“Sudah bangun ternyata!"
Aera memutar tubuhnya dan melihat siapakah gerangan orang yang baru saja memanggilnya, ya dia merasa dirinya lah yang di ajak bicara barusan. Dan kini ia mendapati seseorang yang sedari tadi menghilang, kini tengah berdiri tak jauh darinya tanpa menatapnya sama sekali. Reagan-sepertinya tengah sibuk dengan ponselnya.
Aera segera mendekatinya, namun ia tetap menjaga jarak, mencari aman saja pikirnya.
"Kenapa kau tidak membangunkanku?" protesnya pada Reagan.
Reagan melirik singkat padanya, tanpa mengeluarkan suara sama sekali ia mengedikkan bahunya.
Aera berdecak pelan. Sungguh orang yang ada di hadapannya ini sepertinya sangat tidak menyukainya-pikirnya.
Tak berapa lama setelah itu Reagan beranjak pergi meninggalkannya. Aera yang tidak tahu apa-apa akhirnya memutuskan untuk mengikutinya.
Aera mengekor pada Reagan, tak mengindahkan tatapan para resepsionis yang terbengong begitu mendapatinya masuk dengan Reagan.
"Selamat malam Tuan Reagan!" sapa resepsionis itu sembari membungkuk singkat. Menunjukkan rasa hormatnya pada salah satu penghuni apartemen ini.
Reagan mengangguk tak berarti sembari menyunggingkan senyum tipis, sangat tipis bahkan.
"Apa-apaan dia? Kenapa sok manis seperti itu?" celutuk Aera dalam hati. Tidak terima mendapatkan perlakuan yang jelas-jelas tidak bersahabat dari Reagan.
Bisa di lihat dari ujung matanya, Aera menangkap resepsioinis perempuan itu berbisik pada temannya yang lain tepat setelah ia lewat.
"Apa ada yang salah denganku?" tanyanya dalam hati.
Mereka kini sampai di depan sebuah lift, Reagan menekan angka 31 pada tombol yang ada di depannya. Menunjukkan lantai yang akan ia tuju.
Tidak ada pembicaraan yang muncul di antara keduanya. Aera bahkan tidak berniat melihat Reagan sama sekali.
Tidak butuh waktu lama mereka sampai di lantai tujuan. Terlihat sangat sepi sepanjang Aera menatap lorong-lorong panjang di depannya.Langkahnya ia bawa pelan, kembali mengikuti kemanapun Reagan pergi. Toh pasti Reagan akan membawa dirinya ke apartemen miliknya.
Dan benar saja mereka berhenti setelah terhitung Aera berjalan dua belas langkah keluar dari lift.
Setelah berhasil memasukkan beberapa digit angka untuk membuka pintu apartemennya.Cklek.
Bunyi pelan itu muncul saat Reagan berhasil memutar handle pintu apartemennya.
Tanpa berkata apa-apa Reagan langsung masuk tanpa beban sama sekali, meninggalkan Aera yang masih terpaku di depan pintu.
Aera menggenggam erat baju santai yang sudah ia pakai dari rumahnya tadi, mulai memikirkan hal yang tidak-tidak akan terjadi pada dirinya jika masuk ke dalam sana.
Pemikirannya itu secepat mungkin ia tepis.“Baiklah!” tak mau berbasa-basi lagi akhirnya dengan langkah berat Aera membawa tubuhnya mendekati pintu masuk. Jujur saja dia tidak bisa menahan rasa gugup sekaligus takut.
Ini lebih menakutkan dari pada acara akad pernikahan yang berlangsung tadi siang di rumahnya.
Berbicara rumah, baru saja ia meninggalkannya beberapa jam yang lalu, namun rasa rindu sudah menyelimuti hatinya. Malam ini dia tidak bia mendengar suara teriakan adik laki-lakinya lagi yang sedang marah karena ia selalu mengganggunya. Dan meski sedikit, tapi dia juga merindukan papa dan mamanya.
Rasa kesal, kecewa dan benci bercampur menjadi satu, masih tidak menyangka bahwa kedua orangtuanya bisa melalukan hal yangmenyakiti perasaannya seperti ini.
Aera mengedarkan pandangannya dan tidak menemukan Reagan di sana, selain ruangan yang ada di depannya. Tatanan ruang yang rapih serta gemerlap lampu yang terang membuat jarak pandangnya semakin luas.
Perlahan Reagan melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan tersebut, sebelumnya ia menyempatkan menoleh kembali ke belakang dan melihat pintu itu sudah kembali ia tutup.
Brukk.
Baru saja Reagan berjalan dua langkah, tiba-tiba dia sudah di hadang oleh sosok bertubuh besar dan tegap di depannya, Reagan mendongak upaya melihat siapakah gerangan orang yang tidak sengaja ia tabrak. Padahal tadi ia yakin Reagan sudah menghilang dari sana.
“OMG. Kenapa aku baru sadar dia punya tubuh seperti jin tomang!” teriak Aera dalam hati. Dan yang membuatnya kesal lagi, kenapa Reagan menatapnya seperti hendak membunuhnya seperti itu?
Setelah puas saling melemparkan tatapan julid mereka, Aera kemudian mengalihkan pandangannya.
“Dimana aku akan tidur?” tanyanya tanpa melihat lawan bicaranya.
Bukannya meminta maaf atas kesalahannya, malah ia berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apapun.
“Dimana, hah?” tanyanya lagi dengan memasang wajah songong karena tak mendapatkan jawaban dari pertanyaan tadi.
Bukannya menjawab, Reagan malah berjalan dengan angkuh menjahui Aera.
“Kenapa malah meninggalkanku tanpa menjawab pertanyaanku? Anda tau, itu tidak sopan,” celutuknya yang kini tengah menghadang jalan Reagan.
“Kamu berbicara seperti itu seolah dirimu seorang duta kesopanan di dunia ini,” balas Reagan datar, menyingkirkan tubuh Aera ke samping.
“Hei kakaknya Dalva! Kenapa berbicara seperti itu padaku?” teriak Aera tertahan, meskipun begitu ia tetap mengikuti kemanapun Reagan pergi.
Langkahnya melambat saat melihat Reagan berhenti di depan sebuah pintu yang berjarak sedikit ke dalam dari ruang tamu tadi.
“Akh, anda baik sekali kakaknya Dalva, sampai-sampai mengantarkanku ke kamarku, terima kasih!” seru Aera membuat suaranya semanis mungkin dan dengan cepat membuka pintu di depannya.
Ruangan bercat putih bersih terpampang jelas di depannya, pandangannya terkunci pada tempat tidur berukan king size dengan balutan sepray senada dengan warna dinding ada di sana. Kamar yang sangat simple menurutnya, tidak ada apapun di sana selain tempat tidur, lemari, sofa, kaca rias dan ya, yang membutnya sedikit merasa tertarik karena ada TV di sana. Tentu saja sangat berbeda dengan interior kamar miliknya yang sangat penuh di rumahnya, meskipun kamarnya yang lama tidak sebesar dan seluas ini.
Dan yang membuatnya semakin yakin kalau itu adalah kamar yang sudah di siapkan untuknya ialah karena ia melihat ke beradaan koper miliknya ada di sana, bersender cantik pada dinding lemari.
Aera berbalik dan sedikit tersenyum pada Reagan. “Terima kasih kakaknya Dalva atas kebaikannya!” Aera menunduk hormat dan bertutur kata dengan sangat manisnya.
Akh, ini semua terpaksa ia lakukan karena takut kalau Reagan akan melaukan hal-hal jahat yang tidak ia inginkan. Ya, sebisa mungkin ia mempertahankan ini sampai ia benar-benar mengerti watak dan sifat Reagan.
“Kalau begitu, selamat malam dan selamat beristirahat!” Aera tersenyum palsu dan segera menutup pintunya dengan cepat.
“Eh,” serunya heran saat sebuah tangan yang lain menahan laju pintu kamar yang baru saja ia klaim sebagai miliknya.
“Ada yang ingin kau bicarakan lagi padaku?” tanya Aera kemudian.
“Kenapa memanggilku begitu?” tanya balik Reagan, menatap lurus pada Aera.
Aera menggigit bibir bawahnya cepat seiring dengan bola matanya yang mengarah ke atas, bertindak seolah-olah tengah berfikir dengan sangat keras. “Kenapa bertanya begitu?”
“Jangan balik bertanya lagi,” geram Reagan meski ekspresi wajahnya masih terlihat tenang dan tida perduli sama sekali.
Kepala Aera bergerak pelan. “Aaa, anda ini bagai mana sih?” Aera menjeda sesaat perkataannya. “Sudah jelas aku memanggilmu begitu karena kamu memang kakaknya Dalva kan? Apa aku salah? Tidak kan?”
Reagan tidak bergeming sama sekali mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Aera. “Aku punya nama,” balas Reagan setelah beberapa saat berlalu.
Aera mengangguk perlahan, ingin tertawa tapi sebisa mungkin ia tahan. “Aaaa iya iya aku paham. Anda tidak terima aku memanggilmu seperti itu, hahaha,” akhirnya Aera tertawa juga meski tidak kuat. Menatap lucu ke arah Reagan. “Iya kan?”
Aera kembali tertawa melihat perubahan ekspresi pada wajah Reagan.
“Baguslah kalau kamu mengerti. Aku tidak suka mengulang kata dua kali,” tanpa aba-aba Reagan langsung pergi menjauh dari kamar Aera.
Dan betapa terkejutnya Aera saat Reagan masuk ke salah satu kamar yang persis tepat berada di depan kamarnya.
“Kenapa kamarnya harus hadap-hadapan coba?” keluhnya tidak terima.
Blamm.
Dengan gusar Aera menutup pintu kamarnya sedikit kuat. “Terserah dia saja. Aku bisa apa emangnya, yang penting dia tidak mengganggu ku. Itu sudah cukup baik.”
“AKKKKH.”
“Pagi yang buruk, I’m coming!” teriak Aera seraya meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa sakit karena dia salah tidur tadi malam. Jelas saja bagaimana dia bisa tidur dengan nyaman dengan suasana hatinya yang begitu buruk. “Huft, apa yang akan aku lakukan hari ini? Hemm?” Aera bergumam sendiri. Tangannya bergerak pelan meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal tidurnya. Di lihatnya dengan seksama ja yang ada di layar ponselnya. Sudah menunjukkan pukul enam pagi. Nafas gusar terlepas dari mulutnya. “Ini masih terlalu pagi untuk hari liburku.” “Tapi gak apa Ra. Ayo kita buat hari ini semakin buruk dan tidak berwarna dengan berbaring seharian di tempat tidur tanpa melihat siapapun, terlebih laki-laki kurang belai dan membosankan itu. Ayolah kau pasti bisa!” Aera menarik kembali selimut dan menyembunyikan seluruh tubuhnya di bawah sana. Baru saja ia hendak memejakan matanya, gemuruh kuat yang sangat ia k
Seperti niat awalnya tadi. Setelah berhasil mengisi perutnya, Aera kembali ke kamarnya. Berdiam diri di sana dalam sana entah sampai kapan. Mungkin sampai perutnya kembali meminta jatah. Tapi sepertinya itu akan butuh waktu yang lebih lama lagi, kini di sisinya sudah tersedia beberapa bungkus keripik kentang, dua toples kue kering serta minuman soda yang ia ambil tanpa permisi di lemari makanan dekat dapur tadi. Tidak ada yang bisa ia lakukan di sini, Ralat! Yang lebih tepatnya dia memang tidak ingin melakukan apapun di luar sana. Dia tidak kenal siapapun di sini, lagipula dia tidak suka lingkungan baru yang mengharuskan ia kembali menyesuaikan diri. "Apa yang akan ku lakukan hari ini?" lirihnya singkat. Di cek kembali ponselnya, melihat apakah ada pesan yang masuk, tapi tidak satupun dari teman-temannya yang mau mengiriminya pesan. Rasanya kalau sudah seperti ini dia tidak akan mau cepat-cepat tamat sekolah. Lihatlah, bagaimana teman-te
Aera terdiam sejenak untuk kembali mengumpulkan niatnya berbicara pada orang yang kini sudah ikut kumpul dengannya dan Yayas. "Eh tuan!" Yayas menunduk hormat sejenak. Aera menghela nafas pelan, dia lupa menanyakan status pekerjaan Yayas di sini. Apakah dia menjadi satpam khusus di lantai ini saja atau tidak. Tapi, kalau dia bertugas di seluruh Apartemen juga kayaknya enggak. Soalnya dari tadi malam Aera hanya melihat Yayas berkeliaran di depan sini saja. Mungkin nanti lain waktu, dia bisa menanyakan hal itu pada Yayas. "Pagi!" sapa Reagan dengan nada santai. Berbeda sekali saat berbicara dengan Aera. Aera memicingkan matanya, melihat dengan teliti orang yang berdiri di sampingnya ini secara diam-diam. Meskipun hak itu jelas di ketahui oleh Reagan sendiri. "Kalau begitu saya permisi keliling dulu ya tuan, nona!" setelah mengatakan hal itu Yayas langsung pergi dari hadapan Aera dan Reagan.Ujung mata Aera terus mengikuti ke ara
"Apa ini?" bentakan yang begitu keras memekakkan telinga itu membuat seorang anak kecil itu semakin terpojok. Tangan kecilnya bergetar pelan di balik punggungnya, kepalanya ikut tertunduk rendah. "Kalau di tanya itu jawab!" suara itu kembali menggelegar di rumah yang cukup besar ini. Tidak ada orang lain selain mereka di sana. Lebih tepatnya dua pembantu di rumah itu hanya bisa ikut diam di dalam dapur, tidak ingin ikut campur ataupun membela anak dari majikan mereka. "Maaf ma!" lirihnya pelan, hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. "Mama udah bilang berulang kali, kamu gak usah sok kerajinan kalau akhirnya malah buat rusuh aja!" jeweran keras wanita itu daratkan di telinga anaknya. Tak menangis, anak kecil itu cukup kuat untuk menahan rasa sakit yang mamanya berikan padanya. Mungkin karena rasa sakit itu sudah terlalu sering di berikan, jadinya ia kebal? Langkah kaki yang menjauh dan suara pintu yang di buka dengan kasar
Atensi Reagan teralihkan saat menangkap pergerakan dari Aera yang masih terbaring di tempat tidur. Tidak memakan waktu yang lama, akhirnya Aera benar-benar terbangun dari acara pingsannya. "Akhh!" Aera meringis pelan, merasakan sakit-sakit yang masih tersisa di perutnya. Tapi di detik berikutnya ia terkejut saat merasakan sesuatu yang hangat di perutnya. Aera bangkit dari tidurnya, membawa tubuhnya untuk duduk dengan benar. Betapa terkejutnya ia saat mendapati Reagan yang tengah terduduk santai sambil membaca buku di sofa kamarnya. Pandangannya kini teralihkan saat menyadari ada sesuatu yang aneh pada sekitar perutnya, matanya membulat dengan sempurna saat melihat handuk kecil yang terbalut di perutnya. "Perutku!" lirihnya dalam hati. "Perutku!" ulanganya lagi. Mulutnya terbuka sesaat, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi padanya.Aera memicingkan matanya, menatap tajam pada Reagan. Dia tahu, siapa lagi yang akan melakuka
Lirikan acuh menyambut kedatangan wanita itu begitu ia baru saja masuk. "Dari mana sih bu? Dari tadi juga aku panggillin gak nimbul-nimbul," tanyanya pelan, di sela-sela kesibukannya memainkan gawai miliknya.Wanita itu yang tak lain adalah Nella, berjalan cepat menghampiri putrinya itu."Berhentilah bermain ponselmu! Dan pergilah mencari pasangan hidupmu! Di umurmu yang hampir menginjak kepala tiga, kau masih sibuk bermain game-game itu. Ayolah Clara, adikmu saja sudah mau menikah akhir tahun ini!" ocehnya cepat, merampas ponsel milik anaknya yang ia panggil Clara.Clara melemparkan tatapan malas sekaligus kesal pada ibunya. Setiap harinya, tanpa perasaan bosan, ibunya selalu mengungkit tentang masalah statusnya yang masih single. Tentu saja dia sangat tersinggung, selain masih ingin menikmati kehidupan mudanya, dia juga diam-diam sudah menyukai seorang pria. Dan kini ia ada di tahap mengejar pria itu."Semoga saja cintaku tidak bertepu
Tawa dari Clara tak berhenti-henti sejak tadi, setelah mendengar Aera berceloteh mengenai kehidupan sekolahnya. Bahkan sesekali ia terbatuk-batuk di sela-sela ice cream yang ia makan.Disinilah mereka sekarang, berada di taman yang di himpit bangunan-bangunan tinggi, salah satunya Apartemen itu. Setelah melihat-melihat sejenak beberapa lantai Apartemen. Tadinya, Clara hendak mengajak Aera bercerita di pusat pembelanjaan di lantai delapan, nyatanya Aera sepertinya tidak begitu tertarik. Jelas, saat ini ia ingin melihat duni luar, setelah hampir satu harian mengurung diri di kamarnya."Kalau kau mau, kau bisa mengajakku lain kali untuk berkeliling lagi. Ya, saat hari liburku tiba!""Baiklah kak! Kau sangat baik padaku!" Aera tersenyum di akhir kalimatnya.Mendapatkan teman yang bisa di ajak bicara seperti ini, adalah suatu kenikmatan yang di berikan Tuhan padanya. Aera kembali menjilat ice cream rasa vanila yang ada di ujung se
Dentingan pelan yang timbul kala sendok itu beradu denga piring kaca, menambah sedikit suasana hening yang sedari tadi sudah tercipta. Tak ada yang berniat untuk berbicara sama sekali, menyibukkan diri dengan pemikiran masing-masing. Nyatanya semua keheningan itu berubah begitu seorang anak laki-laki berumur 14 tahunan datang bergabung di meja makan.Alih-alih mengambil duduk agar bisa bergabung di sana, ia malah pergi begitu berhasil mendapatkan makan malam miliknya. Raut wajahnya jelas sangat terlihat tidak bersahabat.Atensi wanita paruh baya dan pria yang umurnya tak jauh dari wanita itu teralihkan dari makan malam mereka, kini memilih menatap santai ke arah anak laki-laki mereka yang masih setia berdiri dengan memegang piring berisi nasi itu."Kok kamu gak duduk nak?" sang ibu-Dhina mengintrupsi agar anak laki-lakinya itu segera mengambil duduk di tempat biasanya.Masih mempertahankan mimik wajahnya, Attha-sang anak malah melenggang pergi setel