Enam bulan berlalu.
"Ya... Ya..."
Mentari menunduk dan tersenyum. Seorang bayi gembul berusia 5 bulan sedang menatap pada seorang pria dengan mata bulatnya yang jernih.
"Dadah Ayah..." Mentari melambaikan tangan si bocah pada pria di depan mereka.
"Bi," Bian menatap Mentari dengan pandangan bertanya. Pria itu mengusap pipi istrinya dengan lembut. Posisi mereka saat ini sama-sama berbaring menyamping. Menatap kebahagiaan dari wajah masing-masing. "Udah enam bulan. Aku udah sembuh. Kamu..." Bian tersenyum lembut dan mendekatkan wajahnya untuk bisa menyentuh ujung hidung Mentari dengan ujung
"Good morning,My Sunshine," Bian memberikan kecupan-kecupan ringan di pipi Mentari yang baru saja membuka mata. Mentari tersenyum secerah sinar matahari pagi ini. "Nyenyak banget," gumamnya dengan perasaan bahagia. Ini tidur pertama yang sangat Mentari nikmati setelah enam bulan menikah dengan Bian. Mentari merasa benar-benar menjadi wanita utuh kali ini. Bian sudah menanam sahamnya dan itu membuat Mentari bisa bernapas lega.
Mentari melamun, tatapannya lurus ke hamparan ombak laut di depan sana. Entah sudah berapa lama wanita itu duduk diam menikmati angina yang menerpa tubuhnya. Mentari hanya menikmati apa yang dia rasakan saat ini. Tenang, damai dan menyedihkan.Mentari menatap beberapa orang yang bermain di tepi pantai. Semuanya tampak senang dan tertawa lepas. Semuanya tampak menikmati waktu yang terus bergulir tanpa memikirkan senja yang sebentar lagi tiba. Mentari iri. Mentari juga ingin seperti mereka. Bersama, tertawa, saling menggoda dan tentunya saling melindungi.Helaan napas yang terasa berat, bisa menjadi tanda betapa Mentari tersiksa. Hanya saja, wanita itu pintar menyembunyikannya. Mentari lebih suka bersedih sendiri. Untuk apa mengatakan perasaannya pada orang yang bahkan belum tentu mau mengerti apa yang ia rasakan.Tatapan mata Mentari menyisir area pantai. Kenangan itu, kenapa begitu menyakitkan? Cinta memang tidak ada yang abadi. Kecuali cinta Sang Pencipta kepad
Langkah kaki Mentari terasa begitu berat memasuki rumah besar dan mewah yang dulu ia tinggalkan. Banyak kisah di sini. Banyak kenangan juga. Dan, sumber luka Mentari juga berasal dari sini. Tidak ada yang berubah secara signifikan. Semuanya masih sama. Terawat."Mami!"Mentari menoleh cepat. Matanya menatap gadis yang semalam menyadarkannya betapa pentingnya arti sebuah keluarga. Mentari juga menyadari betap
Mentari duduk bersandar di kepala ranjang. Kakinya ia tekuk dan ia peluk. Ketukan di pintu kamarnya membuat Mentari menenggelamkan kepala di antara lututnya. Dia tidak ingin bertemu dengan Bian untuk saat ini. Lagipula, kenapa Bian ada di sini? Senja bilang pria itu masih ada pekerjaan di Malaysia dan akan kembali Minggu depan."Apa aku pergi sekarang aja?" Mentari menggumam pelan.Rencananya memang akan tetap tinggal di sini selama Bian belum kembali. Lalu nanti, Mentari akan mencari rumah untuknya sendiri, at
Bian membeku mendengar ucapan Mentari. Tidak. Wanita itu pasti membual. Mentari tidak mungkin..."Aku membunuhnya. A-aku..." Mentari tidak dapat melanjutkan kata-katanya ketika dia ingat bahwa dulu, dia pernah melakukan kesalahan sehingga janin kecil tak berdosa itu pergi."Kamu... Bohong," Bian tidak percaya."Di mana anak itu, Mentari?! Di mana an
Usai makan malam, yang mana masih saja memberikan bekas goresan luka di hati Mentari, wanita itu tetap terlihat baik-baik saja di depan Bian. Bahkan, ketika Bian bilang ingin mampir sebentar ke apartemennya untuk mengecek beberapa pekerjaannya sebelum besok ada rapat penting dengan dewan direksi luar negeri, Mentari menurut saja.Keduanya masuk ke unit apartemen mewah milik Bian. Bian berlalu ke dalam kamar dan keluar setelah tiga puluh menit berakhir. Pria itu berjalan ke arah ruang tamu di mana tadi ia meninggalkan Mentari.
"Cuma sampai di situ aku berhasil mengingatnya saat sadar. Aku gak mimpi, Senja. Malam itu, nyata." Mentari menggertakkan giginya. Terlalu mabuk sampai tidak sadar sedang bercinta secara nyata dengan pria yang ia mimpikan di saat yang bersamaan."Dan aku udah gak pernah lihat Bian lagi setelah bangun di pagi itu. Dia pergi. Ninggalin aku. Jauhin aku," isak Mentari menyudahi caritanya kepada Senja.Senja meme