Adam turun dari motor dan mengambil bungkusan martabak yang tergantung di cantolan depan. Malam itu, Bu Ami bilang ingin menonton film sambil ngemil.Seporsi martabak manis dengan topping kacang, cokelat, keju, dan wijen itu ditaruh dalam piring buah. Permukaannya masih mengepulkan uap panas. Aromanya yang harum makin menggugah selera."Silakan menikmati martabaknya, Bunda Ratu," seloroh Adam ketika menyajikan makanan itu di meja.Bu Ami yang baru mulai memutar film hanya terkekeh mendengarnya."Kamu nggak ikutan nonton?" tanya Bu Ami begitu melihat Adam berdiri lagi. Bibirnya sedikit cemberut.Tadinya Adam ingin kembali ke kamar untuk mendesain pamflet, tetapi kemudian dia tidak tega membiarkan mamanya menonton sendirian. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sambil tetap menemani Bu Ami."Saya ambil laptop sebentar ya, Ma."Bu Ami mengangguk senang. Sebenarnya dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah baru. Selain lingkungannya lebih sepi, di rumah juga tidak ada pembantu yang bi
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi matahari di langit Tangerang sudah bersinar amat terang. Sabrina mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Sesekali, dia melambaikan tangan ke arah Alifa yang berada dalam barisan gerak jalan. Acara jalan sehat itu merupakan kegiatan tahunan yang rutin digelar oleh Pemda setempat untuk memperingati hari jadi kota mereka. Sekolah Alifa tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Namun, karena masih usia TK, orang tua murid diminta turut serta hadir. Selagi menunggu Alifa selesai parade, Sabrina melihat-lihat stand yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Ada satu stand yang sudah dia incar semenjak tiba di alun-alun kota tersebut. "Mas, yang ini harganya berapa, ya?" Sabrina menunjuk sebuah motor matic berwarna biru dan putih dengan bodi lebar.Itu adalah satu-satunya stand yang menjual motor second. Dilihat dari kondisi tampilan luar, motor yang dilirik Sabrina sepertinya masih sangat bagus. Sabrina merasa perlu membeli motor untuk ke
Sabrina menajamkan pendengaran agar segera tahu ketika sewaktu-waktu ada mobil berhenti di depan rumah. Perasaannya senang bercampur harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabrina akhirnya akan memiliki sepeda motor lagi. Memang bukan sepeda motor keluaran terbaru. Bukan pula yang harganya puluhan juta. Yang dia beli hanyalah motor bekas seharga 6,5 juta saja. Yang membuatnya istimewa, motor itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Bagi Sabrina yang sejak kecil akrab dengan kemiskinan, membeli motor tanpa mencicil adalah sebentuk pencapaian yang patut dirayakan. Adam yang membantunya mendapatkan motor tersebut. Setelah bertemu secara tidak sengaja di acara bazaar, mereka cukup intens berkomunikasi. Kebetulan dealer Adam memang melayani jual beli motor bekas sehingga dia bisa memilihkan yang kondisi mesinnya masih bagus dan harganya terjangkau. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sebuah mobil bak terbuka merapat di halaman rumah Pak Jaya. Sepeda motor berw
[2 tahun kemudian] "Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Hasanati binti Jaya Sentosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Begitu tenang dan lantang Adam mengucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" Para saksi menjawab serentak.Sabrina dan Adam mengembuskan napas lega. Doa-doa melangit, berbaur dengan tumpahan air mata haru dan suka cita.Kini, Adam dan Sabrina duduk bak raja dan ratu sehari di pelaminan. Mereka senantiasa menebar senyum kepada para tamu undangan yang turut berbahagia.Dahulu, hanya butuh waktu satu minggu bagi Adam untuk jatuh hati kepada Sabrina. Butuh tiga bulan untuk menyatakan niat baik dan berujung mendapat penolakan halus dari janda beranak satu tersebut. Namun, jalan hidup memang tidak dapat ditebak.Sempat hendak menikahi Sofia, takdir ternyata membawa acara akad mereka bubar sebelum mulai. Adam dan Bu Ami sampai harus pindah rumah karena malu dibicarakan tetangga terus-menerus.Namun, siapa sangka, ada hikma
"Kedatangan saya kemari karena diutus oleh Haji Muklis. Beliau bermaksud meminang Ibu Sabrina sebagai ... ehm, istri kedua," kata seorang laki-laki berperawakan kurus setelah memperkenalkan diri.Perempuan yang umurnya belum genap 26 tahun itu kaget bukan main. Baru saja masa iddahnya selesai, orang paling kaya di daerahnya tersebut sudah berani melamar. Konon, istrinya sudah sakit-sakitan dan tak sanggup melaksanakan kewajiban.Sabrina duduk dengan gelisah. Menolak pinangan pengusaha sembako tersebut tentu akan membuatnya dicap sebagai perempuan tak tahu diri. Pak Muklis dikenal sebagai sosok terpandang dan dermawan. Namun, menerimanya begitu saja juga bukanlah keputusan yang bijak. Dia masih sangat mencintai suaminya. Lagipula, dia juga memikirkan perasaan Bu Muklis."Sebelumnya terima kasih atas niatan baik tersebut. Hanya saja ...." Sabrina menggantung ucapannya."Haji Muklis bilang, tidak perlu dijawab sekarang. Saya bisa kembali ke sini tiga hari lagi," sahutnya sambil berdiri,
Sabrina sempat bertemu pandang dengan guru mengaji Alifa. Tidak lama, mungkin hanya sekitar dua detik. Dia mengangguk singkat pertanda hormat, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia orang baru di lingkungan tempat tersebut. Sabrina sempat melihat laki-laki itu melayat suaminya dan mengantar ke pemakaman. Meski demikian, dirinya belum mengenal atau sekadar mengetahui siapa namanya. "Alifa, Mama pulang dulu, ya. Ada yang harus Mama kerjakan di rumah. Nanti sebelum jam lima Mama jemput kamu." Putri kecilnya itu mengangguk, mencium tangannya, lalu berjalan cepat memasuki masjid. Tas karakter Hello Kitty-nya yang mulai lusuh bergerak-gerak ke kanan dan kiri, seirama dengan langkah kaki. Dalam perjalanan pulang, Sabrina beberapa kali berpapasan dengan driver ojek online. Ada yang membawa penumpang, mengantar makanan, juga mengirim barang. Tiba-tiba terbersit keinginan di hatinya untuk mendaftar sebagai ojek online juga. Di rumahnya ada sepeda motor nganggur yang bisa dipakai
Sebuah pesan masuk ke ponsel Sabrina."Bu, maaf nih. Kira-kira uang kontrakan bisa dibayar kapan?"Hati Sabrina rasanya seperti tercabik-cabik. Air matanya lolos begitu saja. Beruntung, Alifa sedang tidur siang sehingga dia tidak perlu sembunyi-sembunyi.Wanita itu melirik motor di sudut rumah. Kendaraan itu sudah berhari-hari tidak bisa dipakai karena kehabisan bensin. Itu adalah satu-satunya harta berharga peninggalan suaminya. Cicilannya pun belum lunas. Apakah bisa digadai?"Tolong beri waktu seminggu lagi, Bu."Belum sempat pesan itu terkirim, sebuah pesan dari nomor asing kembali masuk ke ponselnya. Sabrina menunda balasannya kemudian beralih membaca pesan itu."Bu, saya utusan Pak Muklis yang tempo hari ke rumah. Bagaimana, sudah dipikirkan jawabannya?"Benar-benar sebuah kebetulan yang menakutkan. Sabrina mengembuskan napasnya dengan berat. Haruskah dia menyerah dengan keadaan?"Maaf, Pak, boleh minta perpanjangan waktu? Saya perlu diskusi dengan orang tua," balasnya setengah
Bagi Sabrina, malam adalah waktu yang dingin lagi menyesakkan. Tiada lagi pelukan hangat sang suami yang senantiasa membisikkan kata-kata cinta. Malam menjelma menjadi gulita yang mengantarkan misteri demi misteri kepedihan esok hari.Setelah Alifa tidur, Sabrina beranjak ke ruang depan. Di sana teronggok sebuah mesin jahit tua. Ada banyak kain perca dalam bungkusan plastik di sebelahnya. Dahulu, Sabrina pernah mengikuti kursus menjahit dasar. Dia sengaja membeli mesin jahit bekas untuk memperbaiki baju suami dan anaknya.Karena sudah berjanji, Sabrina hendak begadang demi membuatkan baju untuk Alifa. Dia memilih beberapa lembaran perca polos ditambah sedikit perca motif bunga, lalu menjahitnya sesuai ukuran Alifa. Suara khas mesin jahit menderu-deru, mengisi keheningan malam. Setelah potong, tempel, dan jahit sana-sini, jadilah sebuah kerudung biru muda dengan hiasan motif bunga di bagian ujung dan tali, juga hiasan renda di lingkar wajahnya.Sabrina tersenyum. Dia membayangkan, eso