Sore harinya di kediaman Senja dan Genta, sebuah mobil mewah berhenti di depan perkarang rumah tersebut. Setelah memperlihatkan identitas si pengemudi, barulah gerbang yang menjulang tinggi itu dibuka, lalu mobil dipersilakan masuk.
Mentari yang duduk di taman depan rumah menemani kedua keponakannya bermain seketika menoleh. Mentari tidak asing dengan mobil yang baru saja berhenti di depan rumah kembarannya.
"Kak, lihat Adek sebenyar, ya, Mami ke sana dulu," ujar Mentari kepada Yosi.
Tanpa menunggu jawaban dari gadis itu, Mentari beranjak dan mendekati mobil tersebut. Kening Mentari semakin berkerut saat yang keluar dari mobil bukan orang yang ia maksud, melainkan seorang sopir.
"Loh, Pak? Ada apa?" tanya Mentari.
Pria paruh baya itu menoleh dan mengangguk sopan. "Tuan besar menyuruh saya untuk menjemput Nona. Nyonya besar sedang sakit, Non," jawabnya.
Jantung Mentari berdetak dengan kencang. "Sakit? Sakit apa? Kenapa Papa gak bilang ke saya sejak kemarin?"
Sang sopir hanya menggeleng pelan. Lalu pria itu mengeluarkan ponselnya yang berdering. Ada sebuah panggilan masuk dari orang yang baru saja mereka bahas.
"Halo, Tuan, sudah. Saya sudah bertemu Nona Mentari."
Mentari mengulurkan tangan meminta ponsel sang sopir. Dia ingin berbicara pada ayahnya.
"Halo, Pa? Mama sakit apa?"
"Sakit mag-nya kambuh, dan Mama mau ketemu kamu. Katanya kangen,"
"Astaga, Mama kebiasaan deh. Iya, aku balik sekarang."
"Papa udah belikan tiket balik, nanti pas di bandara Jakarta, udah ada sopir yang nungguin,"
Setelah mengatakan iya, Mentari memberikan kembali ponsel sang sopir. "Sebentar, ya, Pak, saya ambil koper dulu," katanya yang diangguki sang sopir.
Di dalam rumah, Mentari berpapasan dengan Senja dan Hasna. Wanita itu langsung memberi tahu tentang kepulangannya ke Jakarta sore ini. Senja dan Hasna jelas kaget, mereka sudah membicarakan tentang usulan makan malam dari Genta, ternyata Mentari malah harus pergi secepat ini.
Sekitar sepuluh menit mengemas barang-barangnya, Mentari memeluk Senja dengan sayang, lalu beralih pada Hasna.
"Balik ke sini lagi, ya, aku mau pas lahiran ada kamu," ujar Senja sedih.
Mentari tersenyum dan mengangguk berulang kali. "Pasti. Kamu tinggal telpon aku. Jakarta-Bali gak sejauh itu, Senja," kekehnya.
Senja tetap saja cemberut. Kali ini giliran Hasna. Wanita tua itu menatap Mentari dengan tatapan lembutnya seorang ibu. Tangannya mengusap tangan Mentari.
"Jaga diri baik-baik, ya, jangan telat makan dan jangan kekurangan istirahat. Paham?"
Mentari mengangguk kembali dengan senyum lebar di bibirnya. "Ibu juga jaga kesehatan. Mau nambah cucu loh, harus sehat dan kuat," godanya membuat Hasna berdecak, sedangkan Senja terkekeh.
Mentari benar-benar meninggalkan kediaman Senja dan Genta. Bahkan Yosi dan Yessi sudah menangis untuk menahan kepergian wanita itu. Tapi Senja dan Hasna menenangkannya. Mentari memang harus kembali. Orangtua angkatnya membutuhkannya.
Di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Mentari berjalan tergesa. Jadwal penerbangan yang mendadak seperti ini membuatnya sedikit menahan napas. Takut-takut ketinggalan pesawat.
Mentari tidak tahu, ada seorang pria yang baru saja ia lewati begitu cepat. Bian. Pria itu kembali, untuk menemui Mentari. Sayangnya, waktu tidak sedang mendukung mereka.
Keduanya berpapasan tapi tidak saling menyadari. Hingga Mentari menghilang jauh, Bian mengernyit bingung dan menoleh ke belakang. Jantung pria itu mendadak berdebar-debar.
"Feeling gue doang paling," gumamnya sambil kembali melangkah.
***
Bian menaiki taksi untuk tiba di kediaman Genta dan Senja. Pria itu langsung menuju sebuah kamar yang sebelumnya di tempati oleh Mentari. Membuka pintu dengan pelan, Bian mengintip sedikit. Keningnya berkerut samar saat melihat tidak ada si penghuni kamar tersebut.
"Loh? Mas Bian? Kapan sampai?" Nisa yang baru saja menuruni undakan tangga dengan Yessi di gendongannya bertanya bingung.
Bian menolah dan menggaruk pelipisnya. "Baru aja. Yang lain mana? Kok sepi?"
Nisa menunjuk halaman belakang dan Bian langsung paham kalau anggota keluarga yang lainnya pasti sedang berkumpul di sana. Dengan langkah lebar dan terasa sedikit ringan, Bian menuju halaman belakang meninggalkan Nisa yang menatap punggung pria itu dengan kebingungan.
"Bunaaa..."
Nisa terkekeh dan segera melangkah mengikuti jejak Bian menuju halaman belakang. Perempuan itu tadi mendengar suara tangisan Yessi dari kamarnya. Ternyata benar, bocah kecil itu bangun dari tidurnya dan menangis karena tidak menemukan siapa pun bersamanya.
"Adek masih ngantuk loh ini," ujar Nisa sambil menciumi pipi gembul Yessi.
Bocah itu hanya menggeleng dan mengucek matanya yang memang terlihat masih mengantuk. Belum sempat Nisa ikut bergabung dengan anggota keluarga yang lain, perempuan itu berpapasan dengan Bian yang tergesa meninggalkan halaman belakang.
"Mas Bian kenapa, Bu?" tanya Nisa pada Hasna yang duduk berselonjor di sebuah bangku panjang.
"Gak tahu, gila paling," jawab Hasna asal.
Senja mengusap lengan Hasna dan berkata dengan lembut untuk menenangkan ibu mertuanya. Hasna jelas masih sangat kesal kepada Bian tentang perbuatannya kepada Mentari. Wanita tua itu kecewa dan sedih secara bersamaan.
Dulu, Hasna sempat berharap kalau Bian bersatu dengan Mentari mengingat keduanya terlihat dekat. Namun, siapa sangka, Bian menolak perasaan Mentari. Hasna jelas tahu perkara itu, Senja yang menceritakannya karena keceplosan bicara.
Di depan rumah, Bian mengumpat berulang kali saat jadwal penerbangan ke Jakarta tidak ada lagi dalam waktu dekat. Bian jelas kesal dan panik. Dia ingin segera bertemu dengan Mentari dan menjelaskan apa yang memang seharusnya sejak awal dia jelaskan.
Bian ingin Mentari paham apa yang sebenarnya terjadi setelah malam itu sebelum wanita tersebut menghilang dengan janin di rahimnya.
"Sial."
Kalau saja Bian tahu Mentari akan kembali ke Jakarta lebih awal, mungkin dia tidak akan terbang ke sini. Bian sudah pasti akan menunggu saja di Jakarta sana.
Akhirnya dengan perasaan yang gundah-gulana, Bian memesan tiket untuk kembali ke Jakarta. Memang harusnya dia tidak gegabah. Bian harus menenangkan diri lebih dulu.
Besok, Bian akan menemui Mentari dan harus meluruskan apa yang bengkok sejak awal. Perlahan, Bian yakin, mereka pasti menemukan titik terang untuk kesalahpahaman ini.
Di Jakarta, Kania sedang tersenyum sambil menggeser-geser layar ponselnya. Rencananya berhasil. Kania akan segera mendapatkan Bian dengan kehamilannya ini.
"Kamu serius mau cerai?" tanya seseorang yang sejak tadi memperhatikan wanita itu.
Kania mengangguk dengan santai, "buat apa bertahan sama pria cacat kayak dia? Udah mandul, perusahaannya juga mau bangkrut. Aku gak mau hidup susah," ujarnya sambil bergidik ngeri.
"Tapi kamu lagi hamil, Kania. Bayimu butuh sosok ayah untuk ke depannya," jelas lawan bicara Kania.
"Ya, aku tahu. Aku juga akan menikah dengan ayah bayiku. Tenang saja."
"Bian?"
Kania tersenyum lebar. "Hm, siapa lagi kalau bukan dia?"
"Kamu bisa dituntut kalau sampai Bian tahu kebohonganmu ini," tegur wanita yang berprofesi sebagai dokter kandungan dan rekan kerja Kania.
"Dan aku gak boleh ketahuan. Kamu harus tutup mulut. Saat aku dan Bian kontrol Minggu depan, kamu harus mengatakan usia janinnya sesuai dengan apa yang aku katakan, agar Bian tidak curiga," balas Kania.
Ketika tiba di Jakarta, Bian mendapat telepon dari sekretarisnya, Daisy. Wanita itu berkata kalau klien yang ingin menjalin kerja sama dengan perusahaan mereka menginginkan bertemu besok di lokasi yang menjadi target proyek.Bian mengusap kasar wajahnya. Selalu saja ada hambatan jika ini menyangkut Mentari. Sepertinya Tuhan tidak ingin Bian bertemu dengan wanita itu dalam waktu dekat."Baik, siapkan keperlua
Bian menatap wajah lelap Mentari dengan pandangan lembut. Wanita itu sangat tenang dalam tidurnya. Wajahnya yang cantik tidak bisa ditutupi meski dihiasi kulit pucat."Maafin aku," Bian menggenggam tangan Mentari yang bebas dari jarum infus. Wanita itu memang sudah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP sesuai dengan yang Bian minta.Ponsel Bian berdering, membuat pria itu segera beranjak untuk mengangkat pangg
Pagi menjelang, Bian terbangun lebih dulu karena getaran sebuah benda di atas meja di sebelah ranjang pasien. Dengan sebelah lengan yang masih dijadikan bantal oleh kepala Mentari, Bian bergerak pelan untuk meraih ponselnya.Bian menggigit bibir saat Mentari sedikit bergerak karena mungkin merasakan gerakan tubuhnya. Setelah melihat wanita itu kembali tenang, Bian menatap layar ponsel miliknya."Sial," decak
Mentari mengernyit bingung ketika pintu ruang inapnya terbuka dan yang kembali hanya ayahnya saja. Bian tidak ada bersama pria itu. "Bian mana, Pa?" Ikhsan tersenyum pada Mentari lalu berjalan ke arah sofa. Pria itu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab pertanyaan putrinya.
"Bu, tenang," Genta mengusap punggung Hasna sambil tersenyum lembut."Gimana Ibu bisa tenang kalau adikmu itu mendadak gini nyuruh ke Jakarta. Bawa-bawa orangtua Mentari pula. Bikin masalah apa lagi dia, Genta... Ya, Tuhan," keluh Hasna.Genta menghela napas. Ibunya tidak pernah berpikir positif lagi kepada Bian sejak adiknya itu melukai wanita yang disayangi ibu mereka seperti putrinya sendiri.
"Bian,"Lucas mengangguk dan tersenyum menatap Bian yang menyebutkan namanya sebagai perkenalan mereka. Keduanya lama bertatapan. Bian mengernyit, tatapan Lucas padanya mempunyai makna lain.Apa..."Saya sedikit minder jika ini calon suami Mentari," celetuk Lucas tiba-tiba.Kedua orangtua Mentari tertawa pelan mendengarnya. "Jodoh gak bisa diatur, Luc, kalau dulu kamu tidak mempunyai istri, mungkin bisa jadi Mentari istrimu sekarang," balas Ikhsan.Bian berdeham pelan membuat Ikhsa menyuruh mereka untuk duduk dan berbincang bersama. Perasaan Bian mendadak tidak tenang. Bagaimana bisa calon mertuanya mempunyai hubungan bisnis sedekat ini dengan Lucas? Apa Kania juga pernah datang kemari?"Kapan kamu bakal bawa istrimu ke sini, Luc? Ini sudah lama sekali. Kami juga penasaran sama nyonya Lucas," ujar ibu Mentari.Bian tidak berhenti menatap setiap pergerakan Lucas. Pria itu sedikit mencurigai maksud kedatangan Lucas ke sini.
Mentari menghela napas lega saat semua barang-barangnya sudah tersusun rapi di dalam lemari. Semenjak pergi setahun yang lalu, Mentari memang mengosongkan unit apartemennya. Kadang yang datang untuk membersihkan adalah ibunya. Dan ini cukup bersih tanpa debu. Apalagi kamarnya, wanginya tetap sama. Seperti tidak pernah Mentari tinggalkan."Aku beli makan dulu, ya," Bian menghampiri Mentari dan mengecup puncak kepala wanita itu."Deliveryaja," saran Mentari."Ada yang mau aku beli juga, cuma sebentar," Bian tersenyum.Mentari mengangguk saja mengiyakan. Wanita itu akan membersihkan diri dulu karena merasa gerah dan berkeringat.Bian sudah berlalu meninggalkan unit apartemen Mentari. Pria itu merogoh saku celananya dan menghubungi seseorang."Bagaimana?""Kami kehilangan jejak Lucas, Pak. Tapi bapak tidak usah khawatir, kami akan segera menemukannya,""Oke, kabari saya kalau terjadi apa-apa," Bian menutup s
Mentari sudah diperiksa oleh seorang dokter. Kini wanita itu tengah terlelap. Wajahnya pucat dan matanya sembab. Bian yang sejak tadi tidak henti menatapnya menghela napas.Satu kesialan sudah ia lenyapkan. Kini tinggal satu lagi. Kania."Bi,"Ikhsan menepuk pelan pundak calon menantunya. Bian menoleh dengan pandangan bertanya."Saya butuh bicara berdua sama kamu," kata Ikhsan.Bian beranjak dan mengikuti langkah Ikhsan yang lebih dulu keluar dari ruang rawat Mentari. Tunangannya itu ditemani oleh ibunya. Bahkan beberapa kali Bian menangkap ibu Mentari tengah mengusap air matanya.Bian gagal menjaga Mentari."Apa yang terjadi?"Bian mendudukkan diri di kursi tunggu, sedangkan Ikhsan memilih berdiri sambil menyandarkan punggungnya di dinding."Saya benar-benar minta maaf, Om, saya tidak becus menjaga Mentari, saya...""Saya tidak butuh maaf kamu, Bian. Saya tanya, apa yang terjadi?"Bian menelan air ludahnya