"Dia emang susah diatur, selalu aja nurut apa kata istrinya, gak bisa dibilangin atau dirayu, hih amit-amit semoga kamu nanti gak punya anak yang kayak kakakmu itu," jawab Ibu bergidik bahu.
Si Suci manggut-manggut sambil menjebikan bibirnya juga sedikit."Oh ya Bu, terus itu soal sumbangan 5 juta per orang apa gak kebanyakan? Ibu kan tahu Suci gak punya duit, Bu," kata Suci lagi.Ibu berdecak sambil mengibaskan tangannya."Gak usah dipikirin itu mah, Ibu sengaja cuma mau bikin Kakakmu si Ridho kelabakan. Biar kakakmu itu kapok karena udah banyak bantah Ibu. Pokoknya intinya Ibu mau buat kakakmu, si Ridho itu kembali lagi ke rumah ini supaya si Ranti juga balik ke sini.""Ibu sih waktu itu pake bilang mereka masih numpang segala, jadinya kak Ridho kesinggung kan?"Ibu mengembuskan napas kasar."Ibu kesel sama kakakmu Ci, masa iya istrinya dibelain terus begitu, yang Ibu mau itu si Ridho kayak si Haris, selalu mengutamakan Ibu, tapi dibentak bukannya minta maaf dan takut si Ridho malah minggat, hih."Si Suci terkekeh menahan tawa."Lagian Ibu sok sok an ngusir Kak Ridho, kita akhirnya jadi susah kan? Mana sekarang susah pula buat ngajakin mereka balik lagi ke rumah ini," dengus Suci."Ya ini Ibu lagi berusaha Suci, Ibu tuh sengaja ngasih kalian jatah 5 juta per orang supaya si Ranti juga sadar diri, dia siapa sih? Kalau gak bisa kasih duit ya minimalnya dia harus mau dong tinggal di sini ngerjain kerjaan rumah ini, ya gak?" kata Ibu mengejutkan alisnya sambil tersenyum jahat.Mendengar percakapan mereka tak terasa rahangku sudah mengerat.Jadi ini yang diinginkan Ibu sebetulnya? Keterlaluan.Kalau begitu untuk apa aku masih di sini? Percuma, ibu memang sengaja hanya ingin menyudutkan aku dan Ranti.Akhirnya kuurungkan niat mengambil sajadah, bergegas aku ke dapur dan menarik istriku pulang tanpa berpamitan."Abang apa-apaan ini? Kenapa kita pulang buru-buru begini?" tanya Ranti saat kami dalam angkot."Udah pulang aja nanti Abang ceritakan."_Sesampainya di rumah setelah kami beribadah Ranti kembali bertanya."Abang tolong ceritakan ini teh ada apa sih sebetulnya? Dan kenapa kita harus pulang buru-buru? Acara tahlilan Bapak gimana?"Meski berat dan malu bukan kepalang, akhirnya kuceritakan semua yang kudengar tadi di rumah ibu.Semua tanpa ada yang terlewat, agar istriku juga tahu siapa mertuanya itu, bukan niat menjelekkan ibu sendiri tapi agar Ranti belajar membedakan mana yang tulus dan mana yang modus."Astagfirullah begitu rupanya, Bang?"Aku menganggukan kepala."Ish keterlaluan eta mah, awas aja bakal Ranti balas nanti, udah Ranti baik-baikin, semaksimal mah jadi menantu yang sempurna, dikira Ranti Ibu teh beneran sayang sama Ranti, beneran nerima Ranti tapi nyatanya apa? Tega bener," gerutunya dengan tangan dikepalkan."Ya emang begitu Ran, makanya kamu tuh jangan mudah percaya sama sikap baik dan polos seseorang, lebih baik biasa aja, biar kamu gak dimanfaatin lagi." Aku menegaskan sekali lagi, Ranti manggut-manggut di tempatnya.Sedang serius mengobrol, ponselku berdering."Loud speak, Bang," kata Ranti bersemangat."Hallo Kak Ridho, di mana sih? Kok gak ada di rumah? Orang-orang udah mau pada dateng nih," kata si Suci di jauh sana.Aku diam, malas sebetulnya bicara dengan keluargaku itu."Abang ngomong." Ranti mencubit perutku sebab aku yang tak kunjung menjawab omongan Suci dalam telepon."Males ah, nih kamu aja yang ngomong." Aku memberikan ponselku pada Ranti.Ranti berdecak kesal, akhirnya ia yang bicara dengan Suci."Hallo, kenapa Ci?""Kak Ranti, pada di mana sih? Orang-orang mau tahlilan kalian malah menghilang," tanya Suci kecut."Kita udah pulang, mau tahlilan di kontrakan aja," jawab Ranti, sama kecutnya.Aku menautkan alis saat mendengar nada suara Ranti yang tak biasa itu.Kenapa nih istriku? Tumben banget, biasanya tenang dan santai kok sekarang jadi sama aja kayak si Suci?"Hah pulang? Punya otak gak sih? Masa pulang, terus di sini siapa yang mau urus?" Si Suci makin kesal karena jawaban Ranti sama kecut dengannya."Otak mah jelas punya atuh, makanya ini kami pulang karena mau istirahatin otak dulu, ngerti kan gimana rasanya kerja dari pagi sampe magrib? Cape shay harus istirahat. Gantian dong kerjanya, sekarang bagian kalian, besok baru kami datang lagi."Tut tut tut. Telepon dimatikan sepihak oleh Ranti.Aku yang masih tak percaya menatapnya dengan mulut setengah menganga.Kesambet apa nih istriku? Kok jadi pemberani begini? Ya bagus sih, tapi aku kaget aja gitu."Heh ini kamu kenapa Ran?" tanyaku akhirnya sambil merebut ponsel itu darinya."Kenapa?" Ranti malah balik bertanya."Kamu kok jadi pemberani gini sih?"Ranti terbahak mendengar pertanyaan terakhirku."Emang kenapa gitu? Abang kaget ya pasti?"Aku menganggukan kepala. Jelas saja kaget, Ranti yang biasanya terlihat santai dan tenang kenapa sekarang kayak macan ternak?"Gak usah kaget ah, Ranti kan emang kayak begini, kemarin-kemarin Ranti diam dan nurut ya karena menurut Ranti gak perlu lah kita banyak berdebat sama keluarga sendiri, pamali kalau kata Ayah mah, apalagi sama ibu sendiri.""Tapi gara-gara tadi Abang cerita bagaimana ibu sebetulnya, beliau ternyata punya motif yang tak terduga, ya Ranti kesal atuh Bang, walau gimanapun Ranti juga manusia biasa," imbuhnya panjang lebar."Lah, dulu akan Abang suka ingetin Ran, kamu jangan mau aja kalau disuruh-suruh sama ibu dan keluarga Abang itu.""Ya dulu kan Abang gak kasih alesan jelasnya kayak sekarang, Bang.""Hadeh Ranti ... Ranti ... kamu itu terlalu baik apa polos sih? Kalau orang normal tuh ngerasa disuruh-suruh terus ya mikir dong sayang, mereka itu pasti cuma manfaatin kamu."Ranti mengibaskan tangan, "isshh gak boleh begitu lah Bang, kata Bunda Asmi, kita gak boleh berpikiran buruk sama orang, apalagi sama keluarga sendiri."Aku mengerling sambil menggeleng kepala."Ya udahlah Bang, yang penting 'kan sekarang Ranti udah tahu gimana sifat ibu dan keluarga Abang itu sebetulnya. Jadi nanti saat Ranti ketemu mereka Ranti bisa tuh pasang sikap yang seharusnya.""Nah bagus itu, emang harus gitu, bukan sama keluarga Abang aja, tapi sama semua orang pun emang harus gitu, seadanya aja jangan terlalu baik sekiranya mereka bakal manfaatin mah."Ranti mengangkat kedua jempolnya."Siap Abang, oh ya selesai tahlil buat Bapak kita makan di warnas yuk laper nih." Ajaknya sambil memegangi perut.Aku setuju. Selesai salat isya dan tahlil buat Bapak akhirnya kita pergi ke warnas langgananku di dekat kantor.Warnas di mana dulu aku bertemu dengan istri pujaanku ini."Bang, susah gak sih kalau kemana-mana naik angkot begini?" tanya Ranti saat kami masih di dalam angkot."Iya sebetulnya susah, tapi gimana? Ada mobil Abang di rumah ibu males bawanya. Tahu sendirilah sekarang kamu juga Ran, jangankan bawa apa-apa gak bawa apa-apa aja Ibu masih aja dendam sama Abang," jawabku lesu.Ranti menepuk pundakku."Besok kita beli, gak usahlah ambil dari rumah Ibu, males juga, takut dijadikan bahan omongan," kata Ranti."Ya besok kita beli," sahutku sambil mengerling.Istriku ini, selain pemberani baru kutahu dia pandai bercanda juga. Tadi saat di rumah ibu ia sepakati urunan 5 juta itu, barusan dia bilang besok kita beli mobil.Hadeh, dikira suaminya punya ilmu ngepet apa.Sesampainya kami di warnas."Eh si Kiranti ampun baru ke sini lagi sejak nikah," kata Bik Mae."Maklumlah Bik, namanya
"Heh berani banget sih Kak Ranti ngomong gitu sama Ibu." Si Suci menyahut geram.Tapi Ranti menghadapinya justru dengan tenang dan santai."Kenapa Ci? Kakak hanya minta catatan keuangannya saja, bukan minta uangnya, apa itu salah?" jawab Ranti lagi.Mulut si Suci menganga. "Betul." Kemudian Mbak Kania menyahut setuju."Kami rasa kami memang harus tahu untuk apa saja kira-kita uang 25 juta itu," imbuh Mbak Kania."Diam kamu Kania! Jangan suka ikut-ikutan kayak mereka. Mereka itu anak-anak durhaka!" sengit Ibu."Astagfirullah jangan sembarangan mengucap sumpah serapah, Bu, apalagi seenaknya melabeli anak sendiri dengan perkataan tidak baik," kata Ranti lagi.Ibu makin terlihat murka."Kamu emang benalu Ranti. Sudah kau kotori otak anakku sekarang kau pun kurang ajar sama Ibu." "Siapa sih Bu yang kurang ajar itu? Ranti hanya minta catatan pengeluaran dan pemasukan soal uang tahlilan, kira-kira siapa saja yang sudah menyumbang untuk tahlilan Bapak? Biar kalau ada yang belum nyumbang, bi
Aku berbalik menghadap Ranti yang tengah duduk di sisi ranjang.Perlahan aku juga duduk di sampingnya. Kasihan Ranti, dari semalam diam saja, sekarang kelihatan sangat kesal, mungkin dia sangat tersinggung dengan ucapan ibu semalam."Ranti ... maafkan atas ucapan ibu semalam ya, kamu kan tahu gimana ibu, jangan dimasukan ke hati ya," ucapku pelan.Ranti menggeleng dan mengibaskan tangannya."Gak apa-apa, Bang.""Tadi kamu bilang mau beli mobil biar gak dihina-hina ibu lagi, Abang jadi ngerasa bersalah."Ranti malah tertawa."Ranti mau beli mobil bukan karen itu aja sih alesannya, tapi biar Abang gak telat pergi kerja kalau hujan," jawabnya sambil menyanggah dagunya di atas bantal.Aku tersenyum sambil menggeleng kepala, lalu mengacak rambutnya yang diikat ke belakang."Iya nanti kita beli ya, tapi kalau Abang udah naik jabatan atau dapat bonus mendadak," kataku terkekeh.Aku lalu bangkit."Eh Abang mau kemana? Tunggu dulu."Aku akhirnya duduk kembali."Apa lagi? Katanya kamu mau beli
Percakapan mereka berakhir. Aku yang sejak tadi hanya menyimak langsung bertanya."Kenapa kata Ayah sama Bunda Ran?""Mereka mau bantuin kita beli rumah Bang, asik," jawab Ranti berseri-seri.Alisku menaut.Bantuin beli rumah? Apa tak salah? Maaf maaf tapi kalau boleh jujur, rumah keluarga Ranti di kampung itu sangat sederhana bahkan jauh dari kata mewah.Bahkan mereka itu terlihat seperti keluarga golongan menengah ke bawah, itulah sebabnya ibu sering sewot sama Ranti karena beliau berpikir keluarga Ranti itu jauh beda dengan keluargaku.Tapi sekarang apa? Mereka mau bantuin kami beli rumah?"Abang kenapa sih bengong begitu?" Ranti mengagetkanku lagi."Enggak Ran, Abang cuma khawatir Ayah sama Bunda akan kecewa sama Abang."Ranti berdecak sambil mengibaskan tangannya."Ck Ayah sama Bunda bukan orang seperti itu, Bang.""Tapi kalau bisa gak usahlah kita minta bantuan mereka soal tempat tinggal Ran, kasihan, masa rumah buat kita mereka yang harus pusing." Ranti tertawa sedikit, "kenap
Aku cekikikan sambil kutahan sebisanya."Hihihi."Malu bukan main pasti sedang ibu rasakan sekarang."Gak salah denger nih kita, Bu?" tanya seorang ibu pengajian yang punya alis cetar.Sepertinya ibu itu juga menyimpan dendam pada ibuku, karena dilihat dari wajahnya ia tampak sangat puas menertawakan juga."Enggak Ibu-Ibu, bukan begitu, menantu saya ini kadang emang harus diginiin supaya dia ngerti, maklumlah dari kampung maksa mau jadi istri anak saya, yaa ibaratnya cocok jadi pembantu malah maksa mau jadi ratu, jadinya enggak nyambung, hehe hihi," ujar Ibu. Tertawa elegan diakhir kalimatnya.Sontak aku diam. Lagi-lagi ibu berani hina istriku, keterlaluan."Ah kata siapa cocok jadi pembantu? Wajahnya ayu begitu, pinter pula.""He em udah ayu, pinter dan baik pula, buktinya nawarin kita buah, enggak kayak tuan rumahnya haha hihi hahahaha."Semua ibu-ibu tertawa lepas. Seperti sangat puas sekali menertawakan ibuku, terutama bu Husaebah tetangga kami di komplek yang dandanannya paling h
Aku menelan saliva. Tapi untunglah Bunda segera bicara."Gak apa-apa Rid, jangan heran, itu namanya ibu mu sedang cemburu, makanya ibu mu itu selalu marah tanpa alasan dan apa yang dilakukan Ranti selalu saja salah di mata beliau."Ayah mertua kembali bicara."Tapi apa perlu cemburu berlebihan seperti ini?""Aa bisa diem gak?" Bunda menyentak. Ayah mertua sontak diam."Gak apa-apa ibu mu begitu, yang penting kamu harus punya prinsip kuat, bahwa rumah tangga itu dipelihara berdua, dijalani berdua dan dilewati berdua. Bunda terimakasih sekali karena kamu sudah membela Ranti, itulah yang membuat rumah tangga menjadi langgeng, suami jadi orang terdepan untuk membela istri dan istri jadi orang terdepan yang menyemangati suami."Bunda memberiku wejangan panjang lebar. Kudengarkan dan kuterima dengan baik."Oh ya Ran, kamu punya uang berapa ingin beli rumah, Nak?" tanya Bunda lagi pada Ranti."Gak tahu juga, udah lama gak dihitung. Bentar Ranti ambil dulu."Istriku bangkit mengambil panci ya
Dari rumah ibu aku pun segera pergi ke kantor dan bekerja seperti biasanya meski sudah telat sedikit.Pukul 5 sore sepulang aku kerja, Ranti, Bunda dan Ayah sudah ada di kontrakan lagi. Mereka tengah dengan serius mengobrol sambil memakan rujak dan minuman dingin."Sini, Bang," kata Ranti.Aku pun ikut menimbrung."Bang kita udah dapat rumah baru dong." Ranti memberi kabar dengan wajah berseri-seri."Oh ya? Kok bisa?""Bisa dong dibantu broker rumah yang biasa kerja di Ayah, langsung sat sit set dapet. Ranti yakin Abang bakal cocok, karena rumahnya ada di perumahan mewah dan berkelas."Aku mengernyitkan dahi, sedikit tak paham soal broker rumah yang biasa kerja pada Ayah, maksudnya gimana? Tapi ah ya sudahlah yang penting Ranti senang, ia sudah dapatkan rumah sesuai yang ia mau."Rumahnya masih dalam tahap pembangunan sebulan lagi kita tengok lah, Bang," katanya lagi."Siap, Bos.""Oh ya pada tahu gak?" Aku bicara lagi.Mereka yang tengah berkumpul menoleh."Apa, Bang?""Toko ibu mau
"300 juta bukan uang sedikit tentunya. Saya ragu apa isi rekeningmu mencapai 300 juta," katanya nyaris merendahkan ayah.Aku menggebrak meja lagi."Jangan bicara begitu pada Ayah saya."Ayah menahan dadaku agar tak semakin liar."Oke oke baik, kalem saja anak muda, sebentar." Pria itu bangkit dan mengambil sertifikat toko dari kamarnya."Itu kan yang kalian maksud?" Dilemparkannya sertifikat itu kemudian ke atas meja.Segera kuambil dan kubaca dengan teliti."Benar, ini sertifikatnya, Yah." "Oke ambilkan saya kwitansi dan nomor rekening Anda," kata Ayah lagi.Pria itu kembali masuk untuk kedua kalinya."Sudah saya transfer 300 juta," ucap Ayah saat Pak Hanapi sudah duduk di sofa bersama kami lagi."Oke!" Pak Hanapi segera membuat kwitansi penebusan sertifikat itu."Atas nama siapa?" tanyanya."Ridho, Ridho Semesta," jawab Ayah mantap.Aku yang sedikit kaget hanya bisa mengatupkan bibir."Kenapa Ayah gak tulis nama Ayah aja?" "Biarlah, kwitansi ini nanti untuk ditunjukan juga pada i