Tersadar telah mendapatkan serangan tiba-tiba, Pria itu mendesis marah. Tangan kirinya terangkat memegang bekas tamparan yang terasa panas itu, kemudian menatap dengan mata mendelik ke arah Reanna.
"Shit! Apa-apaan kamu ini, hah?!"Sedangkan gadis itu hanya memandang pria di depannya. Tangan kanannya terkepal, dengan tatapannya yang terlihat kecewa."Bahkan kamu sekarang pura-pura tidak mengenaliku!" satu tetes air mata kembali membasahi pipi tirusnya. Ia langsung menghapusnya kasar."Hey, Nona ... apa maksudnya ini?! Aku benar-benar tidak mengenalmu!" pria itu membentaknya keras."Jangan berpura-pura, kamu sudah berjanji akan menikahiku, tapi ... kenapa kamu malah menghamilinya?! Apa salahku, Kalandra?!" Reanna terisak. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menyembunyikan tangisan yang kembali meledak. Ia menangis tersedu-sedu sehingga membuat banyak orang mengalihkan pandangannya pada Reanna dan si pria. Mereka menjadi pusat perhatian sekarang. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Ah, bukan. Tepatnya lelaki jahat yang tega mengkhianati kekasih yang sangat mencintainya. "Tunggu dulu ... aku bukan Kalandra." Pria berambut pirang itu bangkit dari tempat duduknya, lantas menatap sekelilingnya. Ia sangat tidak suka menjadi tontonan seperti ini, dan bertambah murka saat di sekitarnya mulai berbisik-bisik membicarakannya. Ia hanya bisa memaki dalam hati. "Ini tidak seperti apa yang kalian dengar. Dia mabuk!" pria itu menunjuk kesal pada wajah Reanna."Aku selalu setia padamu, kenapa kau seolah menganggapku seperti sampah?" seakan tidak mendengar ucapan pria tadi, Reanna justru semakin kencang menangis. Bahkan tubuhnya terlihat bergetar hebat."Astaga ..." pria itu menjambak rambutnya frustrasi. "Hey, dengar, Nona ... kamu salah orang. Namaku Nathan, bukan Kalandra. Lagipula aku tidak menghamili siapa pun. Aku masih single asal kamu tahu saja." Pria itu yang adalah Nathan merendahkan suaranya. Ia memegang kedua bahu bergetar gadis itu, mencoba memberikan pengertian pada Reanna. Kedua mata birunya tak lepas memandangi kedua mata sang gadis yang memerah. Ia sedikit merasa iba."Kamu lihat ini, bahkan cincin pertunangan kita masih setia kupakai. Tapi kamu ....""Arrggghhhhhh ... aku bukan Kalandra, mengerti?!" ia kembali menjambak rambutnya, kali ini dengan lebih kencang. Rasa ibanya menguap seketika. Justru ia semakin jengkel saja pada gadis di depannya."Kamu jahat ... kamu jahat ... kamu jahat!" bahkan kini gadis itu mulai memukuli dada bidang Nathan. Memang tidak kencang, tetapi cukup untuk membuat kadar kebencian pria itu meningkat dengan pesat. Kedua lengan kekarnya menghalau setiap pukulan ringan itu. Orang-orang masih belum meninggalkan tempat kerumunan. Kebanyakan dari mereka menatap Reanna dengan kasihan.Dan dari kerumunan tersebut, muncullah sosok Arvi. Nathan menghela napas lega setelahnya. "Ada apa ini? Kenapa ramai sekali?" tanya pria yang berprofesi sebagai dokter anak itu."Gadis ini datang tiba-tiba dan langsung menamparku." Adunya pada sang sahabat. Ia berjengit saat gadis itu tiba-tiba justru memeluknya. "Astaga, hey ... jangan menyentuhku sembarangan!" tidak salah lagi, gadis ini benar-benar mabuk!Sedangkan Arvi hanya terbengong melihatnya. "Kenapa kamu melakukannya dengan orang lain, sedangkan ada aku sebagai tunanganmu?" Reanna mendongak, menatap wajah tampan pria yang ia peluk. "Aku mencintaimu, Kalandraaa ...." setelahnya, gadis itu kembali memeluknya, lebih erat dari sebelumnya. Hidung mancungnya yang mungil mengendus-endus bau parfum di dada Nathan, membuat pria itu merasa sedikit geli."Gadis gila!" pria itu mengumpat. "Ar, lepaskan dia dariku!" Nathan mencoba mengurai pelukan gadis itu di tubuhnya. Namun, ia tidak bisa, dekapan Reanna begitu erat seakan membelitnya. "Tidak mau!" semakin keras usaha Nathan untuk melepaskannya, semakin kuat pula Reanna memeluknya. Bahkan Arvi pun mendapatkan tendangan gadis itu saat berusaha membantu Nathan. Dan dari salah satu arah kerumunan, muncullah sosok Tisha yang menatap ke arah mereka dengan terkejut."Astaga, Reanna ... baru kutinggal sebentar saja untuk mencari taksi, kamu sudah membuat keributan?!" gadis berkuncir kuda itu terlihat berlari mendekati Reanna. Napasnya satu-satu."Kamu temannya?" tanya Arvi. Tisha hanya mengangguk sambil mengatur napasnya. Gadis itu terlihat kelelahan. "Tolong pisahkan mereka," lanjut si dokter anak.Setelahnya, Tisha dengan susah payah mencoba melepaskan jari-jemari Reanna yang bertaut di punggung tegap Nathan. Namun, nyatanya begitu sulit. Ia baru tahu jika Reanna bisa sekuat itu."Tsk! Cepatlah!" Nathan berdecak tidak sabar. Gadis itu sangat lengket seperti lem yang menempel begitu kuat di tubuhnya. Ia sangat risi, apalagi ini depan banyak orang."Reanna, lepaskan dia!""TIDAK MAU—akh!"Setelah berkali-kali gagal, akhirnya Tisha berhasil juga memisahkan mereka. Membuat helaan napas lega keluar dari bibir merah kecokelatan si pria pirang.Sedangkan Reanna masih saja mencoba menggapai tubuh Nathan. Namun, Arvi dengan sigap merentangkan tangannya di hadapan si dokter kandungan, menghalau gadis itu agar tidak lagi mendekat pada sahabatnya."Maaf, Tuan ... sudah menyusahkan Anda. Teman saya ini memang tidak kuat minum." Tisha menundukkan badan meminta maaf, tangan kanannya tak lepas dari tangan kiri Reanna yang masih saja meronta. Setelahnya, ia segera menarik tangan Reanna, hendak membawa gadis itu menjauh dari Nathan dan Arvi. "Ayo kita pulang! Kamu membuatku malu saja.""Tidak, Sha! Lepaskan aku! Aku ingin bersama Kalandra~" Reanna masih saja gigih untuk melepaskan tangan Tisha dari pergelangan tangan kirinya. Suaranya terdengar merengek, diakhiri kikikan tawa di akhir katanya.Melihat hal tersebut, Arvi hanya bisa terkekeh geli. Sedangkan Nathan kembali pada kursi yang ia duduki sebelumnya, menyaksikan dalam diam drama di depannya. "Kita harus pulang, Re. Kamu mabuk." Tisha kembali menyeretnya menjauh."Lepas, Tisha!" "Tidak. Kita pulang sekarang!"Dan ... akhirnya Reanna menyerah, ia akhirnya menurut mengikuti langkah Tisha dengan tertatih-tatih."Sha, kamu lihat? Rambut Kalandra berwarna pirang sekarang. Tampan~"Dari jauh Nathan masih bisa mendengar ucapan gadis mabuk itu. Ia hanya menggelengkan kepalanya, tidak mengerti sekaligus geli di saat yang bersamaan.Dan setelah kepergian Reanna dari tempat itu, suasana kembali seperti semula. Kerumunan mulai membubarkan diri dan memulai lagi kegiatan mereka yang sempat tertunda. ***"Kamu benar-benar tidak mengenal wanita itu?" tanya Arvi pada Nathan yang kini kembali meminum wine-nya. Mereka berdua sedang duduk di depan meja bartender, melanjutkan tujuan mereka datang ke tempat ini; untuk bersenang-senang. Yah, meskipun hanya satu orang saja yang merasa senang."Apa maksudmu? Tentu tidak!" jawab Nathan. Tangan kanannya kembali menaruh gelasnya.Arvi mengedikkan bahunya mendengar jawaban Nathan. Kemudian menyesap minumannya yang berwarna hitam. "Yah, siapa tahu saja selama ini kamu memiliki seseorang tanpa sepengetahuanku.""Itu hal yang mustahil." Nathan tersenyum miris. "Lagi pula aku terlalu tua untuk gadis seumurannya."Arvi hanya menghela napasnya. Tatapannya tanpa sengaja menangkap sebuah tas kecil berwarna hitam tidak jauh dari tempat mereka duduk, tergeletak begitu saja di ujung meja. Ia meraih benda itu dengan tangan kiri, mengernyit memperhatikannya. "Ngomong-ngomong, tas siapa ini?" tanya si pria berambut kecoklatan itu.Nathan ikut memperhatikan sesuatu yang berada di tangan sang sahabat, dan dengan tiba-tiba otaknya menangkap sesuatu. Sepertinya ia tahu tas cantik itu milik siapa."Ah, jangan-jangan ....""Gadis itu." Ternyata mereka satu pemikiran. Setelahnya, mereka bergegas bangkit dari tempat duduknya masing-masing, kemudian berlari menuju pintu keluar. Nathan tak lupa membawa tas milik Reanna, berharap jika gadis itu masih berada di sekitar sana.Mereka mengedarkan pandangannya pada setiap inchi tempat parkir gedung tersebut. Namun, sosok cantik nan mungil itu tidak ada di mana pun."Sial! Kita kehilangan jejak." Nathan menendang kaleng bir di depannya dengan kesal."Coba kamu buka isi tasnya. Siapa tahu ada petunjuk di dalamnya." Perintah Arvi sambil mengatur napasnya yang sedikit terengah akibat berlari tadi.Nathan membuka risleting tas tersebut, meneliti isi dari benda berwarna hitam itu—yang kebanyakan berisi kebutuhan wanita. Namun, hanya satu benda yang ia ambil dari dalamnya, itu benda terpenting menurutnya."Handphone.""Coba kamu buka." Arvi ikut mengamati benda persegi panjang di tangan sahabatnya. Nathan menatap Arvi sejenak, kemudian kembali memperhatikan handphone di tangannya. Ia mencoba menekan tombol power. Namun, hanya layar kunci dengan wallpaper kelinci yang menyambut penglihatannya."Tidak bisa. Dia menggunakan sidik jari untuk membukanya."Arvi menghela napas panjang."Ya sudah, kamu bawa saja dulu. Siapa tahu kalian akan bertemu lagi suatu saat nanti. Kamu bisa mengembalikannya.""Itu kemungkinan kecil, Ar. Sepertinya aku harus ke counter handphone setelah ini untuk membuka kuncinya. Siapa tahu ada nomor yang bisa dihubungi di dalamnya." Pria pirang itu kembali memasukkan handphone itu ke dalam tas di tangannya. Arvi mengangguk. "Sepertinya kita juga harus pulang. Pestanya sudah tidak asik.".Bersambung..."Ngghhhh ...." gadis itu melenguh dengan kesal saat cahaya mentari yang masuk melalui celah gorden menyentuh dengan lembut kelopak matanya. Ia menyipitkan mata dengan dahi berkerut, lantas membalikkan tubuhnya; mencari posisi yang nyaman untuk mencoba kembali terlelap, tetapi sesuatu mengejutkannya."Tisha? Kenapa kamu ada di sini?" Reanna memandang sahabatnya—yang masih terbuai di alam mimpi—dengan pandangan bertanya, dan tentu saja tidak ada jawaban dari sosok itu.Reanna bangkit dari posisi tidurnya secara perlahan saat ia merasakan kepalanya terasa berdenyut dan berputar. Dengan gerak refleks tangannya terangkat untuk memijit sumber rasa sakit tersebut. Matanya menelusuri kamar bernuansa shaby itu. Ah, ia baru menyadari jika ia tidak berada di kamarnya, melainkan kamar Tisha."Apa yang terjadi? Kenapa kepalaku pusing sekali?" tanyanya sekali lagi. Kali ini dengan guncangan lembut pada tubuh Tisha yang masih terlelap."Mmhhhh ... sepuluh menit lagi, Bu~" sedangkan Tisha hanya melen
Rumah sakit itu sangat luas, didominasi warna putih pada setiap sudutnya. Reanna melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju IGD yang berada di muka rumah sakit itu dengan kedua tangan yang masih meremas pelan perutnya, berharap sakit itu bisa sedikit mereda.Setelah sedikit mengantre, akhirnya ia bertemu dengan seorang dokter yang berjaga di sana. Ia melakukan pemeriksaan awal; seperti mengukur berat badan serta tensi darah, dan pemeriksaan lainnya. Dan atas keluhan yang ia sebutkan, pada akhirnya ia direkomendasikan untuk menemui seorang dokter kandungan yang bertugas di rumah sakit tersebut—yang kebetulan sedang praktik hari ini.Reanna mendesah sebal saat ia berjalan menuju poli kandungan. Apalagi saat ia melihat betapa panjangnya antrean untuk menemui dokter itu, membuat gadis itu menggerutu dalam hati.Kenapa dokter tadi tidak langsung saja memberinya obat dan menyuruhnya pulang saja? Kenapa ia harus menemui dokter kandungan juga?Reanna mendesah lelah, kemudian mendudukkan diri
Rumah itu terlihat megah. Namun, auranya terasa begitu sunyi. Reanna menatap rumah besar bercat tembok putih yang memiliki pilar-pilar besar itu tanpa berkedip dari posisinya berdiri saat ini, berdecak kagum pada bangunan bergaya romawi klasik tersebut. Ia baru saja sampai di kediaman dr. Adams beberapa saat lalu."Ayo kita masuk."Suara yang berasal dari sampingnya membuyarkan lamunan Reanna. Ia menutup pintu mobil hitam itu, lantas mengekori langkah panjang pria pirang yang lebih dahulu berjalan di depannya.Dokter tampan itu membuka pintu rumahnya, kemudian menatap Reanna, mempersilahkan gadis itu memasuki rumahnya terlebih dahulu. "Masuklah."Dan ... ruang tamu bernuansa putihlah yang pertama kali menyambut pandangan Reanna. Terdapat beberapa sofa yang terlihat begitu empuk yang mengitari sebuah meja kaca berbentuk oval di sana, sedangkan pada setiap dindingnya tergantung berbagai macam lukisan artistik, juga terdapat sebuah potret seorang wanita berparas jelita yang mencuri perha
"Ini tasnya. Handphonenya masih ada di dalam. Kamu boleh mengeceknya terlebih dahulu." Tangan besar itu menyodorkan tas milik Reanna pada pemiliknya.Dan dengan sigap Reanna menerimanya. "Tidak perlu. Sekali lagi terima kasih, Pak dokter. Berkat Anda, saya bisa kembali menemukan tas saya beserta isinya."Gadis manis itu menghela napas lega. Handphone di dalam tas itu sangat berharga baginya, karena hanya handphone itulah yang bisa menghubungkan dirinya dengan keluarganya yang tinggal di kota kecil yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalnya sekarang.Ia anak rantau. Ia datang ke kota besar ini beberapa tahun yang lalu untuk meneruskan pendidikannya berkuliah di universitas terbaik di kota ini. Dan beberapa bulan lalu ia baru saja lulus dari dunia perkuliahan.Ia sudah menyebar beberapa Curriculum Vitae ke berbagai perusahaan di kota ini. Namun, sampai detik ini tidak ada satu pun panggilan kerja untuknya.Yah, mencari pekerjaan memang begitu sulit di jaman sekarang, hingga ia ak
Mobil hitam itu melaju dengan pelan, perlahan-lahan menepi kemudian berhenti tepat di depan sebuah toko bunga, Carnation florist. Sesaat kemudian keluarlah seorang pria dengan menggendong putrinya dari dalam mobil tersebut. Langkah panjangnya tergesa memasuki pintu kaca toko, membuat lonceng yang terpasang di atas daun pintu itu berbunyi. Sepertinya ia sedang terburu-buru.Tisha yang berjaga di meja kasir segera menyambut calon pelanggannya dengan senyuman cerah andalannya."Selamat datang di Carnation florist. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" sapa gadis itu, ramah.Ketika mata biru itu menatap tepat pada kedua iris mata Tisha, gadis itu terdiam. Ia seperti pernah melihat pria itu sebelumnya."Saya ingin memesan sebuah karangan bunga," ucap pria itu, menyentak Tisha dari lamunan."Ah, iya. Baiklah." Tisha berucap dengan sedikit kikuk, tangan kanannya mengangsurkan sebuah buku kecil beserta pulpennya pada pria di depannya. "Silakan tulis nama pengirim, nama penerima, alamat tujuan, ser
Suara getaran handphone di sisinya mengalihkan perhatian Reanna. Gadis itu segera meraihnya, menatap layar lcd yang menyala. Ada satu pesan masuk di dalamnya, Reanna tak membuang waktu untuk langsung membukanya.'Saya akan sampai sepuluh menit lagi.' Begitulah isinya.Ia sudah menduganya, tentu saja dr. Adams yang mengirim pesan. Seperti kata pria itu tadi pagi, dokter itu selalu menghubunginya satu jam sekali hanya untuk menanyakan keadaan putrinya."Kamu masih lama, Re?" pertanyaan Tisha membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya dari ponsel pintarnya."Papanya akan sampai sebentar lagi," jawab Reanna. Tangan kirinya yang bebas kembali mengelus pelan rambut lembut Kia yang tertidur berbantalkan pahanya."Sepertinya dia kelelahan." Tisha turut mengamati wajah tertidur itu. Kia terlihat seperti seorang putri kerajaan yang cantik jelita di matanya. Lihat saja, bahkan ia masih terlihat begitu cantik ketika terlelap."Sepertinya begitu. Dia banyak bermain tadi." Reanna membenarkan ucapan
Suara dentingan lonceng menyita atensi ketika pintu kaca itu terbuka, disusul dengan masuknya sosok jangkung yang menggendong gadis kecil berkuncir dua—yang terlihat menangis terisak—pada lengan kirinya.Tisha yang berjaga di meja kasir sudah terlihat sibuk pagi ini. Kepalanya menunduk dengan kedua tangannya sibuk meneliti sebuah catatan kecil di mejanya. Saat ia merasa seseorang memasuki tokonya, ia menyapa tanpa melihatnya."Selamat datang di Carnation florist, ada yang bisa kami bant–" ketika gadis itu mengangkat wajah, ia tidak jadi melanjutkan ucapannya setelah menyadari siapa orang yang berdiri di hadapannya. "Ah, Pak dokter datang lagi.""Reanna sudah datang?" tanya pria itu, langsung pada tujuannya. Tangan kanannya sibuk mengelus punggung Kia yang sesenggukan karena menangis."Itu dia." Jari telunjuk lentik itu menunjuk salah satu sudut tempat itu, pada sosok Reanna yang sedang merangkai bunga imitasi di pojok ruangan.Setelah pandangan mata biru itu menemukan sosok yang ia car
Nathan menatap sebuah map di tangannya, membaca segala informasi tentang pasien yang duduk di hadapannya itu dengan teliti. Wanita cantik yang memiliki rambut lurus sebahu itu terlihat pucat."Nona Olivia Atmaja. Anda datang sendirian?" pria itu menatap tepat pada mata pasiennya. Ia sedikit heran, pasalnya kebanyakan ibu hamil yang memeriksakan kandungannya ke sini selalu di dampingi suami mereka, apalagi dengan keadaan wanita di hadapannya yang terlihat sedang tidak baik."Iya, Dok. Calon suami saya sedang sibuk akhir-akhir ini." Jawab pasien yang bernama Olivia itu dengan senyuman canggung.'Hamil di luar pernikahan rupanya.' Nathan membatin.Ia tidak habis pikir, entah kenapa di jaman sekarang kasus seperti ini sering sekali ia temui.Pria itu menggeleng singkat. Yah, itu memang bukan menjadi urusannya. Ia hanya merasa miris saja, apalagi ia memiliki seorang anak perempuan. Jujur saja ia merasa khawatir.Ia segera mengenyahkan pemikiran tersebut dari kepalanya, dan kembali fokus pa