Share

Gosip Murahan

Sabrina digosipkan tengah dekat dengan guru mengaji padahal sedang dalam masa pinangan Pak Muklis. Kabar itu berembus cepat, menyebar dari satu mulut ke mulut lain, lalu dibumbui dengan cerita tambahan yang makin melantur.

Dirinya bukan tak tahu. Telinganya sudah mulai panas karena dibicarakan tetangga saat bertemu di tukang sayur langganan. Ada yang terang-terangan menyindir, ada juga yang pura-pura tidak tahu padahal selalu update berita terbaru.

Gosip itu berawal dari kedatangan Adam di suatu sore selepas mengajar TPA. Sabrina yang sedang mengepel teras terkejut karena Alifa diantar oleh gurunya lagi. Padahal Sabrina sudah berniat akan menjemput anaknya itu setelah pekerjaannya selesai.

"Terima kasih, Ustadz, sudah repot-repot mengantar anak saya," katanya basa-basi.

Sabrina sungkan, takut dikira macam-macam oleh tetangga. Begitulah nasib seorang janda. Banyak mata yang mengawasi, terutama jika ada yang tak suka kepadanya. Miskah salah satunya.

"Tidak apa-apa, Bu. Sebenarnya saya ke sini karena memang ada perlu."

Wanita berkulit putih itu mengaduh dalam hati. Menerima tamu laki-laki pasti akan membuatnya jadi bahan omongan lagi. Untuk menghindari fitnah, Sabrina mengeluarkan kursi plastik yang biasa dia pakai untuk menjahit. Dipersilakannya laki-laki berbaju koko biru itu untuk duduk di teras.

"Ada perlu apa, ya?"

"Begini, Bu. Saya berencana ingin membuatkan seragam untuk anak-anak TPA. Ya, supaya lebih kelihatan kompak dan mereka makin semangat mengajinya. Selain itu, sering ada lomba keislaman antar TPA sekabupaten. Kalau punya seragam, kan, enak."

Sabrina manggut-manggut mendengar penjelasan Adam. Barangkali dia juga kasihan kepada anak-anak seperti Alifa yang bajunya itu-itu saja sedangkan teman lainnya punya baju banyak dan bagus-bagus.

"Apa yang bisa saya bantu, Ustadz?"

"Saya sering dengar anak-anak perempuan memuji kerudung yang dipakai Alifa, katanya bagus. Alifa bilang, itu buatan ibunya. Nah, maksud kedatangan saya ke sini untuk meminta Ibu Sabrina menjahit baju seragam anak-anak. Apakah bisa, Bu?"

Sabrina seperti mendapat durian runtuh. Keuangannya memang sudah menipis. Uang hasil menjahit baju Bu Sinta sudah dipakai untuk membayar utang di tukang sayur serta membeli bensin untuk menghadiri undangan Pak Muklis. Sisanya dipakai sehemat mungkin untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Sebenarnya dia sudah diterima sebagai mitra driver ojek online. Sudah diatur pula rencana, Alifa akan diajak ikut mengojek selama beberapa hari sampai dia bisa mengumpulkan cukup uang untuk menitipkan anaknya di daycare. Namun, ternyata Allah punya rencana yang lebih indah.

"Saya mau, Ustadz. Mau banget! Kira-kira kapan bisa dimulai?" jawab Sabrina bersemangat. Senyum semringah menghiasi wajahnya yang terlihat lelah sore itu.

"Makin cepat makin baik, Bu. Kalau mau, besok silakan datang ke TPA untuk mengukur anak-anak. Ibu total berapa kebutuhan kainnya, nanti saya kasih DP untuk membeli bahan. Ibu bisa beli kainnya sendiri? Saya kurang paham masalah begituan."

"Bisa, bisa. Tapi, eng ... Saya agak repot kalau ngajak Alifa," jawabnya jujur. Dia perlu ke pusat perbelanjaan kain yang jaraknya cukup jauh dari rumah, survei beberapa penjual untuk memilih harga termurah, kemudian membawa berrol-rol kain untuk dibawa pulang.

"Begini saja. Selama Ibu belanja, Alifa bisa dititipkan ke rumah saya. Saya di bengkel, sih, biasanya. Di rumah ada ibu dan ART saya. Alifa bisa diasuh sama dia untuk sementara."

Kesepakatan pun terjadi antara mereka. Tidak ada jabat tangan sebagai tanda jadi. Adam menyatukan kedua tangan di depan dada lalu pamit pulang karena waktu sudah menjelang Magrib. Sabrina menilai, Adam adalah sosok yang sopan. Selama berbincang pun, kepalanya lebih sering tertunduk, tidak seperti bapak-bapak kompleks yang jelalatan setiap kali melihatnya.

Sejak saat itulah, entah siapa yang memulai, gosip antara Sabrina dan Adam mulai menyebar di kalangan ibu-ibu kompleks. Gosip itu makin menjadi tatkala Sabrina datang ke TPA untuk mengukur baju anak-anak.

Murid yang diajar Adam berjumlah 25 anak. Cukup banyak untuk ditangani sendirian. Saat ada anak yang bacaannya sedang dikoreksi olehnya, anak lain malah asyik bercanda. Karena itulah Sabrina berinisiatif membantu untuk hari itu saja.

Mereka membagi murid menjadi dua grup. Grup pertama bergantian membaca iqro sambil menyalin catatan di buku tulis. Murid di grup kedua bergantian diukur bajunya sambil menyetor hafalan. Anak lain akan sibuk murojaah agar tidak lupa saat dipanggil ke depan.

Ya, hanya itu yang mereka lakukan. Namun, hal itu sudah sangat cukup dijadikan bahan awal gunjingan. Ada yang menganggap dia janda tak tahu malu karena mendekati perjaka. Ada yang mengira dia kesepian setelah ditinggal mati suaminya. Bahkan yang lebih parah, Sabrina dibilang sengaja memanfaatkan Alifa agar bisa berpacaran dengan guru mengajinya.

Sabrina ingin sekali mencari tahu biang gosip tersebut. Siapa yang mula-mula menyalakan korek dan menyulutnya ke tumpukan daun kering sehingga menimbulkan kobaran api yang kian lama kian membesar. Jika dirunut lebih jauh, satu-satunya orang yang gemar membuat kabar miring tentangnya hanyalah Miskah. Akan tetapi, Sabrina tidak mau asal tuduh tanpa bukti.

Hari itu, seharusnya Sabrina pergi berbelanja kain dan Alifa dititipkan ke rumah Adam. Namun, melihat situasi yang berpotensi menimbulkan fitnah lebih besar lagi, Sabrina nekat membawa putri kecilnya pergi. Tak apa-apa kelelahan saat bekerja dibanding harus jadi bahan omongan tetangga.

Pagi-pagi sekali mereka sudah bersiap untuk berangkat. Berjalan kaki, mereka menuju jalan besar untuk mencegat angkutan umum. Baru sampai di belokan tak jauh dari rumah, Sabrina berpapasan dengan Miskah yang sedang menjinjing rantang.

"Eh, ada Ibu-ibu centil. Mau ke mana, Bu? Kok, enggak minta diantar sama berondongnya?"

Muka Sabrina merah padam dibuatnya. Jika tidak sedang bersama dengan Alifa, dia tidak akan menggubris saat dipanggil dengan sebutan apa pun. Masalahnya, panggilan Miskah tidak pantas didengar oleh anak kecil.

"Jaga omongan kamu! Saya tidak serendah itu."

"Aduh, Sab, masih aja ngeles. Warga juga udah pada tahu kali kelakuan kamu. Kalau kamu memang suka sama Mas Adam, tolak dulu, dong, lamaran Pak Muklis. Jangan maruk dua-duanya mau diambil!"

"Sudah saya bilang, saya enggak semurahan itu! Mau kamu apa, sih?"

"Mau saya jelas, jadi istrinya Pak Muklis. Dan itu enggak akan mungkin terjadi kalau kamu masih menggantung jawabannya. Gara-gara kamu, makanan yang saya anterin ke toko Pak Muklis malah ditolak sama dia!"

"Itu enggak ada hubungannya sama saya. Udah, ah, saya enggak ada waktu buat ngeladenin kamu. Ayo, Sayang, kita pergi. Tante Miskah rese kalau lagi laper."

Sabrina menggandeng Alifa dan mengajaknya berjalan cepat agar segera menjauh dari tetangganya itu. Alifa hanya diam dan menurut. Setelah cukup jauh, barulah gadis kecil itu bertanya,

"Ma, berondong itu apa?"

Gawat! Sabrina harus menjawab bagaimana?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
EstrianaTamsir
berondong itu makanan lif
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status