"JAMBREET!"
Teriakan salah satu ibu-ibu penumpang bus itu mengejutkan Cherry yang berdiri di tengah di antara 2 lajur kursi bus kota yang penuh. Seorang pria bertato dengan tubuh kekar berotot dengan kaos hitam tanpa lengan menubruk keras tubuh kurusnya.
Pria itu bergegas turun dari bus yang langsung melaju kembali. Sedangkan, seisi bus kota masih riuh memperbincangkan siapa yang menjadi korban jambret tadi. Si ibu-ibu yang berteriak tadi pun sudah turun dari pintu belakang bus.
"Cibiru ... Cibiru!" seru kondektur bus kota memberi tahu nama halte pemberhentian berikutnya.
Cherry pun menyahut, "Turun, Mang!"
Bus itu pun berhenti untuk menurunkan beberapa penumpang termasuk Cherry. Dia pun merogoh tas selempangnya yang terbuka kaitnya dengan jantung mencelos. "Ehh ... kok kebuka sih tasku?!" Dan benar saja ada yang raib dari dalam tasnya, ponselnya tak ada di situ. Sambil bergegas menuju ke warteg ibunya, Cherry bergumam sedih bercampur gelisah, "kayaknya jambret yang nubruk aku tadi yang ambil deh! Ya ampun ... gimana dong?"
Belum juga kegalauannya terobati, Cherry mendengar ribut-ribut dari dalam warteg milik ibunya. Dia pun bergegas masuk dan mendapati beberapa pria berpenampilan preman berbicara dengan nada keras kepada ibunya.
"Utang loe sudah numpuk, Mak Inah! Bos sudah nyuruh kami nagih bolak-bali ke mari, kapan bisa dilunasi, hahh?!"
Martinah, ibunda Cherry yang terduduk di lantai pun terisak-isak memelas seraya menjawab, "Bang Panjul, tolong beri waktu sedikit lagi. Ini baru ada sebagian aja duitnya. Bunga dari Bos Romli terlalu gede, saya jadinya cuman bisa nyicil bunganya dan pokoknya sedikit!"
"Masalah buat gue! Urusan loe lah ... siapa suruh pinjem modal dari Bos Romli. Ckk ... udah ... udah, kayak sinetron aja loe! Jangan lama-lama bayar sisa tagihan utangnya. Duitnya gue setor dulu seadanya. Permisi!" Kepala preman bernama Bang Panjul itu mengerling kepada Cherry sekilas saat mereka berpapasan di dekat pintu warteg.
"Iiihh ... genit! Dasar preman gajes!" Cherry bergidik ngeri-ngeri sedap melihat wajah Bang Panjul. Dia bergegas membantu ibunya bangkit dari lantai warteg.
"Bu, sisa pinjaman ke Bos Romli masih berapa sih? Kemarin 'kan habis dapet duit dari katering acara balai desa!" ujar Cherry sambil duduk di bangku kayu panjang bersebelahan dengan ibunya.
Bu Martinah menghela napas panjang, beban biaya hidup keluarga mereka dengan tanggungan 3 anak terlalu berat. "Duit segitu cuma lewat doang, Cher. Untungnya kamu sudah lulus SMA, adik kamu yang dua itu masih butuh banyak biaya. Belum lagi biaya sehari-hari!" jawab wanita yang bersanggul sederhana dengan semburat uban di kepalanya itu.
Langganan Warteg Mak Inah yang bernama Mang Tarjo berkata, "Maaf kalau ikut-ikut nih, Mak Inah. Itu si Cherry kerja nyanyi aja, suaranya 'kan bagus tuh. Aye ada nih channel buat kerjaan di Merlino Cafe and Bar. Penyanyi sebelumnya jadi artis di TV, jadinya sekarang posisi penyanyi kosong. Gimana?"
Sepasang ibu dan anak itu saling pandang dengan raut wajah sama-sama galau. Sejujurnya mereka berdua tak ingin bila Cherry terjerat dalam dunia malam yang banyak image miringnya. Namun, Bu Martinah akhirnya bertanya ke puteri sulungnya, "Gimana, Cher? Apa mau ikut kerja sama Mang Tarjo?"
Dalam kebimbangan Cherry merasa tak ada banyak pilihan bagi dirinya saat ini. Dia mengangguk perlahan. "Iya ... Cherry harus kerja buat bantu Ibu sama bapak cari duit. Adik-adik masih kecil—"
Bu Martinah merengkuh puterinya sembari menangis sesenggukan. "Maafin Ibu sama bapak ... nggak bisa jadi orang tua yang baik buat kamu ya, Nak!"
"Nggak, Bu. Kalian orang tua terbaik buat Cherry. Memang kondisi ekonomi sulit, butuh perjuangan buat hidup!" jawab Cherry menepuk-nepuk punggung renta ibunya yang tak lagi muda nyaris setengah abad.
Mang Tarjo menyeka sudut matanya dengan tissue dari meja warteg. "Aye janji buat jagain, Cherry di tempat kerjaan nanti, Mak! Tenang aja, bos besar juga orangnya pan baik yang penting rajin kerja, nggak banyak tingkah ... udah deh awet pasti kerja di sono!" hibur pria berkumis tebal dengan kulit sawo matang berusia kepala 3 tersebut.
"Syukur kalau gitu, Mang Tarjo. Aku titip anakku ya kerja di cafe!" sahut Bu Martinah seraya membersit ingusnya. Dia lalu berpesan kepada Cherry, "Nak, kerja yang baik. Jangan nyusahin Mang Tarjo ya!"
Dengan patuh Cherry menganggukkan kepalanya. Dia pun mendengarkan petunjuk dari Mang Tarjo untuk berangkat ke Merlino Cafe and Bar nanti pukul 19.00 WIB. Mereka berdua akan menemui pemilik tempat hiburan tersebut.
Jelang sore Bu Martinah menyuruh Cherry pulang untuk mandi dan beristirahat di rumah sebelum berangkat ke calon tempat kerja yang baru. Dengan berjalan kaki Cherry pun meninggalkan warteg menuju ke tempat tinggal keluarganya di kampung belakang 200 meter dari warung ibunya.
Pikiran Cherry bercampur aduk, dia tak bisa menghubungi Martin yang sudah berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah. Ponselnya kena jambret, beruntung dompetnya masih ada di dalam tas. Itu pun isinya hanya 25.000 saja. Tidak mungkin baginya membeli gadget baru untuk mengganti ponsel yang hilang, tak cukup tabungannya.
"Semangat, Cher! Mungkin memang harus direlain aja Martin. Dia pasti juga bakal move on lama-lama di Australia," gumam gadis itu sembari menghela napas panjang. Ada rasa tak rela dalam hatinya melepas kisah cinta pertamanya, tapi situasinya tak memberi pilihan lain.
Petang itu sebelum jam 7 malam, Mang Tarjo menjemput Cherry sesuai janji mereka di rumah untuk berangkat ke Merlino Cafe and Bar. Pakaian yang dikenakan oleh Cherry, blouse sesiku biru muda dan rok selutut warna hitam, rambut hitam legamnya tergerai sepunggung. Dia terkesan anggun dan sopan seperti biasanya.
"Ayo berangkat, Mang. Aku sudah siap kok!" ucap Cherry di teras lalu membonceng di belakang sepeda motor matic milik Mang Tarjo dengan helm pink miliknya sendiri yang berstiker Hello Kitty.
Sambil mengendarai sepeda motornya Mang Tarjo berpesan kepada Cherry, "Neng, kalau ditanya soal gaji nanti, jangan nuntut yang gede-gede dulu ya. Ikut kata boss aja!"
"Beres itu mah, Mang. Diterima kerja aja sudah syukur. Oya, apa kerjaannya malam semua ya, nggak ada yang siang gitu?" balas Cherry penasaran. Dia takut image wanita malam itu akan melekat pada dirinya karena pekerjaan tersebut.
"Ya adanya cuma malem doang. Soalnya orang rame dateng buat hiburan pulang gawe kantor gitu, Neng. Kalau ada yang nawarin aneh-aneh ntar jangan ditanggapin ya. Tolak baik-baik, pokoknya Neng Cherry kerjaan cuma nyanyi bukan nemenin tamu buat 'ninu ninu', oke?!" ujar Mang Tarjo yang sudah lama bekerja di sana.
Cherry terkikik pelan mendengar ucapan Mang Tarjo yang sudah seperti pamannya itu. "Nana ninu, Mang? Hihihi ... iya, beres. Pokoknya yang halal aja kerjaannya. Makasih udah dibantuin cari kerjaan, Mang!"
Akhirnya mereka berdua sampai juga di tempat tujuan. Cherry mendesah takjub melihat bangunan 3 lantai yang nampak megah dan meriah di hadapannya sebelum masuk ke dalam.
'Ya Tuhan, semoga ketrima kerja di sini!' doa gadis itu dalam hatinya lalu melangkah mengekori Mang Tarjo berjalan ke pintu masuk yang dijaga beberapa sekuriti berpakaian preman.
"Jadi nama kamu, Cherry? Coba nyanyi buat saya sekarang. Bisa lagu barat?" ucap Merlino Branson, pria keturunan blasteran Amerika-Indonesia yang memiliki Merlino Cafe and Bar. Dia duduk santai menggoyang-goyangkan kursinya menatap gadis belia di hadapannya.Cherry berdehem dua kali melancarkan tenggorokannya lalu menghela napas panjang sebelum mulai melantunkan sebuah lagu pop barat yang sering dinyanyikannya untuk Martin. "And even if the sun refused to shine. Even if romance ran out of rhyme, you would still have my heart until the end of time. You're all I need, my love, my Valentine!" nyanyi Cherry dengan suaranya yang merdu. Itu lagu legendaris romantis karya Jim Brickman yang dipopulerkan oleh Martina McBride, judulnya My Valentine."Prok prok prok. Bravo ... good voice! Cher, kamu boleh nyanyi di tempatku mulai malam ini ya. Ehh ... ada tapinya nih, ganti baju kamu sama kostum manggung penyanyi di sini, jangan kayak orang udik begitulah. Kesannya kayak waitress jadinya!" tutur
"Berapa? Dua juta ... lima juta? Tinggal sebut, Om punya banyak duit asal kamu nurutin keinginan Om Antony," desak pria hidung belang itu menowel-nowel dagu Cherry yang berwajah imut."Nggak mau, Om! Saya nggak jual diri kok. Saya hanya penyanyi di tempat ini. Permisi ya, sudah larut malam!" tolak Cherry mengumpulkan segenap keberaniannya. Dia buru-buru bangkit dari sofa berlapis vinyl merah cerah itu.Namun, sejurus saja lengannya ditangkap dan disentakkan oleh Antony Razak hingga tubuh Cherry yang mengenakan high heels tinggi limbung lalu terjatuh di dekapan pria tersebut. Sontak gadis itu meronta-ronta dan berteriak minta tolong karena tangan pria mesum itu mulai menggerayangi tubuhnya di mana-mana."TOLOONG ... TOLOOONG!" Seorang pria muda tak dikenal yang juga pengunjung Merlino Cafe and Bar tanpa pikir panjang bergegas menolong Cherry. Kepalan tinjunya menghajar rahang Antony Razak hingga jatuh terkapar di sofa. Dia segera menarik tangan Cherry seraya bertanya, "Apa kamu nggakp
"Ma, lihat baliho di depan itu!" tunjuk Nadira dari dalam mobil yang dikemudikan oleh Nyonya Femmy Bintoro. Mama dari Nadira dan Martin itu mendengkus sinis setelah membaca tulisan serta foto perempuan cantik di baliho jalan raya kota Bandung yang sedang dilewatinya. Nyonya Femmy pun mengomentari hubungan puteranya dengan Cherry, "Ckckck ... seperti dugaan Mama 'kan, Dira?! Untung aja adik kamu tuh encer otaknya jadi bisa kuliah di luar negeri. Apa jadinya kalau Martin sekolah di sini terus ketemu, pacaran sama Cherry si anak tukang ojek itu?" "Dira nggak nyangka saja sih ya, si Cherry bakal jadi penyanyi bar. Perempuan malam kayak gitu pasti sering di-booking sama om-om hidung belang pastinya. Dia apa nggak malu tuh fotonya dipajang di baliho jalanan?!" timpal Nadira memandang profesi Cherry begitu rendah."Pastinya begitu, Dir. Sudah kepalang basah nyebur sekalian. HA-HA-HA. Duit haram tuh dapetnya lebih gampang, dia bisa berkilah kalau kerjaannya dia lakuin demi keluarganya yang
"Meskipun dirimu tak bersayap, ku akan percaya kau mampu terbang bawa diri tanpa takut dan ragu ...," nyanyi Cherry di atas panggung Merlino Cafe and Bar yang penuh sesak oleh pengunjung malam itu.Sebagian besar pengunjung adalah penggemar gadis belia bersuara merdu tersebut. Mereka rela merogoh kocek untuk memesan minuman atau makanan ringan demi diperbolehkan menonton pertunjukan Cherry.Big boss Cherry pun ikut senang karena tempat hiburan miliknya semakin ramai saja semenjak ada penyanyi yang baru pengganti Astrid. Bahkan, dia terkadang menyempatkan waktu untuk menonton penampilan Cherry dari salah satu sofa VIP sekadar untuk menghibur diri seusai kesibukannya sepanjang hari.Tepuk tangan meriah ditujukan kepada Cherry seusai lantunan lagu Sang Dewi yang dipopulerkan kembali oleh Lyodra. Malam ini Merlino mendapat kunjungan sobatnya Nicky Jansen yang terkadang mampir untuk sekadar minum-minum di sana. Mereka duduk di sofa yang sama dan mengobrol akrab."Lino, itu penyanyi kamu be
"Kamu nggak keberatan 'kan kita jadinya jalan-jalan dulu di mall baru habis itu dinner?" tanya Nicky yang berjalan bersebelahan dengan Cherry di selasar mall. Sebenarnya mereka tidak punya tujuan khusus untuk membeli sesuatu, hanya murni window shopping. Cherry pun menjawab seraya menoleh sekilas ke teman hangout-nya yang berpenampilan rapi, "Saya malah seneng sih bisa sekalian jalan-jalan sore begini, Pak. Sudah lama nggak ngemall. Teman-teman SMA dulu banyak yang lanjut kuliah ke Jakarta, sebagian juga sibuk kuliah karena ambil jurusan teknik di ITB.""Oke. Kamu kenapa nggak lanjut kuliah, Cher?" sahut Nicky yang penasaran seperti apa kehidupan gadis gebetannya itu.Cherry tersenyum getir, dia sedikit malu bila harus menceritakan bahwa keluarganya bukan berasal dari kalangan orang berada. Mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah bersyukur sekali. Namun, dengan jujur Cherry pun berkata, "Karena faktor biaya, Pak. Adik saya masih butuh untuk melanjutkan sekolah karena sa
"Sorry ya, Cher. Kamu tadi pasti belum kenyang 'kan makannya!" ucap Nicky setelah keluar tergesa-gesa dari Japanese fast food di mana dia tak sengaja bertemu mantan tunangannya.Gadis itu menggelengkan kepalanya lalu menjawab, "Nggakpapa kok, Pak. Nanti saya terusin di rumah aja. Apa kakak Rihanna tadi mantan pacar Pak Nicky?" "Jangan deh! Kesannya aku egois dong kalau ngajak dinner, tapi malah kamunya tetap laper sampai pulang ke rumah. Kita pindah tempat makan yang lebih privacy aja deh biar nggak ketemu mereka lagi!" ujar Nicky tanpa menjawab pertanyaan siapa Monica. Biarlah tunangan tukang selingkuh itu jadi masa lalunya yang pahit dan tak perlu diingat lagi.Toh wanita itu kena batunya juga. Habis manis sepah dibuang. Selingkuhannya setelah bosan kabur dari Monica. Sementara Nicky yang sudah tersakiti ogah diajak menjalin hubungan kembali dengan sang mantan yang ratu tega dan tak setia.Akhirnya mereka berdua pun meninggalkan mall dengan mobil Lamborghini Aventador merah mentere
"Cher, bantu ibu kirim pesanan nasi dus ke rumah mamanya Rihanna ya? Ada arisan di sana sore ini, pesanannya sudah dibayar sebagian DP-nya, nanti dimintain sisa duit kateringnya ke Tante Diah," ujar Bu Martinah sambil memasukkan isian lauk ke dalam kardus makanan persegi yang berjejer di meja panjang warungnya.Cherry yang baru saja datang dari rumah seusai mandi sore bergegas membantu ibunya agar cepat siap pesanan nasi box dari mama sahabatnya tersebut. "Boleh, Ma. Kebetulan banget jadi bisa ketemu Rihanna nanti. Kali aja dia ada di rumah, ini 'kan hari Minggu!" sahut gadis itu riang sekalipun malam ini dia ada jadwal manggung di tempat kerjanya.Sekitar setengah jam kemudian mobil taksi online yang dipesan ibunya tiba dan pengemudinya berbaik hati membantu memasukkan dus-dus nasi box yang diikat dengan tali rafia dan dimasukkan ke tas kresek jumbo warna putih itu ke bagian belakang dan tengah mobil."Cher, ini nota tagihannya ya, total empat ratus ribu rupiah. Sudah sana berangkat
"Pak Harjo, tolong anterin saya ke Merlino Cafe and Bar ya sebelum pulang ke rumah. Saya mau ngobrol sama kawan sebentar!" titah Nicky Jansen dari bangku belakang mobil sedan mewahnya yang melaju di tengah hujan deras yang mengguyur kota Bandung petang itu."Siap, Mas Nicky. Maaf bisanya jalan pelan-pelan mobilnya. Hujannya tumben deres banget malam ini!" jawab Pak Harjo sambil mengemudi penuh konsentrasi ke jalan raya yang nampak buram dari kaca depan mobil.Majikannya pun paham karena terkadang juga mengendarai sendiri mobil sport kalau sedang ada acara khusus. Nicky menyahut, "Iya, kecepatan segini aja, Pak. Bahaya kalau sampai selip ban atau nabrak!"Setelah perjalanan yang cukup lama, mobil tersebut memasuki halaman parkir Merlino Cafe and Bar yang diterangi banyak lampu layaknya tempat hiburan malam pada umumnya. "Sudah sampai tujuan, Mas Nicky. Apa perlu saya payungi ke pintu masuk?" ujar Pak Harjo karena hujan bukannya mereda malah bertambah deras saja.Suara derai air yang ja