Salsa 41.Minggu depan aku dan Ken akan resmi menikah. Seminggu yang lalu, ia dan keluarganya datang melamar secara resmi. Aku meminta Ayah untuk tidak terlalu menyibukkan diri menyiapkan acara pertunangan yang mewah, sederhana saja, dan Ken juga setuju dengan semua usulku.Tiara kondisinya lebih sering lemas dan hanya terbaring di kamar. Ia juga memtuskan untuk resign dari pekerjaan karena merasa malu untuk kembali bekerja di sana.Ia lebih banyak diam saat ini, sepertinya mentalnya benar-benar sedang down. Rasa mualnya seringkali membuat ia tak bisa makan, semua makanan yang ia coba masukkan ke mulut, langsung keluar kembali. Mama yang senantiasa ada dan merawatnya.Aku pernah melihat Tiara menangis di dekat kamar mandi. Ia duduk merangkul lutut dan memegang perutnya. Aku bahkan ikut menangis melihatnya, karena mengerti posisinya pasti sulit. Sulit mengandung seorang anak tanpa didampingi suami.Mama juga melihatnya, aku menatap Mama dan ia memberi aba-aba agar aku membantu memapah
Salsa 42.Setelah menikah, aku dan Ken balik ke kontrakan masing-masing. Dia membocengku di atas motor besarnya, awalnya sedikit tak nyaman, tapi lama kelamaan jadi nyaman karena aku juga pakai kulot, jadi lebih bisa untuk naik ke motornya."Kenapa gak pake mobil?" protesku saat melihat ia malah mengeluarkan motor dari garasi rumahnya."Memangnya jalan di sana besar kayak di sini?" jawabnya.Iya juga. Akan lebih susah jika naik mobil karena jalannya sempit, apalagi jalan menuju kontrakanku.Kami kembali bukan untuk melanjutkan hidup di sana, tapi untuk menyelesaikan beberapa hal dengan pemilik kontrakan.Kami tiba, dan sepakat untuk ke kontrakaknku dulu. Di sana aku bertemu Pak Budi dan istrinya, aku berpamitan pada mereka serta mengucapkan banyak terima kasih."Sering-seringlah main ke sini, Sa. Gak terasa ya kita udah sama-sama selama beberapa bulan ini. Kamu udah saya anggap seperti anak perempuan saya. Kek ada rasa berat gitu berpisah sama kamu." Bu Mariani membelai bahuku.Meman
Salsa 1."Cepetan dong, Salsa! Salatnya lama amat sih! Udah telat nih gue!" teriak Tiara dari ruang tengah. Ia bahkan kali ini protes waktuku menghadap dengan Rabb-ku.Di dalam kamar, aku segera melepas mukena dengan gerak cepat. Setelah melipatnya, aku mengganti baju dan memakai jilbab kurung yang tersangkut di belakang pintu. Serba cepat.Saat aku sedang berdiri di depan cermin ingin sedikit memakai bedak, Tiara telah berdiri di pintu dengan tangan berkacak di pinggang."Udahlah, masih gelap juga. Gak bakalan ada cowok yang liat." Ucapan Tiara menghentikan aktivitasku di depan cermin.Segera saja ia menarik tanganku untuk keluar dari kamar, dan menyerahkan kunci motor.Kami akan ke rumah seorang MUA yang tak terlalu jauh dari kampung ini. Hari ini Tiara wisuda, dan ia akan merias diri agar terlihat sempurna di hari bahagianya.Ia menyuruhku untuk mengantarnya ke rumah MUA. Seperti kebiasaannya, sering menyuruh ke mana-mana dan akan merengek dan mengadu pada Mama jika tak dituruti.
Salsa 2.Pukul enam sore aku tiba di rumah. Rasanya seluruh tubuhku terasa remuk karena lelah melayani pembeli dari pagi sampai sore. Aku pulang diantar oleh temanku yang katanya kasihan lihat aku naik ojek atau angkutan umum untuk pulang, udah mau magrib katanya."Kamu enak ya, pulang langsung makan. Gak harus masak lagi," kata temanku saat kami berada di atas motor. Ia mengeluh karena ibunya sakit menahun, dan terpaksa melakukan semuanya sendiri.Spontan senyum miringku tersungging. Kini aku berada di depan tumpukan piring dan dapur yang kotor. Setelah salat magrib, aku langsung gegas membersihkannya. Semua pekerjaan aku selesaikan di malam hari.Tak cukup sampai di situ, karena setelah cuci piring aku harus menyetrika setumpuk pakaian keluarga. Ya, keluarga yang terkadang aku hanya merasa seperti sampah di mata mereka.Aku menggeleng meski temanku tak bisa melihatnya."Kadang sih. Tapi pulang kerja aku nggak bisa langsung bersihin diri atau istirahat.""Lah, kenapa? Bukannya kamu
Salsa 3.Pagi ini, aku terbangun seperti biasa. Tubuh ini seolah telah mengirimkan sinyal kapan harus bangun pagi. Selesai salat subuh, aku langsung bergerak ke dapur. Di sana, aku melihat Mama sedang memasak untuk sarapan pagi.Hening. Suasana begitu kaku, karena Mama masih tampak marah padaku. Ucapanku semalam untuk Tiara benar-benar membuatnya marah hingga mendiamkanku."Apa yang bisa dibantu, Ma?" tanyaku saat melihat tak ada piring kotor yang harus kucuci. Mama belum selesai masak, makanya belum ada tumpukan piring kotor di wastafel.Tak ada jawaban, Mama tetap diam, dan melanjutkan memotong beberapa sayuran untuk dicampurkan ke dalam telur.Sejenak aku menatapnya. Cukup membuat suasana tak nyaman dengan keadaan serba salah seperti ini. Meskipun Mama kerap memperlakukanku tak adil, tapi aku merasa takut jika ia mulai tak bicara padaku. Aku takut menjadi anak durhaka.Ah, tapi kan, aku bukan anaknya. Apakah ada surga di telapak kaki seorang ibu asuh?Aku menggeleng dengan kepala
Salsa 4."Salsabila.""Hadir, Bu."Begitu nama lengkapku yang tertera di absen sekolah dan ijazah. Orang-orang kerap memanggilku Salsa. Aku menyukai nama yang indah itu, tapi sayangnya nasibku tak seindah itu."Duh, udah gede ya anak adopsinya Mirna.""Iya, dulu dibawa ke sini pas umur 5 bulan. Gak terasa ya udah segede ini."Di umur yang ke sepuluh tahun, aku mengetahui satu hal yang menyakitkan dalam hidup ini. Orang-orang yang dari kecil kuanggap sebagai keluarga, nyatanya bukan. Mereka bukan orangtuaku, bukan Ayah dan Mama kandungku, bukan adikku.Semua yang kumiliki bukan milikku. Aku tahu itu semua dari pembicaraan saudara-saudara Mama dan Ayah, saat lebaran aku diajak pulang ke kampung nenek. Mama dan Ayah tak pernah bicara yang sebenarnya padaku. Ia bahkan tak pernah menyinggung tentang statusku.Kata orang, aku adalah anak adopsi dari panti asuhan. Bayi yang masih merah ditemukan menangis di depan toko orang, tergeletak dalam balutan kain jarik. Lalu, setelah itu aku dibaw
Salsa 5.Tiara mulai bekerja di perusahaan tempat ia diterima. Kebiasaannya yang terlambat perlahan mulai sedikit hilang, mungkin karena takut karena masih awal masa bekerja.Aku tetap bekerja seperti biasa, dalam versi yang beda dengan Tiara. Meskipun sama-sama karyawan, tapi dalam lingkup yang berbeda. Untuk pandangan Mama dan orang-orang kampung, bekerja di perusahaan itu tetap dianggap paling oke dan berkelas.Bahkan sering Mama membanggakan Tiara di depan teman-temannya. Aku mendengarnya saat lewat di jalan menuju halte.Aku bangun lebih awal dari biasanya agar bisa mandi lebih awal, karena kalau Tiara sudah masuk kamar mandi, bisa sampai setengah jam dia sana. Entah luluran, maskeran, atau apa pun itu perawatannya. Katanya harus tampil cantik dan jangan malu-maluin.Jangan malu-maluin seperti penampilanku.Hari demi hari berganti bulan. Tiara menerima gaji pertama dari perusahaan tempat ia bekerja.Gadis itu selalu histeris, sejak di luar pagar ia sudah berteriak memanggil Mama
Salsa 6.Malam ini Ayah pulang lebih awal sehingga kami bisa makan malam bersama. Jarang-jarang kami bisa makan bersama di malam hari seperti ini, karena ayah hampir selalu pulang malam hari.Ia kini bekerja di sebuah pabrik pengolahan coklat. Biasanya kerja dari pagi sampai malam, paling cepat pulang sore.Menu makan malam ini adalah ayam goreng dan sayur sop. Kami semua makan dengan lahap, tak terkecuali Tiara yang sudah menghabiskan dua paha ayam di piringnya. Nasinya memang sedikit, tapi dia boros lauk, yang kadang aku sampai tak kebagian. Entah karena sengaja atau memang dia rakus.Aku melihat satu sayap ayam tersisa di piring, aku ingin mengambilnya karena lebih suka bagian ayam yang ada tulang-tulangnya. Namun, dengan gerak cepat tiba-tiba Tiara mengambil sisa sayap di piring itu dan meletakkannya di piring sendiri.Ayah yang melihat itu seketika menatap Tiara dengan menggeleng tak suka. Kemudian ia mengambil sayap ayam itu dan mencoba membelahnya menjadi dua.Aku menggeleng,