Susan mengira bahwa Anjun hanya mencintai adiknya saja. Hubungan di antara mereka tidak boleh terjadi. Pada akhirnya, ia bertanya, "Kenapa?"
"Aku berdosa kepadanya," sahut Anjun, tidak ada senyum. Mata Anjun menyimpan banyak sendu.
Susan menepuk pundak Anjun dan berkata, "Cerita lah agar bebanmu ringan."
"Lepas kita selesai kuliah, aku bertemu seorang gadis–"
"Gadis?""Iya, kenapa kau kaget begitu nyah. Apa kau pikir aku tak suka perempuan?" "Bukan, bukan. Ayo, lanjutkan!"Anjun mulai bercerita. Selepas kuliah di Bandung, ia memang bertemu seorang wanita berdarah Batak, tetapi kelahiran Bandung. Mereka sempat bersama beberapa waktu.
Hanya saja gadis itu memiliki penyakit bawaan sejak lahir. Di kala kondisi kritisnya, Anjun tidak datang karena terlalu sibuk bekerja di kantor pengacara, Bandung-Jakarta. Ada penyesalan setiap kali, ia mengingatnya.
"Kau tahu, seumur hidup aku tak akan bisa melepaskannya," lirih Anjun, tercekat akibat menahan duka.
"Kau belum mencobanya. Hidup kau hanya berkisar untuk merecoki adik kau saja. Mari, kita coba?" ajak Susan, ia memang menyukai sosok Anjun sejak mereka kuliah.
Mereka tidak satu jurusan, tetapi mengikuti kegiatan kemahasiswaan yang sama, membuat mereka dekat satu sama lain. Anjun menoleh dan mengernyit. Hubungan mereka baik-baik saja sebagai rekan kerja. Ia tidak mau merusaknya dengan perasaan sentimentil.
"Kenapa kau tak menikah?" tanya Anjun, menohok. Ia sama sekali tidak peka.
"Ha-ha-ha! Kau sama sekali tidak sadar?" sahut Susan, mulai jengkel. "Kukasih tahu, ya, ini semua gara-gara–"
Ada suara ketukan di pintu, membuat Susan menghentikan ucapannya. Mereka menoleh pada pintu dua kembar ruang kantor Susan. Kemudian berpandangan.
"Bukalah, mungkin penting," perintah Anjun, kembali menekuni kertas di tangannya.
Susan mendengkus kesal. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Tampak Esa berdiri di depannya dengan berbagai berkas proposal.
"Kenapa kau yang membawa itu?" tanya Susan, terheran-heran. Ia menggeser tubuhnya agar Esa masuk ke ruangan dan menaruh semua di meja tamu.
Esa masuk dan melangkah menuju meja tamu. Ada sosok dengan perawakan tegap, sorot mata tajam dengan rahang kotak yang tegas. Anjun menatap Esa tajam penuh selidik.
"Dia ... karyawanku, baru seminggu di sini. Dia juga teman Rosa," ucap Susan, membuat Anjun semakin mendelik kepadanya.
"Teman macam apa kalian?" tanya Anjun, masih mendelik.
"Duh, nih orang siapanya Rosa, ya?" keluh Esa dalam hati.
"Dia ini abangnya Rosa. Kenalan dulu, gih," sahut Susan, seperti tahu isi kepala Esa.
Esa tercengang mendengar ucapan Susan. Ternyata di hadapannya merupakan abang yang sering diceritakan Rosa dan Susan, Esa mendadak gugup. Keluar keringat dari dahinya. Ancaman Susan ternyata benar, Anjun terlihat garang dari yang diceritakan.
Suara baritonnya menggelegar, padahal Anjun hanya bertanya. Esa jelas agak jeri setelah melihatnya. Mau bagaimana lagi, harus ia hadapi. Semoga Anjun akan menjadi luluh.
"Sebenarnya saya ingin mengungkapkan perasaan, Bang. Hanya belum berani saya masih harus mengumpulkan uang untuk diri saya sendiri dulu," akunya Esa, berusaha sejujurnya, walaupun tidak semua dikatakan.
Esa merasa tidak ada yang harus dibanggakan dengan menjadi anak seorang pengusaha. Ia harus menjadi pengusaha dengan tangannya sendiri.
Anjun mengangguk. Ia berkata, "Bagus itu, kalau begitu tak usah dekat-dekat Rosa lagi."
Susan langsung mengeplak kepala Anjun dengan map yang kebetulan sedang dipegangnya. Anjun langsung berteriak, "Hei, apa kau main pukul saja!"
"Bukan kau yang menentukan Rosa mau dekat dengan siapa, hahh!" seru Susan, suara altonya baik satu oktaf. "Biar mereka sendiri yang menjalaninya. Tak usah kau ikut campur!"
Anjun terpegun dimarahi oleh Susan. Wanita di hadapannya jauh lebih galak daripada Mamak Rosma di kampung halaman. Ia tidak dapat membalas perkataan Susan. Sejauh ini, ia menyadari bahwa terlalu melindungi adiknya itu. Ia tidak ingin Rosa disakiti seperti ia menyakiti gadis malang yang tidak diacuhkannya.
"Baiklah, aku kasih kau kesempatan. Kulihat ia menangis gara-gara kau, siap-siap jeruji besi!" tegas Anjun, akhirnya mengizinkan Esa untuk mendekati Rosa.
Susan tersenyum senang, tanpa sengaja melihat Anjun menatapnya tajam. Ia kebingungan. Jadi, ia menyentak Anjun, "Apa?"
"Tak ada, nanti siang makan bareng, ya," sahut Anjun, menunduk kembali. Ia menekuni kertas yang dipegangnya.
Esa menunduk. Ia berpamitan karena merasa canggung, "Terima kasih, Bang. Saya undur diri dahulu. Permisi, Kak."
Setelah Esa keluar ruangan, Susan memelototi Anjun. Ia berseru, "Apa maksud kau?!"
"Tak ada nyah. Cuma makan siang saja kenapa kau sewot kali," sahut Anjun enteng, masih menekuni kertas.
"Kau dari tadi yang dibaca cuma kertas itu saja. Tuh, masih banyak," ucap Susan, keki.
Anjun meletakkan kertas di meja. Ia menoleh kepada Susan yang duduk di sebelahnya. Sedikit berdeham, ia berusaha meredam rasa aneh yang tiba-tiba datang.
"Ayo, kita coba," ajak Anjun, tiba-tiba. Ia membuat Susan menjatuhkan map yang dipegangnya.
"Ah, kenapa kau tiba-tiba ngomong kayak gitu? Aku–"
"Kita mulai hubungan, tapi aku akan pindah ke Bandung setelah urusan di Medan selesai. Bagaimana?"Terimakasih telah membaca cerita ini. Baca juga cerita lainnya Elevator Game
Susan hanya bisa melongo. Mata besarnya mengerjap-kerjap tanda tidak percaya dengan apa yang diucapkan Anjun. Apa ia sedang bermimpi kali ini, Anjun mendadak berubah. "Kau tak sedang sakit, kan?" tanya Susan, takut-takut. Mencondongkan tubuhnya sedikit menjauhi Anjun. "Kau mau apa, sih? Tadi kau yang minta sekarang–""Oke, oke, jangan merepet. Ayo, kita menjadi kekasih," sahut Susan, akhirnya memutuskan menyetujui ajakan Anjun yang tiba-tiba. Lagipula usianya hampir tiga puluh tahun. Keluarhanya juga telah memaksanya untuk menikah. Namun, tidak ada pria lain yang menarik bagi Susan. Menurutnya, Anjun merupakan pria tepat untuk membantu dalam bisnis keluarganya. Pria lain yang dikenalnya hanya bisa menjadi pesuruh saja. Atau, memanfaatkan kekayaannya tanpa mau bersusah payah. Susan bukannya tidak menarik di mata pria, tetapi ia yang tidak tertarik dengan pria manapun selain Anjun. "Kau bantu aku awasi Rosa, ya," ujar Anjun, kembali mengambil
Jo hanya mengibas-kibaskan tangan akibat rokok tersebut. Ryo menoleh dan berkata, "Lo gak merokok?" "Gak, gue punya asma," kilah Jo, sedikit malu. Ia memang memiliki penyakit asma bawaan, tetapi tidak parah. Jo hanya tidak bisa menghisap barang yang bernama tembakau apa pun bentuknya. Ia tidak bisa melakukannya. Setiap kali diajarkan merokok oleh temannya, ia akan terbatuk-batuk hingga tidak bisa berhenti dan sesak napasnya kumat. "Parah memang kalau udah punya penyakit bawaan," ujar Ryo, membuka percakapan, "dikit, dikit sakit. Udah gitu kalau gak ngerokok diledekin gak jantan." Jo menunduk, memperhatikan sepatu kets mahalnya. Menurutnya, tidak merokok bukan masalah besar, karena ia punya segalanya. Harta, kedudukan, dan wanita mana saja pasti mau diajak olehnya. "Kau sudah dari tadi menunggu?" Keduanya menoleh saat mendengar suara sopran yang merdu itu berbicara. Ada pemandangan begitu indah di mata kedua lelaki, sesosok bidadari yan
Jo segera menyampirkan jaket pada bahu Rosa. Sontak saja Rosa terkejut karena ia datang tiba-tiba. Pria itu juga sama terkejutnya. "Anda siapa, ya?" tanya Jo, kasar. "Jo, dia pemilik kafe strawberi di mana aku magang," bisik Rosa, menarik kemeja Jo. "Ya, perkenalkan saya Anggara. Kamu siapanya Rosa?" tanya Angga sembari mengulurkan tangan untuk berjabatan. Jo tidak menyambut uluran tangan Angga. Tatapannya penuh permusuhan. Sudah cukup satu saja saingannya, yaitu Esa. Ia tidak akan membiarkan orang lain mendekati Rosa. "Saya calon kekasihnya," sahut Jo, yakin. Rosa membeliak, menatap wajah angkuh Jo. Ia tidak menyangka kalau Jo menyukainya juga. Mereka merupakan pariban yang tidak boleh menikah karena ikatan marga. "Oh, begitu. Masih calon, kan? Saya juga bisa menjadi calon suaminya mungkin," timpal Angga, tenang. Rosa lebih terkejut saat Angga mengatakannya. Ia kebingungan dengan perilaku dua lelaki yang baru saj
"Dia sudah tidur," ucap Susan, hati-hati. Meskipun suaranya sama sekali tidak lembut. Anjun berbalik. Ia tersenyum dan berkata, "Makasih, ya. Kau juga segera balik ke rumah sana. Aku mau segera ke Jakarta malam ini." "Kau tak istirahat dulu nyah?" tanya Susan, berusaha melembutkan suaranya. "Tak lah. Setelah urusan di Jakarta selesai aku langsung balik ke Berastagi, mengurus segala sesuatunya. Bisa kau menunggu?""Iya," sahut Susan, cepat. Susan sendiri bingung. Sebenarnya apa yang harus ia tunggu, keberadaan Anjun, kah? Atau, sesuatu yang lain. Ia tidak mau lagi berharap banyak seperti dahulu. Susan pernah menyimpan harapan kala gadis yang dicintai Anjun telah tiada, Anjun akan berpaling kepadanya. Namun, ia salah, Anjun malah menyalahkan dirinya sendiri. Juga menghindari hubungan baru dengan wanita lain. Rasanya amat perih melihat pria yang dicintai tidak memandangnya. Susan menyadari bahwa saat ini juga Anjun belum memandan
"Tentu saja. Saya sudah berjanji, 'kan?" Angga menyahuti Rosa sembari berjalan untuk membukakan pintu mobil sebelah kiri. Rosa menghampiri. Ia naik ke dalam mobil. Angga menutup pintu lalu berjalan ke pintu lainnya. Ia duduk di belakang kemudi, menyalakan stater mobil. Memutar kemudi sembari ia menoleh ke belakang untuk memundurkan mobil tersebut. Mobil melaju dengan kecepatan sedang melewati jembatan Surapati. Pemandangan kota Bandung di siang hari terlihat jelas. Rosa menikmati perjalanannya, menatap jendela yang dibuka setengah. "Kamu menyukainya?" tanya Angga sembari fokus menyetir "Ya, eh, apa? Menyukai apa?" sahut Rosa, ling-lung. Angga terkekeh-kekeh, "Kamu menyukai Bandung?" "Oh, iya, di sini sejuk. Banyak makanan enak, banyak teman dari berbagai daerah." "Apalagi?""Banyak lapangan pekerjaan juga.""Oh, iya, banyak usaha mikro di sini.""Tapi semuanya dikelola oleh orang di luar Bandung.""Tidak semua
Jo membiarkan Rosa terus berbicara. Mengoceh banyak hal kepadanya, ia tidak peduli yang penting Rosa tidak melihat Esa ada di kafe itu. Saat Rosa mengambil napas, Jo kembali bertanya. "Kamu yakin atasanmu itu naksir?" tanya Jo. Sementara dalam hatinya, ia berseru, "Cih! Hanya karena cantik, kamu jadi merasa semua orang menginginkanmu!" "Enggak yakin juga, sih. Kata Bang Anjun banyak lelaki yang suka mempermainkan perempuan terutama yang lugu dan polos.""Tepat. Dan kamu salah satunya!" seru Jo, masih di dalam pikirannya. Rosa kembali mengoceh tentang Anjun. Jo sangat penasaran tentang sosok abang yang dikatakan Rosa. Seperti apa sebenarnya Anjun, sehingga Rosa selalu bercerita tentangnya. "Jangan sampai kita ketahuan Abang lagi. Kemarin saja habis aku dimarahi!" seru Rosa, menggebu. "Kamu dimarahi? Karena apa?""Kau ajak jalan malam-malam, lah!""Oh, tapi kamu, kan, pulang sendiri.""Tetap saja aku dimarahi karena pulang malam."
"Iya, tapi aku punya rencana masa depan sendiri. Gue mau ngumpulin uang buat modal usaha perkebunan sendiri," sahut Rosa, tersenyum sembari menatap jauh tanpa fokus. Ia sedang membayangkan masa depannya selepas lulus fakultas pertanian. "Lo memang terbaik, gue yang akan jadi karyawan pertama lo, ya," celetuk Meity, ia memang merasa lebih cocok jadi karyawan daripada pengusaha. Rosa mencibir Meity. Ia berkata, "Wew, boleh, tapi gaji seadanya dulu, yak!" Meity memajukan bibirnya, cemberut. Ia kembali berjalan mendahului Rosa sembari mengayun-ayunkan tas belanjaannya. Rosa mengikuti di belakang sembari terkekeh-kekeh. Saat mereka tiba di indekos, sudah ada Esa menanti Rosa. Meity segera paham, ia langsung masuk ke rumah menuju kamar Rosa di lantai dua, meninggalkan keduanya agar dapat berbincang. Rosa tersenyum, lalu duduk di kursi teras. "Ada apa, Bang?" tanya Rosa, terkejut sekaligus senang melihat orang yang disukainya datang. "M
Rosa tersenyum malu. Wajahnya telah memerah. Sekali saja Esa mengatakannya sudah membuat jantungnya berdebar, apalagi diulang kembali. "Aku terima, Bang. Tak usah lah kau ulang lagi," sahut Rosa, wajahnya bersemu merah. Wajah kesal Esa berubah menjadi cerah. Mood yang ambyar telah kembali. Ia berdiri dan membuka kotak tadi, memakaikan sebuah kalung emas putih dengan liontin berbentuk bunga mawar. "Cocok," ucap Esa, semringah."Benarkah? Cantik kali lah kalungnya, Bang," timpal Rosa, tersenyum. Ia memperhatikan kalung yang telah melingkar pada lehernya. Esa kembali duduk pada kursinya. Ia memperhatikan gadis yang telah resmi menjadi kekasihnya itu. Rasanya seperti banyak bunga-bunga di sekitar mereka. Esa memegang tangan Rosa. Ia ingin menjanjikan kehidupan bahagia untuk gadis itu, tetapi bukan sekarang. Dengan kerja keras, ia akan membahagiakan Rosa. "Aku akan bekerja keras agar kita bisa selalu bersama," ucap Esa, penuh