Kota itu terbentang luas di bawah mereka saat pesawat mulai mendekati landasan. Cahaya senja menerangi skyline kota yang eksotis, menandai awal dari perjalanan bisnis yang penting bagi Alden. Laras, yang duduk di sampingnya, mencatat dengan teliti poin-poin terakhir untuk pertemuan esok hari."Tampaknya kamu sudah siap sepenuhnya," ujar Alden, memandang Laras dengan rasa bangga.Laras menoleh, tersenyum. "Saya selalu siap, Pak Alden. Itu tugas saya."Ada hening sejenak di antara mereka, sebuah ketenangan yang terasa nyaman. Pesawat mendarat dengan mulus, dan mereka bersiap-siap untuk hotel.---Di hotel, setelah makan malam bersama delegasi, Alden mengajak Laras untuk berjalan di sekitar kota. Lampu-lampu kota berkelip, menciptakan atmosfer romantis yang tidak terduga. Laras menikmati keindahan malam itu, namun ada rasa gugup yang menggelitik di hatinya."Apa yang membuatmu memilih pekerjaan ini, Laras?" tanya Alden, memecah kesunyian.Laras berpikir sejenak. "Saya ingin membuktikan b
Setelah pengakuan yang terjadi selama perjalanan bisnis, hubungan antara Alden dan Laras memasuki fase baru, namun tidak tanpa tantangan. Laras, saat berbaring di kamarnya, merenungkan hubungan yang semakin rumit ini.Pikirannya bergulat dengan konflik internal. Perbedaan usia dan status sosial antara dia dan Alden bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Laras tahu bahwa ini bukan hanya tentang bagaimana dia merasa, tapi juga tentang bagaimana dunia luar akan melihat hubungan mereka.Di sisi lain, Alden duduk di ruang kerjanya, menatap keluar jendela, dengan pikiran yang tak kalah kusut. Dia sadar bahwa hubungannya dengan Laras akan mendapat sorotan dan mungkin tidak semua akan bersikap mendukung. Sebagai Presiden Direktur, dia memiliki reputasi dan citra perusahaan untuk dijaga.Hari berikutnya di kantor, suasana berubah. Ada ketegangan yang tak terucapkan di udara. Laras berusaha bertingkah seprofesional mungkin, namun mata-mata kecil di kantor mulai menangkap perubahan dalam interaks
Alden duduk termenung di kantornya yang megah, pandangannya menembus jendela besar yang menghadap ke kota yang sibuk. Rencana liburan romantis untuk mendekatkan diri dengan Laras terus berputar di kepalanya. Dia memanggil asistennya, Rendi. "Rendi, tolong siapkan agenda untuk akhir pekan ini. Saya ingin ke Bali," ucap Alden dengan suara yang berat. Rendi, yang sudah terbiasa dengan perintah mendadak dari Alden, segera mengangguk, "Tentu, Pak Alden. Apakah perjalanan ini untuk bisnis?" "Tidak, pribadi," jawab Alden singkat. Dalam hatinya, Alden merencanakan untuk mengundang Laras. Dia berharap liburan ini akan memberikan mereka ruang untuk mengenal satu sama lain lebih jauh tanpa tekanan dari kantor. --- Di ruang kerjanya, Laras terkejut saat menerima email dari Alden. Isinya adalah undangan untuk akhir pekan di Bali, dengan catatan bahwa ini adalah perjalanan pribadi, bukan urusan kantor. Dia ragu, namun di lubuk hatinya, dia ingin menghabiskan waktu dengan Alden. Mereka berdua
Laras berjalan dengan langkah cepat di lantai berlapis marmer gedung megah itu. Suara tumit sepatunya bergema memecah kesunyian lorong. Ia memegang map biru berisi portofolio karyanya dengan erat. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu: presentasi desain mode kepada salah satu konglomerat paling berpengaruh di negara ini."Tenang, Laras. Kamu pasti bisa!" gumam Laras pada dirinya sendiri.Sementara itu, di ruangan yang besar dengan jendela kaca dari lantai hingga plafon, Alden duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu mahoni. Di usianya yang ke-45 tahun, Alden adalah sosok yang gagah dengan garis wajah tegas dan mata yang tajam. Ia sedang memeriksa beberapa dokumen ketika asistennya, Reza, berbisik, "Nyonya Laras telah tiba, Tuan."Alden mengangguk, "Baiklah, biarkan dia masuk."Pintu ruangan terbuka, dan Laras dengan percaya diri memasuki ruangan, memberi hormat dan mulai presentasi. "Selamat siang, Bapak Alden. Terima kasih telah memberi kesempatan pada saya untuk mempr
Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Laras duduk bersama sahabatnya, Dina. Kafe itu memiliki desain vintage dengan lampu gantung yang memberi suasana hangat. Laras menyeruput cokelat panasnya, matanya menerawang jauh."Sudah memutuskan, Ras?" tanya Dina, memecah lamunan Laras.Laras menarik napas panjang, "Itu bukan sekadar tawaran pekerjaan, Din. Ada sesuatu di mata Alden yang... sulit saya jelaskan."Dina mengerutkan dahinya, "Jadi kamu merasa ada daya tarik?"Laras mengangguk ragu, "Tidak hanya itu. Ada aura misterius dari tawaran itu."Dina tertawa, "Kamu ini selalu dramatis! Jangan bilang kamu sudah jatuh cinta pada hari pertama?"Laras mencibir, "Oh, berhenti! Ini serius, Din. Antara menerima tawaran Alden atau tetap fokus pada karir desainku."Dina menatap Laras tajam, "Kamu tahu jawabannya. Tapi, apakah kamu siap menghadapi konsekuensinya?"Laras terdiam. Dia memikirkan semua yang sudah dia lalui untuk membangun karir desainnya. Namun, tawaran dari Alden memberinya kesempatan u
Laras sedang menyelesaikan pekerjaannya di meja resepsionis saat sebuah amplop bersegel muncul di depan matanya. Ketika dia menengadah, dia melihat Alden, Presdir perusahaan, dengan tampilan formal namun ada senyuman tipis di bibirnya."Laras, mohon luangkan waktu Anda sebentar," kata Alden dengan suaranya yang khas, dalam dan tegas.Mereka berjalan menuju kantor Alden yang mewah, dengan pemandangan kota yang memukau dari lantai tinggi. Setelah mereka duduk, Alden membuka percakapan, "Saya telah mengamati pekerjaan Anda selama beberapa waktu. Anda efisien, cerdas, dan memiliki dedikasi. Saya membutuhkan seseorang dengan kualitas Anda untuk menjadi sekretaris pribadi saya."Laras terkejut. "Saya merasa terhormat, Tuan Alden, tetapi apakah saya memenuhi syarat untuk posisi tersebut?"Alden tersenyum, "Itulah sebabnya saya menawarkannya kepada Anda. Saya yakin Anda bisa menghadapinya."Laras merenung sejenak. "Ini adalah tanggung jawab besar, dan jujur saya merasa sedikit cemas.""Mungki
Hari-hari di kantor berjalan seperti biasa bagi Laras, tetapi sejak pertemuan dengan Alden, ia merasa ada mata yang selalu mengawasinya. Setiap kali ia menengok ke arah kantor Alden, tirainya selalu tertutup rapat, tetapi rasa itu tak pernah hilang.Suatu hari, setelah rapat panjang dengan klien, Laras mengambil beberapa dokumen dan menuju ruangannya. Dia melintasi lorong panjang dan tiba-tiba, ia merasa seseorang mengawasinya. Dia menoleh dan melihat siluet Alden berdiri di balik pintu kacanya yang setengah terbuka. Dia hanya bisa melihat setengah wajah Alden, mata yang fokus mengamati setiap gerak-geriknya.Laras menelan ludah, mencoba menenangkan diri dan melanjutkan langkahnya. Namun, di dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan bermunculan. *Apakah Alden memang sedang mengawasinya? Atau mungkin ini hanya perasaannya saja?*Hari itu, saat jam makan siang, Laras memilih untuk makan di kantin kantor. Ia duduk di meja pojok, memandang ke luar jendela. Beberapa menit kemudian, Alden masuk
Kafe itu bercahaya redup, dengan nyala lilin di setiap meja memberikan suasana yang hangat dan intim. Laras tiba lebih dulu, memilih meja di pojok ruangan yang agak tersembunyi. Tidak lama kemudian, Alden masuk dengan langkah pasti dan matanya segera menemukan Laras. Dia tersenyum dan mendekat."Maaf membuat Anda menunggu," ucap Alden sambil duduk di seberang Laras."Tidak apa-apa. Saya sendiri baru saja tiba," jawab Laras dengan senyuman tipis.Pelayan segera mendekat mengantarkan menu. Mereka berdua memilih makanan dan minuman, lalu menunggu pesanan datang sambil berbicara hal-hal ringan."Jadi, mengapa Anda mengajak saya makan malam?" tanya Laras, memulai pembicaraan yang sebenarnya.Alden menarik napas dalam-dalam. "Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda, Laras. Tentang kita."Laras mengangkat alisnya, "Kita?"Alden mengangguk. "Saya menyadari bahwa ada ketertarikan di antara kita, dan saya tidak ingin menyembunyikannya lagi. Saya terkesan dengan dedikasi