Share

ANTARA ALFIN DAN FAREL

Sepanjang perjalanan, benak ini selalu teringat perkataan Farel. Apa benar selama ini ia mencariku? Apa keputusan Ayah dan Bunda mengajakku pindah secara tidak langsung menjauhkanku dari Farel? Namun, kalau saat itu kami tidak pindah, mungkin kak Alvin akan datang sesuai ucapannya yang juga mencariku untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Laju mobil kak Alvin melambat, aku melihat dari balik pintu banyak pengendara lalu lalang ke tengah jalan raya.

"Sepertinya habis terjadi kecelakaan," ucap kak Alvin.

"Hati-hati, Vin. Banyak orang melintas"

"Iya, Bun."

Dengan sangat pelan kak Alvin terus melajukan mobilnya. Setelah agak menjauh dari tempat kejadian, Ia pun berkendara dengan kecepatan normal lagi.

Selang beberapa menit, kami pun sampai di rumah kak Alvin. Rumah yang begitu besar, berlantai dua, dengan gaya eropa, seperti istana di negri dongeng.

Kak Alvin mengajak aku dan Bunda masuk. Di ruang tamu, sudah ada pak Ustadz Iman dan Ustadz Danu beserta istri mereka

"Assalamu'alaikum," sapa kami.

"Wa'alaikumsalam," sahut mereka berbarengan.

"Pasangan Ta'aruf kita sudang datang," ucap ustadz Danu.

Aku hanya tersenyum.

Waktu yang sudah menunjukan pukul 8.30 malam, membuat kami tidak membuang waktu. Acara makan malam pun dilanjut. Kak Alvin mengajak kami menuju meja makan.

Sesampainya di sana, aku terkejut. Ada tumpeng nasi kuning besar tersaji, lengkap dengan aneka makanan lainnya.

"Wah, ada apa ini, Vin?" tanya ustdaz Iman.

"Hari ini, hari kelahiran Zahra, Pak," jawab kak Alvin.

Aku menatap Bunda, bertanya melalui mata. Apa bunda yang memberi tahu kak Alvin? Seakan mengerti dengan arti tatapanku, Bunda mengangkat kedua bahunya sambil menggeleng.

"So sweet banget sih Alvin, tadi yang menjemput kami, supirnya perempuan. Lina kan namanya? Katanya ia yang bakal menjadi supir pribadi, Zahra," istri ustadz Iman tersenyum ke arahku. Aku hanya tersipu.

"Belum jadi suami, aja. Perhatiannya luarbiasa. Ane salut ama ente, Vin." Ustadz Iman menimpali.

"Ustadz kan pernah bilang, sebaik-baiknya akhlak seorang mukmin ialah yang baik terhadap istrinya."

"Masya Allah, enggak sia-sia ente belajar ngaji selama 4 tahun, nyerap juga tuh ilmu."

Semua yang disana terkekeh.

"Alvin, tahu darimana ini hari jadi Zahra?" tanya Bunda di tengah menikmati makan malam yang tersaji.

"Waktu ngurus buku nikah, aku melihat tanggal lahir Zahra, Bun. Di KTP," jawab kak Alvin.

"Lihat tanggal lahir atau lihat foto Zahra?" goda istri ustadz Iman.

Sekali lagi aku tersipu, pasti kak Alvin juga merasa malu saat ini. Tergambar dari gelagat tubuhnya yang kian canggung.

Makan malam selesai, kami berniat melanjutkan ngobrol di ruang tamu.

"Zahra!" kak Alvin menghentikan langkahku.

Sementara semua sudah keluar, hanya ada aku, kak Alvin dan 2 orang pelayan yang sedang membereskan meja.

"Iya," lirihku.

"Ini, untuk kamu," ucap kak Alvin memberikan sebuah bingkisan kepadaku.

"Terimakasih," tangan ini menyambutnya.Pandangan masih tidak saling bertemu. Namun, aku melihat ada perban kecil membalut jarinya.

Aku pun menyusul Bunda ke ruang tamu. Tidak enak dengan yang mereka pikirkan. Belum menikah sudah berduaan.

"Nah, itu mereka!" seru Bunda menyambut kami.

Aku pun duduk disamping Bunda, sementara kak Alvin yang tadinya berada dibelakangku, langsung duduk di sofa yang terpisah.

"Lusa Zahra sudah halal, Vin. Kamu bisa ngajak dia ngobrol berdua sepuasnya. Sekarang, ditahan dulu," goda Ustadz Danu.

"Iya pak Ustadz," lirihnya

"Udah, Bi. Jangan godain Alvin lagi. Abi juga dulu waktu ta'aruf sama Umi, selalu ngajak santri lain untuk ketemuan sama Umi."

"Yah, Umi kok buka kartu sih."

Kami pun terkekeh mendengar candaan ustadz Danu bersama sang istri.

Sungguh indah cara Allah menyatukan umatnya, yang awalnya tidak saling mengenal, dengan jalan ta'aruf menjadikan kisah cinta lebih berwarna. Semoga aku bisa terus berpegang teguh akan niat hati yang ingin memperbaiki diri. Semoga cinta Farel yang kembali datang tidak meruntuhkan cintaku akan jalan takdirNYA.

Lama kami mengobrol santai, malam yang semakin larut menjadi pemisah. Semua Ustadz pulang diantar Lina, supir pribadi yang kak Alvin siapkan untukku. Sementara aku dan Bunda, kembali diantar kak Alvin.

Menaiki mobil mewah miliknya, kami bertiga di hadapkan kembali pada suasana penuh kebisuan ini.

"Alvin, Zahra. Didalam tubuh manusia ada organ yang disebut Hati. Apabila hati itu buruk, maka buruk pula akhlaknya. Namun, sebaliknya. Bila hati kita baik, maka baik pula Akhlaknya. Bunda yakin, kalian sama-sama sedang belajar memperbaiki hati yang sempat hancur di masa lalu. Dengan terus berjalan di jalan Allah. Kalian pasti akan menjadi keluarga yang sakinah."

"Amiin," lirihku dan kak Alvin berbarengan menjawab doa Bunda.

Perjalanan terasa lebih cepat karena sudah tidak ada kemacetan seperti saat kami berangkat tadi. Hari yang sudah malam membuat kak Alvin langsung pamit begitu sampai di rumahku, ia tidak mampir. Tidak mau mengundang fitnah dari para tetangga.

Seperginya kak Alvin, aku langsung masuk ke dalam kamar. Kubuka bingkisan hadiah yang kak Alvin beri untukku.

Kaligrafi berlafaz "Assalamu'alaikum" terukir indah. Terbuat dari kulit kerang yang dihancurkan, susunanya sungguh rapi. Mata ini terus menyelusuri keindahannya, hingga terhenti di sudut huruf "Mim" . Ada noda darah di sana, apa mungkin perban kecil yang melingkar dijari kak Alvin, karena tertusuk serpihan kulit kerang? Saat ia membuat kaligrafi ini.

"Kak Alvin," gumamku.

Kuletakan Kaligrafi di atas meja, lalu aku membuka surat yang ada di dalam bingkisan.

"Assalamu'alaikum, Zahra. Bidadari calon penghuni hatiku. Semoga semakin bertambahnya usiamu, Allah selalu melimpahkan kebahagiaan dan keberkahan disetiap ayunan langkahmu. Amiin."

Apa yang akan terjadi lusa?

Farel telah mengingatkanku akan ayat-ayat cinta yang dulu kami rangkai bersama dalam sebuah kitab. Sementara kak Alvin, ia mengajakku terus bertasbih dalam naungan cinta Illahi Robbi.

Hamba ikhlas ya Allah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status