Tawa dari Clara tak berhenti-henti sejak tadi, setelah mendengar Aera berceloteh mengenai kehidupan sekolahnya. Bahkan sesekali ia terbatuk-batuk di sela-sela ice cream yang ia makan.
Disinilah mereka sekarang, berada di taman yang di himpit bangunan-bangunan tinggi, salah satunya Apartemen itu. Setelah melihat-melihat sejenak beberapa lantai Apartemen. Tadinya, Clara hendak mengajak Aera bercerita di pusat pembelanjaan di lantai delapan, nyatanya Aera sepertinya tidak begitu tertarik. Jelas, saat ini ia ingin melihat duni luar, setelah hampir satu harian mengurung diri di kamarnya.
"Kalau kau mau, kau bisa mengajakku lain kali untuk berkeliling lagi. Ya, saat hari liburku tiba!"
"Baiklah kak! Kau sangat baik padaku!" Aera tersenyum di akhir kalimatnya.
Mendapatkan teman yang bisa di ajak bicara seperti ini, adalah suatu kenikmatan yang di berikan Tuhan padanya.Aera kembali menjilat ice cream rasa vanila yang ada di ujung se
Dentingan pelan yang timbul kala sendok itu beradu denga piring kaca, menambah sedikit suasana hening yang sedari tadi sudah tercipta. Tak ada yang berniat untuk berbicara sama sekali, menyibukkan diri dengan pemikiran masing-masing. Nyatanya semua keheningan itu berubah begitu seorang anak laki-laki berumur 14 tahunan datang bergabung di meja makan.Alih-alih mengambil duduk agar bisa bergabung di sana, ia malah pergi begitu berhasil mendapatkan makan malam miliknya. Raut wajahnya jelas sangat terlihat tidak bersahabat.Atensi wanita paruh baya dan pria yang umurnya tak jauh dari wanita itu teralihkan dari makan malam mereka, kini memilih menatap santai ke arah anak laki-laki mereka yang masih setia berdiri dengan memegang piring berisi nasi itu."Kok kamu gak duduk nak?" sang ibu-Dhina mengintrupsi agar anak laki-lakinya itu segera mengambil duduk di tempat biasanya.Masih mempertahankan mimik wajahnya, Attha-sang anak malah melenggang pergi setel
Desisan pelan berhasil lolos saat tubuhnya ia baringkan ke atas tempat tidurnya. Kembali mengubah posisi tidurnya, tetap saja. Matanya tak kunjung mau menutup. Padahal dia sudah merasa sangat mengantuk saat ini. Aera mebawa tubuhnya bangkit kembali dan terduduk bersila di ranjangnya. Mengunci lurus tatapannya pada pintu kaca balkonnya yang terlihat mengintip dari balik tirai yang berayun pelan. Entah angin dari mana yang masuk, kini kedua tungkainya membawa tubuh rampingnya mendekat pada pintu itu. Menyibak perlahan tirai putih bersih tanpa corak itu. Tepat setelah itu, kerlap-kerlip lampu menjadi pandangan utamanya. Decakan kagum muncul begitu kedua manik jernihnya menangkap puncak tower tertinggi yang menjadi ikon dari kota mereka, sekaligus penarik minat turis datang ke sini. Cahaya warna-warni itu semakin membuatnya terkesan. Menghipnotisnya hingga masuk ke dalam buaiannya. Rasa girang kembali membuncah dalam dirinya, segera ia buka pi
Aera. Tubuhnya menggeliat pelan, meregangkan otot-ototnya yang lelah. Anehnya, kali ini merasa tidurnya begitu nyenyak dan juga, nyaman. Kelopak matanya terbuka pelan, masih sama seperti ia tidur. Keadaan di dalam kamarnya masih gelap, hanya ada lampu tidur sebagai penerang di sana. Aera sangat yakin dia sudah tidur sangat lama, tapi kenapa masih gelap di luar sana. Menghalau pikirannya, ia mulai merubah arah tidurnya. Dan betapa terkejutnya ia, kedua matanya kini di suguhkan dengan pemandangan yang tidak biasa. Tepat di depannya, sangat dekat, bahkan jarak di antara mereka hanya sekitar satu ruas jari telunjuknya saja. Reagan masih tertidur dengan lelapnya. Glek. Apa dia malaikat yang menjelma menjadi manusia? Dia sangat- Tampan. Aera berteriak dalam hati. Jauh dari dugaannya, wajah Reagan yang tengah tertidur begitu menjadi objek yang tidak bisa membuatnya mengalihkan pandangannya begitu saja.
"Huaam!" mulutnya terbuka pelan, ia bawa punggung tangan kirinya ke arah sana, menutupnya agar tidak mengganggu orang lain. Bus kini sudah sampai di halte tempat tujuannya. Meski dia harus berjalan sedikit untuk menuju toko roti milik orang tuanya Aile, ya tujuan Aera sekarang adalah mendatangi Aile secara tiba-tiba. Karena kalau dia memberitahukannya terlebih dahulu, sudah pasti Aile akan menolak kehadirannya. "Kalau sudah begini, dia tidak bisa mengusirku bukan?" kekehan pelan terdengar di mulutnya. Aera menatap lurus ke arah orang yang berjalan cepat di depannya, si pria dengan jaket dan wajah tertutup yang tadi duduk di sampingnya. Ternyata dia ikut turun di halte tadi. "Hia, padahal cuaca hari ini sangat terik, bisa-bisanya dia berpakaian seperti itu," sepertinya Aera bisa menjadi kritikus yang hebat. Dia suka mengomentari orang-orang yang bahkan tidak ia kenal dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupannya. Kedua manik A
"Ayo katakan padaku! Bagaimana rasanya?" Matanya menyipit, menatap tajam bak elang pada satu arah. Di mana seorang pria yang jauh lebih muda darinya menyunggingkan senyum menyebalkan itu. Bahkan kini kedua bibirnya terbuka, menampakkan gigi-giginya yang berbaris rapih di sana. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Aku kan hanya penasaran! Kau harus memberi tahuku!" sambungnya lagi, bergerak mendekati Reagan. Hanya saja kali ini Reagan terlalu malas, meladeni artis yang berada dalam naungan Agensinya. Pria itu-Jarrel atau yang kerap kali di panggil Jarrel merupakan artis sekaligus produser lagu di sana. Pria yang sudah bertahun-tahun menjadi teman dekatnya di kantor. Dia bahkan sudah terjun ke dunia hiburan saat umurnya masih tergolong sangat muda, lima belas tahun. Biasanya anak-anak di umur segitu masih sibuk bermain dengan bebas di luar sana. Tapi tidak dengannya. Umur mereka bahkan terpaut hampir delapan tahun. Dan lagi, YQ Entertaiment su
Semilir angin sejuk musim gugur di sore itu semakin membuat orang-orang lebih suka menghabiskan waktunya di caffe-caffe atau tempat minum lainnya. Ketimbang berjalan di luar sana, padahal cuaca masih sangat cerah belakangan ini. Memilih bercengkrama dengan sang teman atau setidaknya berdiam diri sendirian saja. Tak berbeda dengan yang lainnya, tawa ringan mengisi kekosongan di antara keduanya. Di selingi dengan obrolan yang tengah hitsnya di salah satu jejaring sosial saat ini. Jari lentik itu sibuk menscroll layar ponselnya, hendak menunjukkan gosip terhangat yang baru saja ia ketahui dari temannya. Tentang seorang aktris yang terjerat hubungan gelap oleh salah satu managernya. "Wah, tidakkah dia merasa bersyukur sudah punya suami yang cukup tampan dan kaya?" keluhnya pada seseorang di sampingnya. Anggukan pelan muncul tanda ia menyetujui perkataan gadis itu. Ikut menjerumuskan matanya ke dalam gambar-gambar yang
Ranumnya bergerak pelan, mencetak senyum tipis begitu kaki jenjangnya menginjak pada lantai Apartement miliknya. Perasaan senang tiba-tiba menghampiri, merasa bahwa kini ada seseorang di dalam sana yang mungkin saja tengah tidur atau menunggu kepulangannya? Berhasil memasukkan pin, langkah yang tadinya berayun cepat mulai menurunkan temponya. Mendapati gelapnya ruang itu. Tangan kirinya terjulur pelan, mencari saklar lampu yang berada tak jauh dari pintu utama. Ctak. Cahaya menyilaukan itu menyambut kepulangannya. Rasa lelah kian menyelimutinya, menuntut agar segera merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk nan nyamannya. Perlahan tungkainya membawa tubuhnya ke arah dapur, tempat di mana ia kemarin melihat gadis itu menunggunya pulang. Gelap. Suasana yang sama kembali ia dapati. "Apa dia suka kelegapan? Dan kini memilih tidur?" tanyanya dalam hati. Merasa bodoh dengan dirinya sendiri. Seo
Dengan berat kedua kelopak mata itu membuka pelan, sempat terpejam kembali saat merasa sinar lampu yang begitu terang menubruk ke arah matanya. Sampai pada akhirnya, setalah ia membuka matanya kembali, pandangan mulai netral dan menerima cahaya itu dengan baik. Aera meringis pelan saat merasakan kepalanya yang begitu sakit. Dan juga, ia mulai menyadari suhu tubuhnya yang sangat panas bercampur rasa menggigil di sekujur tubuhnya. Tak biasanya seperti ini. Dengan cepat ia genggam selimut yang menutup seluruh tubuhnya. Sampai pada akhirnya sesuatu terlintas di ingatannya. Ada yang tidak beres. Pikirnya. Aera terbatuk pelan beberapa kali. Dan entah dari mana datangnya sosok pria yang kini terlihat berdiri di samping tempat tidurnya dengan ekspresi wajah yang sangat sulit ia tebak. "Kau sudah bangun? Bagaimana perasaanmu?" tanya Aera cepat, mengambil alih duduk di sisi ranjang Aera, tak menghiraukan tatapan heran yang Aera tujukan