Share

Complicated : 05

Avina terlihat duduk diam di balkon kamar, seperti inilah kegiatannya di rumah. Terlebih lagi, kalau sudah ada Aldian dan kakaknya pulang dan seharian di rumah. Tidak terlalu dekat, faktor dari kehidupan yang dijalani. Selalu menuntutnya untuk menjadi yang sempurna. Keluar kamar kalau memang harus, itu harus tetap bersikap seolah baik-baik saja.

Lagi pun yang sering menjadi teman bicara, Avera saja. Selebihnya diam di kamar, memang bisa saja bosan. Tetapi, lebih baik seperti ini dibanding bertemu atau berbincang kecil dengan baik-baik dalam sekejap berganti menjadi sebuah perseteruan.

Avina melirik ke arah jam dinding, ternyata sudah menunjukan pukul lima sore. Mulai membaringkan tubuhnya, kedua bola matanya tertuju pada angksa biru yang perlahan menjadi jingga—senja akan tiba.

Tidak peduli, dinginnya lantai balkon. Yang terpenting, sedikit bisa menenangkan pikiran. Meringis sejenak, kala tanpa sengaja jarinya tergores besi pagar balkon. Bahkan, sedikit mengeluarkan darah. Memang awalnya perih, entah kenapa mendadak terabaikan.

Lalu tersentak, saat mendengar suara seseorang berdeham. Ternyata Avera.

"Ya?" Avina menggenggam jari yang berdarah akibat tergores besi pagar.

"Nggak dengar kah? Dari tadi dipanggil?"

Avina menggaruk pipi yang tidak gatal. "Maaf, tadi asik melamun."

"Kau ini! Jangan terlalu sering melamun!" Avera mulai mengingatkan.

Avina mengangguk, meski begitu terus saja dilakukan.

"Kau tadi pagi nggak sarapan 'kan? Pasti di sekolah juga, ya nggak?" tebak Avera.

Avina benar-benar kikuk.

Avera sudah menduga. "Ayo, makan!"

"Iya iya iya." Avina bangun dari acara berbaring santai, kemudian mengekor Avera bahkan lupa kalau jarinya terluka. Baru sadar, saat ingin mencuci tangan di wastafel. Perih kembali dirasa, tetapi tidak terlalu.

"Luka kenapa tuh?" Avera heran, yang dilakukan Avina melamun tetapi kok bisa luka.

"Tadi nggak sengaja tergores besi pagar balkon."

Avera mendengkus pelan, mulai mengobati luka di jari Avina. Kalau dibiarkan bisa infeksi, siapa tahu saja besi pagar balkon mulai berkarat. "Makan sana."

Avina mengangguk cepat.

****

Avina sudah selesai makan, kini kembali melamun. Agak berbeda, matanya terfokus pada jari telunjuk yang terluka tadi, kini sudah diplester. Benar-benar melupakan rasa sakit, terbukti sengaja memainkan jari tangannya yang terluka ditekan-tekan.

Avera yang memperhatikan, langsung mendekat dan menepuk pelan kepala Avina. "Ngapain sih? Jari luka dipandangin terus?"

Avina kembali tersentak. "Entah." Kemudian beranjak, seperti biasa ke kamar lagi. Sudah jarang, atau mungkin sudah berganti tidak pernah ikut berkumpul di ruang tengah.

Avera masih memperhatikan Avina, hingga menghilang dari jarak pandangnya baru mengalihkan. Avera tidak mau terjadi hal yang tidak diinginkan, habisnya dari gerak-gerik Avina terkesan kegirangan di sela-sela lamunannya sembari terus melihat luka di jari. Beruntung hanya luka kecil dan tidak disengaja.

Jangan sampai terjadi.

Avera tidak mau, Avina begitu karena menganggap semua yang dialami dan dijalaninya seperti menekan kehidupannya.

Tidak terasa, malam telah tiba. Tepat pukul sembilan, Raska dan karyawan tetap dan part time lain. Mulai membereskan seisi restoran, karena sebentar lagi akan ditutup. Bahkan, sudah tidak terlihat keberadaan seseorang yang terus membuat Raska terusik. Siapa lagi kalau bukan Risky.

Menghela napas sejenak dan duduk bersandar, merasa ada seseorang yang duduk di sebelah tidak lain Zian. Hanya melirik, tetapi terusik kala Zian membicarakan sesuatu hal yang tidak terduga.

"Aku penasaran denganmu, tipe mengabaikan tapi kok banyak yang deketin. Entah cewek atau cowok." Matanya menyipit.

Raska menaikkan satu alis, tidak percaya dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Zian. Menurutnya, agak aneh. "Aku bahkan tidak tau harus menjawab apa." Kacamata bulat yang selalu membingkai wajahnya, kini dilepas sejenak dan mengelap karena sedikit kotor dan berembun. Lalu memakai lagi.

Zian mencebik kesal.

Raska enggan mempedulikan, tetapi sudut bibirnya sedikit terangkat. Untuk pertama baginya, memiliki seseorang teman dekat. Meski mengenal karena part time yang sama, bahkan berhasil bertahan walau sudah berapa kali diabaikan atau terkena semprot emosi olehnya.

Selama ini, Raska bukan tipe yang mulai berbaur. Semenjak, tidak teranggap dan berasa tiri hingga membuatnya melepaskan diri dari keluarganya—menurut orang amat sempurna.

Satu alasan lagi, Raska membenci bila hidupnya diatur. Itu sebabnya, tidak pernah berbaur duluan, meski didekati memilih menjadi pribadi dingin. Lebih sering, memperlihatkan seolah memang lemah di mata orang banyak. Terlebih lagi di sekolah.

Raska beranjak dari kursi yang sedari tadi dudukinya, kemudian pergi ke ruang ganti. Setelahnya, melangkah pergi dari restoran tempatnya part time. Seperti biasa, Raska tidak langsung pulang. Memilih berkeliaran di malam hari, tidak disangka orang yang sejak awal part time hingga selesai masih terlihat keberadaannya.

Risky seakan sengaja berdiam diri di taman kecil dekat restoran, karena masih ingin mengamati Raska.

"Part time kah?" Risky tahu, melontarkan pertanyaan untuk memulai perbincangan kecil dengan Raska akan berakhir diabaikan. "Kau membenciku dan ibu juga kah?"

Raska enggan menjawab, dan pergi begitu saja. Risky menghela napas pasrah, tetapi kembali mengamati Raska sudah berada dalam jarak jauh darinya, entah sampai kapan Raska terus menjauh. Menganggap asing keluarga sendiri.

Benar-benar berubah drastis.

****

Raska melangkah sembari tertunduk, kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantung dari jaket yang melekat di tubuhnya. Sebenarnya, terus terkepal dan berusaha menahan emosi. Saat Risky mengatakan hal itu, membuatnya kembali dikuasai tekanan hidup yang amat berat. Pernah dialaminya, dan telah lama berhasil dilupakan. Sekarang, malah kembali teringat.

Susah payah melupakan, tetap saja akan kembali membayangi.

"Sia-sia."

Raska berhenti melangkah dan menatap kegelapan langit malam, bahkan melepas kacamata yang membingkai dan memasukkannya ke dalam kantung. Kembali melangkah entah ke mana, yang jelas bisa menghilangkan beban pikiran dan benar-benar tenang lagi.

Langkah kakinya yang tadi terlihat santai, lambat laun sedikit dipercepat. Namun, gelagatnya tetap memperlihatkan ketenangan seolah tidak sadar bahwa sedang menjadi target penguntitan.

Terus melangkah dan tertunduk, tidak dengan indra pendengar, insting—kepekaan, hingga otaknya. Mulai mencari tahu orang yang mengikutinya semakin dekat, mengandalkan pendengaran terhadap suara derap langkah kaki mereka. Insting—kepekaan, Raska memang mengabaikan. Namun, bisa refleks dengan sendirinya bila memang dalam bahaya dan memicu otaknya bekerja dalam memutuskan untuk langsung melarikan diri atau tidak.

Tetapi sepertinya, yang menguntit semakin mengikis jarak. Atau mungkin bernafsu menyerang, Raska langsung menghindar dan menangkis serangan.

Keadaan dan keberuntungan tidak memihak Raska, habisnya diserang saat kondisi sudah sepi karena telah larut malam. Bila mereka berhasil melumpuhkannya, otomatis tidak dapat memberi bukti siapa pelaku penyerangan.

Raska berdecih, sudah terhitung lamanya kembali diuntit oleh orang tidak dikenal.

"Kau lumayan bisa menghindar dan menangkis, atau memang keseharian yang kau perlihatkan hanya topeng belaka? Dengan menjadi amat lemah—eh?"

Raska enggan merespon apapun, sudah tidak tertunduk. Mulai menatap dengan sorot mata amat dingin, bisa dikatakan mencoba menebak siapa dan apa memang mengenal tetapi sengaja ikut terlupakan.

Kalau diingat, ini penguntitan biasa dari yang kedua kali dirasakan olehnya.

Memastikan kah?

Raska melirik lagi, ke arah orang yang menguntit karena ada satu dari mereka berlima tertawa agak kencang. Tidak mempedulikan situasai, memang ada benarnya karena saat ini amat sepi.

"Aku hanya penasaran, habisnya kau ...." Sengaja tidak melanjutkan, dan memilih pergi.

Atau memang tujuannya mempermainkan Raska?

Raska kembali berdecih, hingga terdiam karena merasa aneh dengan sesuatu. Punggung tangan mulai mengelap pipi kanan atas mendekati mata, terdapat noda merah. Yap darah akibat goresan pisau lipat, meski bisa menghindar. Tetap saja, ada yang berhasil melukai. Terkadang, Raska dengan sengaja membiarkan terluka akibat orang lain atau dilukai-sendiri.

"Hm, hm, hm," gumam Raska.

Setelah diserang dadakan, tidak langsung panik. Seakan telah kembali tenang, tanpa terbebani siapa yang menyerangnya tadi. Raska tipe, menemukan jati diri pelaku yang melakukan kejahatan terhadapnya amat lambat. Bisa saja cepat, entah kenapa Raska memilih membiarkan dan sengaja dilambat-lambatkan.

"Membuang waktu." Raska tidak suka mencari dan menebak sesuatu hal menurutnya tidak penting, meski mengancam nyawa. "Lagi pun, aku memang tidak memulai masalah apapun yang berujung menjadi korban penyerangan seperti tadi."

Raska mengusap kasar wajahnya, bahkan terkekeh pelan. "Hah, topeng ya?" Mendadak teringat ucapan orang yang menyerangnya tadi. "Ah memang benar sih, kehidupanku selalu didominasi topeng dan kebohongan belaka."

Bila orang lain menutupi kelemahan, dengan terlihat tegar dan kuat dalam menghadapi apapun. Berbeda dengan Raska, menutupi kemampuan yang bisa saja membantah atau melawan siapapun yang akan melakukan hal licik padanya. Dengan menjadi amat lemah, hingga tidak setara di mata mereka semua.

Seperti prinsip yang dimilikinya, memilih diam dan tetap menjadi lemah. Pastinya akan terjadi, semuanya terbongkar begitu saja dan memperlihatkan semuanya. Sisi lemah terhapuskan dan tergantikan pribadi yang sebenarnya.

"Ah kenapa memikirkan hal itu lagi?" Raska kembali melangkah, tadi sempat terhenti lagi. "Membuang waktu saja!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status