tanya Rissa menebak konyol."Ric... Richi, eh, Richi, Non." Jawab Bi Ija kini merasa tak salah lagi."Richi mane?" Tanya Rissa meneliti mencari data di otaknya, apakah ada temannya selama ini yang bernama Richi?Si Bi Ija pun pamit keluar. Lalu ia menutup kembali pintu kamar aesthetic milenial itu dan menghilang ke arah kamar mandi luar. Rissa yang selesai memakai hijabnya, mencoba turun ke lantai bawah.Tib
Dokter Rissa sampai di IGD. Tak ada pasien baru. Ia pun segera mandi di ruang jaga dokter ujung sana."Eh, kamu baru ya?" Tanya dokter IGD senior bernama Susan kepada pemuda pengantar lima bungkus bakso mercon terpedas sedunia itu. Pemuda putih behidung mancung tinggi tampan berjidat mulus tertutup masker itu hanya mengangguk. Tak tampak wajah penuhnya, apakah ia mengangguk sambil tersenyum atau manyun. Tapi dia tampak tenang, hormat, dan lembut, khas Sunda."Dok, baksonya udah dianterin." Sahut Susan kepada Rissa yang baru keluar dari kamar jaga setelah mandi. Ia keluar Lamar jaga lengkap dengan setelan medis birunya."Iya makasih Dokter Susan." Kata dr. Rissa ramah. Rissa yang masih merapikan hijabnya berjalan perlahan menuju meja besar dokter umum tempat menerima konsultasi pasien dan keluarga pasien IGD.Mereka pun makan bersama dengan para dokter dan perawat jaga. Malam ini memang sepi. Warung IGD belum punya pengunjung baru. Alhamdulillah ka
Cerita RichiTit totTit totGetar suara pesan WhatsApp menyembul dari saku celananya. Ada pesan dari Rissa."Cep, tolong ke kosan Rissa sekarang ya. Rissa pesen bakso 2 bungkus. Laper nih." Senyum Cecep mengembang seketika.Cecep yang berada di Klinik Ibu dan Anak segera memesan Bakso Mercon di kantin RSUD Gading Cempaka yang hanya berjarak 15 menit."Pas banget jam selesai visit, lanjut ngelayanin si Ayang Rissa." Lirih Dokter Richi yang sudah sebulan kembali bekerja menjalankan profesi aslinya sebagai dokter."Jujur saya lelah berpura-pura seperti ini." Lirih Richi lagi.***PadangLelaki itu berdiri di depan pancuran taman kampus yang airnya bertingkat-tingkat. Ia menatap universitas swasta besar di Padang, Sumatera Barat. Wajahnya penuh haru. Ia masih mengenang ayahnya saat susah."Apak keliling jualan minyak dulu ya, Nak." Dikecupnya kening Richi dan berpamitan ketika hari masih sangat pagi. Amak tersenyum melepas Apak yang ma
31 Desember 2019Virus Covid-19 yang menyerupai SARS dan MERS menyebar di seluruh Wuhan, China. Ilmuwan yang berselisih tak sengaja mengeluarkan virus percobaan dari sarangnya. Seluruh kota terkena dampak sifat virus itu, hidup pada inang makhluk hidup yang memberi makan mereka.Seluruh mahasiswa terkepung di dalam rumah inap mereka masing-masing, terutama yang kita sorot adalah mahasiswa asal Indonesia. Mereka terkepung virus itu di dormitori masing-masing tanpa bisa pulang ke Indonesia. Kampus di Wuhan meliburkan mereka sementara waktu, sampai waktu yang belum ditetapkan. Seluruh kampus di Wuhan meliburkan perkuliahan.Lama-lama seluruh Wuhan dan China melakukan lock-down karena laju penularan virus sialan itu sangat cepat."Ini bukan seperti virus influenza yang bersifat air soluble." Prof. Ling Chu menjelaskan pada publik."Maksudnya apa, Pak?" Ketika siaran tivi menanyakan hal itu lebih jelas secara daring menggunakan zoom.
8 April 2020Dokter Susan menangis di telepon. Ia kembali menghubungi Dokter Andi."Dok, hari ini bisa ganti hari jaga lagi?" Tanya Dokter Susan mencoba menenangkan diri sendiri."Dokter Susan, mohon maaf tapi saya dinas di RSUD Muhammad 24 jam ke depan." Jawab Dokter Andi tak enak."Ada apa Dokter Susan?" Tanya Dokter Andi lagi."Kami sekeluarga diisolasi di RSUD Muhammad." Jawab Dokter Susan lagi.Dokter Andi terbelalak. Itu RSUD tempatnya kini ia akan dinas 24 jam ke depan. Dokter Andi yang berperawakan gemuk dan berkacamata itu mencoba menenangkan dan memberikan semangat kepada rekan kerjanya agar segera sembuh walaupun Dokter Susan dengannya pernah mengalami peristiwa hitam, ketika di SMA dulu wanita gemuk putih berambut keriting panjang itu pernah ditolaknya. Tapi kini mereka malah menjadi rekan kerja baru di RSUD Gading Cempaka. Dokter Susan ditempatkan di RSUD yang alatnya lebih lengkap daripada RSUD Tipe D Gading Cempaka."Kenapa
Lelaki itu akhirnya memunggungi kolam air mancur di taman Fakultas Kedokteran swasta milik Apaknya itu. Satu persatu ia menuruni anak tangga taman menuju ke parkiran mobilnya. Lalu ia menaiki Alphard hitamnya dan kembali ke rumah.Langit siang ini cerah. Richi membelah jalanan Kota Padang. Kanan kiri kota itu sangat indah karena setiap bangunan pemerintahan maupun swasta selalu memiliki atap melengkung ke kanan dan ke kiri seperti tanduk kerbau. Sama seperti kampus kedokteran swasta tadi. Namanya atap gonjong. Seperti sejarah Minangkabau, yaitu berasal dari kata Minang yang berarti menang dan Kabau yang berarti kerbau. Kerbau yang menang. Terinspirasi dari tanduk kerbau, Minangkabau menjadi ranah yang memesona dan terkenal budayanya hingga ke pelosok dunia.Richi telah sampai di rumahnya. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Negeri terkenal di Jakarta itu, kampus kuning, ia pulang ke Padang. Apaknya memang membuka Fakultas Kedokteran swasta di Padang, tet
5 Januari 2020Richi terbangun dari tidurnya. Rupanya sejak dari Jakarta ia belum menemukan Apak dan Amak di rumah. Letih dari perjalanan Jakarta - Padang membuatnya tertidur pulas beberapa jam di kamarnya."Bang Richi?" Seorang gadis SMP menepuk bahu abangnya."Ama?" Tanya Richi tak kuasa memeluk adiknya yang paling kecil, sedangkan adiknya mencium tangan abangnya penuh rasa rindu dan hormat. "Ama tambah besar ya, dan cantik." Puji Richi. ""Ah, Bang Richi bisa aja." Ucap Rahmah yang memanggil dirinya dengan sebutan Ama."Sudah kelas berapa Ama kini?" Tanya Richi lagi bukan basa-basi. Dia lupa adiknya kelas berapa SMP."Ih abang, masa kelas adiknya sendiri gak tahu." Kata Rahmah sebal."Mana yang lain? Rahmi, Fitri, dan Echa?" Tanya Richi lagi."Masih di sekolah, Bang." Jawab Rahmah. "Ama di sini cuma pulang sebentar ke rumah mau mengambil buku PR Ama yang tinggal." Jawab Rahmah manja."Oke." Jawab Ric