Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l
“Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s
“Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar
Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Ya ampuun, Ayu … tujuh tahun berlalu, penampilan kamu masih kayak gini saja! Masih saja norak tahu gak sih?” pekik seseorang ketika aku baru saja duduk di meja yang sedikit ujung. Dia memindai penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mendadak perasaanku menjadi tak nyaman. Aku sadar, penampilanku memang tak semewah mereka. Hanya mengenakan kerudung segi empat warna krem yang dipadu padankan dengan tunik bermotif kotak dan celana pensil warna hitam. Alas kakiku hanya menggunakan sandal seharga enam puluh ribuan. “Hush, Dew! Kamu kayak yang gak inget saja siapa, Ayu! Sudah, ih! Kasihan dia!” Mirna---ceesnya Dewi kudengar menimpali. Mirna baru saja menghampiri Dewi bareng Salsa.“Ah iya, lupa. Cuma anak tukang nasi uduk saja belagu! Cuma males saja kalau inget dia yang sok kecakepan kayak dulu! Harusnya sadar diri! Kalau emang beda level, jangan sok kecentilan! Aku ini aktris menuju papan atas, bahkan sudah dapatkan peran juga dalam novel terbaru karya Peri Aksara yang sedang
“Hati-hati jangan sampai jatuh! Tar bisa-bisa kamu harus jual diri buat gantiin kalau rusak!” tukas Dewi dengan gaya jumawanya. Aku hanya tersenyum miris. Memang benar aku tak punya. Pekerjaan sekarang pun hanya seorang guru TK. Namun, andai saja Dewi tahu salah satu alasan kenapa aku diwajibkan datang oleh Pak Faqih. Ada hal yang pastinya nanti akan membuat mereka tercengang dan menyesal sudah begitu mencibir dan merendahkanku. Akhirnya foto berhasil kuambil dengan segenap kehati-hatian. Kuserahkan gawai mahal milik Dewi lagi pada pemiliknya. Maklum, namanya juga artis. Semua harus serba mahal pastinya demi menunjang penampilan. “Sini lihat! Duh kok miring-miring gini sih, Yu! Yang ini lagi … wajah akunya malah keambil separuh!” Dewi menekuk wajah ketika melihat gambar di dalam HP. “Duh, maaf, Dew! Gak biasa pegang HP mahal soalnya! Bingung tadi ngarahinnya!” Aku menjawab santai, padahal sengaja tadi yang kuambil gambarnya banyak itu Selvi dan Marwah. “Kita ulangi lagi, yuk, Vi,