POV RANI
Malam ini seperti biasa kami berkumpul di ruang tamu. Hujan sedari siang tadi masih belum berhenti. Justru semakin deras. Sudah pukul delapan malam Yudha belum juga pulang. Begitupun dengan Dita. Ponsel mereka tidak aktif sama sekali. Kemana mereka pergi.
Ting … nong ….!
Terdengar suara bel berbunyi. Segera ART kami berlari membukakan pintu. Mungkin Yudha dan Dita.
"Assalamualaikum!" ucap Dita.
"Walaikumsalam!" jawab kami serempak. Segera adik Iparku itu berjalan menghampiri kami.
"Baru pulang?" tanyaku.
"Ya, Mbak. Tadi aku mampir dulu di restoran makan. Hujannya bikin male
Pov Rani"Bang aku kok gak bisa tidur ya? Kepikiran nasib Vina," lirihku karena mataku masih terjaga. Bang Roel langsung mengusap rambutku dengan lembut dan mencium pucuk kepalaku."Iya. Abang juga kasihan. Doakan saja yang terbaik. Apa kita coba tengok ke kampung halamannya?""Ide bagus tuh, Bang. Tapi anak-anak kasihan kalau harus dibawa pergi jauh. Pasti mereka kecapekan, Bang," ujarku."Iya juga sih. Besok Abang bicarakan dengan Yudha," ujarnya."Dia lagi malam pertama pasti, Bang.""Abang juga mau malam pertama kita diulang. Boleh?" ijinnya sembari menatap dalam mataku.
Sampai di cafe terdekat, aku langsung mengambil meja paling pojok. Setelah itu pelayan datang menghampiri. Langsung aku pun memesan makanan. "Afi mau pesan apa?""Nasi goreng daging dengan telur ceplok setengah matang, Ma. Sama pesan lemon tea," ucapnya."Mbak pesan itu aja dua. Sedang ya jangan terlalu pedas," ujarku pada Pelayan. Mbak Pelayan itu pun mengangguk dan segera beranjak.Sungguh, dalam keadaan seperti ini, aku kembali teringat dengan Mas Reno. Aku kira hatiku sudah mampu menerima Yudha seutuhnya, tapi ternyata tidak. Laki-laku itu sama sekali belum sepenuhnya memenangkan hatiku. Dan yah, mungkin aku menikahinya karena atas dasar rasa kasihan melihat perjuangannya. Atau aku mau menikah dengannya karena Afi? Afi menganggap Yudha Ayahnya.
POV YUDHASampai di kamar, aku coba untuk kembali menghubungi Cintia. Tak menyerah! Sampai teleponku mendapat jawaban aku terus berusaha menghubunginya."Halo." Tiba-tiba terdengar suara seraknya. Sepertinya dia baru bangun tidur."Halo, kamu dimana? Kenapa bikin aku khawatir?" tanyaku dengan nada suara terdengar panik."Maaf, Mas. Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku ada di hotel bersama Afi," jawab Cintia."Hotel mana? Aku jemput yah sekarang. Aku udah dapat rumahnya. Kita pindah. Aku bukan lagi kontrak rumah, tapi aku beli rumah untuk kamu. Untuk kita. Rumah yang sudah lengkap dengan isinya. Pasti kamu suka. Maafin aku ya kemarin sempat marah sama kam
DIBUAT BANGKRUT ISTRILangkahku membawa Vina-perempuan yang telah resmi menjadi istriku hari ini, seperti membuat Rani-Istriku tidak menyukai kehadirannya. Wajah yang semula berseri penuh kehangatan, tetiba berubah menjadi wajah yang tak bersahabat saat aku datang dan memberi tahu padanya, kalau aku telah menikahinya."Ran, Vina perempuan yang baik. Aku mencintai dia. Lebih baik aku menikahinya daripada harus berzinah bukan?" lirihku membuka suara. Sedang Rani masih terdiam. Bahkan dia seakan membuang muka tak ingin menatap kami.Kali ini, ucapanku berhasil menarik perhatiannya. Terbukti saat Rani Kembali memalingkan wajah menatap ke arah kami. Sedangkan Vina masih terdiam."Kamu bilang, Vina perempuan yang baik? Kalau dia perempuan baik, tidak mungkin mau menyakiti hati perempuan lain dengan mau menikah denganmu, Mas!""Sehar
"Mas, kamu nggak punya pembantu?" tanya Vina. Aku melirik ke arahnya."Pembantu buat apa?""Ya, pembantu! Buat masak, nyuci baju, beres-beres rumah.""Kan ada kamu. Ada Rani juga. Ngapain pake pembantu?" Buang-buang uang saja pake pembantu segala rupa."Ih, kok gitu? Enak saja! Idih, masa aku nikah sama bos yang punya toko jadi pembantu. Ogah, Mas! Oooggahhh!" pekiknya terdengar nyaring di telinga."Katanya cinta? Kalau cinta harus terima dong!" sungutku. Entah, aku jadi merasa sedikit kesal karena ulah Rani tadi."Cinta sih cinta, Mas! Tapi nggak begini juga kali!" protesnya. "Pokoknya hari ini juga, harus ada pembantu, Mas. Aku nggak mau ya kalau cuci baju send
"Ran, mana kunci mobilnya. Aku mau ajak Vina pulang. Kasihan ini pingsan.""Heleh, enak saja kamu ngomong. Tidak bisa! Kalau mau mobil, beli saja sendiri. Tapi ingat, belinya pakai uang hasil kalian berdua!" ucap Rani.Halah! Mau pakai mobil saja banyak cingcong ini perempuan. Lihat saja nanti di rumah."Kohar!!!!!" teriakku."Iya, Pak." Kohar langsung berlari menghampiri."Kamu ikut saya pulang. Jaga Vina! Pegangi Vina, kita naik motor bertiga," suruhku. Malu sekali rasanya. Tapi mau bagaimana lagi."Kita bonceng bertiga, Pak? Nanti kalau ada polisi kita ditilang bagaimana, Pak?" tanyanya. Iya juga si. Benar juga ucapan Kohar.
POV VinaSelama di danau Mas Anton terus melamun. Entah, mungkin dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Kasihan juga melihatnya seperti ini. Tapi bagaimana lagi? Aku juga sedikit kesal dan kecewa. Mau tidak mau harus tetap kujalani karena sudah menjadi pilihan. Rasanya menjadi aku kali ini itu, nano-nano. Tapi lebih banyak kesalnya. Bagaimana tidak seperti itu? Aku berharap hidup enak menikahi bosku. Malah jadi seperti ini. Siapa sangka juga Rani yang lembut bisa berubah seperti singa yang garang hendak menerkam.Sekarang begini, normal bukan aku mencintai bosku? Mas Anton tampan! Kaya! Dia juga perhatian. Jadi wajar aku menaruh hati padanya. Mana aku tahu kalau ternyata tidak bisa menyimpan perasaan cintaku padanya. Justru setelah dia membalas perhatianku, aku mulai agresif. Aku juga yang mulai mengirim pesan untuknya. Sekedar say hello. Hubungan itu berlanjut setel
POV Rani(KUBUAT PELAKOR MENDERITA)Tega sekali Mas Anton berkata aku mandul. Normal bukan, sebagai perempuan aku merasa sedih dimaki mandul? Memang sudah 4 tahun aku menikah dengan Mas Anton dan belum memiliki keturunan. Tapi bukan berarti aku mandul. Banyak kok di luar sana yang bahkan sudah sepuluh tahun menikah belum dikaruniai anak. Tapi suaminya setia. Memberi semangat pada istrinya. Bukan menikah lagi. Memang tidak ada larangan suami menikah lagi asal mampu berbuat adil. Namun, tidak semua perempuan juga, mau menerima pernikahan kedua suaminya. Hanya perempuan pilihan yang memiliki kelebihan rasa sabar sehingga mampu menerima dengan ikhlas jika suaminya menikah lagi. Bukan perempuan seperti aku yang tidak mau berbagi. Iya, aku tidak mau. Bahkan membayangkan suami mendua pun aku tak mampu. Tapi takdir berkata lain, aku yang sangat menentang, tapi memilikinya.