Share

Invitation

Susan hanya bisa melongo. Mata besarnya mengerjap-kerjap tanda tidak percaya dengan apa yang diucapkan Anjun. Apa ia sedang bermimpi kali ini, Anjun mendadak berubah.

"Kau tak sedang sakit, kan?" tanya Susan, takut-takut. Mencondongkan tubuhnya sedikit menjauhi Anjun.

"Kau mau apa, sih? Tadi kau yang minta sekarang–"

"Oke, oke, jangan merepet. Ayo, kita menjadi kekasih," sahut Susan, akhirnya memutuskan menyetujui ajakan Anjun yang tiba-tiba.

Lagipula usianya hampir tiga puluh tahun. Keluarhanya juga telah memaksanya untuk menikah. Namun, tidak ada pria lain yang menarik bagi Susan. Menurutnya, Anjun merupakan pria tepat untuk membantu dalam bisnis keluarganya.

Pria lain yang dikenalnya hanya bisa menjadi pesuruh saja. Atau, memanfaatkan kekayaannya tanpa mau bersusah payah. Susan bukannya tidak menarik di mata pria, tetapi ia yang tidak tertarik dengan pria manapun selain Anjun.

"Kau bantu aku awasi Rosa, ya," ujar Anjun, kembali mengambil salah satu map dan membacanya.

"Makanya itu aku memarahi kau tadi. Rosa telah cukup dewasa. Usianya juga sudah mau dua puluh satu tahun, 'kan?"

"Iya, aku hanya khawatir ada yang memanfaatkan atau membuatnya menangis," sahut Anjun, kembali mengingat masa lalunya. Mata garangnya meredup.

***

"Rosa, kamu ada waktu?" tanya Jo, menghampiri Rosa yang sedang makan di kantin siang itu.

"Eh, Jo. Sekarang?"

"Iya."

"Duduk sini. Aku lagi nunggu jam berikutnya. Kenapa?" 

Jo duduk di hadapan Rosa. Ia menatap wajah glowing Rosa yang semakin hari semakin cantik menurutnya. Tanpa berniat menggombal, ia mengatakan apa yang ada dipikirannya, "Tambah cantik aja kamu."

Rosa tersenyum, ia menjawab, "Tak usah gombal kau, ya."

Jo terkekeh-kekeh. Kemudian kembali berkata, "Mana berani aku menggombal sama bintang kampus."

"Ada apa?"

"Aku mau mengajak party, gak ada temen. Mau gak kamu nemenin?"

"Aku tak pernah datang. Kau sering, ya?" tukas Rosa, memamerkan gigi putihnya.

"Ah, jarang, kok. Hanya, ini party anak-anak basket. Mereka bawa pasangan masing-masing, aku belum punya. Ha-ha-ha!"

Rosa menatap Jo tajam. Dengan mengejutkan, ia berkata, " Oke, jam berapa?"

"Jam sepuluh."

"Siang?"

"Malam lah, masa siang-siang party," celetuk Jo.

Rosa mengangguk. Ia berkata, "Aku pakai dresscode apa?"

"Dandan aja secantik mungkin, kamu pakai apa aja cocok, kok," ucap Jo, berusaha mengambil simpati dari Rosa.

Rosa bisa melihat hal tersebut. Jo baik kepadanya selama ini. Tidak ada sedikit pun terlihat niat yang tidak baik dari sikap Jo. Rosa menyukainya sebagai teman.

Malam hari, Jo menunggu Rosa di teras indekos. Jam masih menunjukkan pukul 09.30 WIB, Rosa masih berdandan di kamarnya.

Selama ini, Rosa jarang sekali memakai makeup tebal. Sapuan fondation dan bedak telah cukup membuatnya terlihat glowing. Mata besar dengan bulu mata panjang dan lentik, tidak pernah dipakaikan maskara atau bulu mata palsu. Sejujurnya ia benar-benar payah akan berdandan. Beruntung memiliki Meity sebagai sahabatnya.

Meity membantu Rosa menempelkan bulu mata dan memakai maskara. Belum lagi harus memakai eyeliner-nya. Rosa mendesah, "Perlu kali aku pakai itu, tercoloknya mataku."

"Ssst! Gak usah bawel. Ini gue bantuin, lo merem aja!" seru Meity, cerewet. "Lo gak ngajak gue, Ros?"

"Ayo aja kalau aku, ntar biar kubilang sama Jo. Dia baik, kok, pasti ngijinin."

"Malu, ah, gue gak punya pasangan."

Rosa berpikir sejenak, ia mencari ponselnya, lalu menelepon seseorang. Meity masih sibuk menata make up dan rambut hitam legam yang panjang sepunggung milik Rosa. 

"Kau jemput Meity di kosanku, ya! Pakai baju yang keren. Awas kalau telat secepatnya!"

"Telpon sapa?"

"Ryo."

"Hahh, lo telpo Ryo? Sialan, dia mau?"

"Mau lah, aku yang pinta pasti datang!"

Meity mencibir. Memang benar, siapa yang tidak datang dipanggil oleh Rosa, bintang kampus. 

"Ow, pelan sikit lah, Mei! Sakit ini!" teriak Rosa, mengaduh karena rambutnya tertarik dengan kencang.

"He-he-he! Maaf, sengaja," sahut Meity, terkekeh-kekeh, kemudian kembali merengut.

"Bukannya, kau suka sama si Ryo?" tanya Rosa sembari memegangi kepala yang sakit.

"Enggak. Sekarang gue lagi ngincer Mas Angga," sahut Meity, tersenyum-senyum sendiri.

"Wew, memang kau, ya. Tak ada nyah cinta sejati di hati kau, tuh?"

"Ada, tapi itu dulu. Sekarang doi lewat." Meity menggerakkan tangannya pada leher. 

Rosa hanya menggeleng. Mereka tidak tahu bahwa Jo telah menanti kedinginan di luar. Ada Ryo yang datang, ia melihat Jo. 

"Hei, lo siapa?" tanya Jo, menghalangi langkah Ryo.

"Gue Ryo. Ditelpon sama Rosa ke sini jemput–"

"Apa lo bilang? Ketemu Rosa? Gue yang ajak dia duluan!"

"Bukan gue disuruh jemput Meity, sahabatnya," sahut Ryo, ketakutan.

Jo menurunkan tinjunya yang tidak jadi ia layangkan ke wajah Ryo. Mereka kembali tenang, sedikit kikuk karena kesalahpahaman tadi. Ryo mengambil rokok pada saku kemeja dan memantik korek gas. Menghirup batang rokok tersebut, kemudian ia mengembuskannya. Menciptakan kepulan asap putih, di sekitar wajahnya.

Jo hanya mengibas-kibaskan tangan akibat rokok tersebut. Ryo menoleh dan berkata, "Lo gak merokok?"

"Gak, gue punya asam," kilah Jo, sedikit malu. Ia memang memiliki penyakit asma bawaan, tetapi tidak parah.

HannaH Ell3

Terima kasih telah membaca cerita ini. Baca juga cerita lainnya Elevator Game

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status