"Ran tolong dong ambilkan tisu, piringnya kayak kotor gini," kata Mas Haris saat kami hendak sarapan di meja makan."Masa sih, Mas? Itu sudah dilap loh sama Ranti tadi pagi.""Bawel banget, ambilin aja napa sih," sahut Mbak Kania-istri Mas Haris.Akhirnya Ranti yang baru saja akan duduk kembali ke belakang mengambil tisu.Selesai mengambil tisu, Ranti duduk di sebelahku. Saat baru saja ia akan mengambilkan nasi goreng ke dalam piringku ibu sudah kembali memerintahnya."Kecapnya dong Ran, kurang kecap ini nasi gorengnya.""Itu emang sengaja Bu, Bang Ridho gak terlalu suka kalau nasi gorengnya kebanyakan kecap," jawab Ranti."Ya udah sih ambilin aja, pake ngasih alesan segala," sahut Mbak Kania lagi.Karena malas berdebat Ranti kembali bangkit mengambil kecap.Aku mulai memasang wajah tak suka."Ibu 'kan udah bilang, bikin nasi gorengnya dipisah aja buat Ridho sama buat kita, beda selera soalnya," kata Ibu seraya mengambil botol kecap itu dari tangan Ranti."Maaf Bu, soalnya tadi Ranti
"Ridho hentikan! Kamu mau kemana?"Ibu merebut baju di tanganku dan melemparkannya ke tembok."Ridho mau pergi dari sini, lebih baik Ridho tinggal di kontrakan daripada tinggal rumah ini tapi gak ada satupun yang mau menghargai Ranti sebagai istri Ridho," tegasku.Mulut ibu menganga, mungkin beliau sedang syok karena anak lelaki yang biasanya selalu kalem dan nurut apa saja kata beliau kini berubah jadi macan liar."Ridho! Apa-apaan ini? Tinggal di kontrakan katamu?!" sengit Ibu.Dan sebelum aku menjawabnya ibu sudah bicara lagi."Heh kamu gadis kampung." Ibu melotot ke arah Ranti seraya menoyor dadanya sebelah."Lihat anakku! Sejak dia menikah denganmu entah kenapa anakku jadi anak durhaka seperti ini, dia jadi berani membantah dan membentakku begini," imbuh beliau berteriak kencang.Tubuh Ranti bergetar ketakutan. "Tapi Ranti gak ada niat buat-""Diam kamu!" potong Ibu. Beliau bertelunjuk jari, sejurus kemudian tangan beliau melayang dengan gagahnya, untunglah aku segera menangkis
Aku pun benar-benar pergi tanpa membawa apapun dari rumah itu. Malas juga, takutnya mereka ngajak debat lagi gimana?Bismillah aja, walau pergi tanpa apapun, bahkan mobilku pun aku tinggal, tapi aku yakin kalau niat membahagiakan istri pasti akan selalu diberikan jalan yang mudah.Saat kami berjalan di bahu jalan perumahan mewah ibu, Ranti mengentikan langkah sambil menarik tanganku sedikit."Kita mau pergi kemana, Bang?""Entahlah."Ranti menarik napas berat."Ranti kan sudah bilang, apa-apa teh coba atuh dipikirkan dulu, pikirkan masak-masaknya.""Abang kesal Ran, kamu selalu aja disuruh-suruh begitu, dua bulan Abang sabar, hari ini mungkin bom waktu nya."Ranti menggelengkan kepala."Kita bahkan gak pamitan ke Bapak loh, kasihan nanti kalau beliau nyariin, gimana?" ucapnya lagi dengan wajah cemas.Aku menghela napas dalam, baru kuuingat soal bapak.Sudah 5 bulan ini Bapak sakit, beliau hanya bisa terbaring di kamar dengan selang infus dan oksigen.Itulah kenapa ibuku tak memperker
Ranti menggeleng dengan senyuman renyah."Kasih aja atuh Bang, gak apa-apa kita setengahnya aja."Aku menatap Ranti dengan kening mengerut, istri yang aneh, biasanya para istri minta uang belanja sepenuhnya, tapi ini gaji malah disuruh kasih ke ibu setengahnya.Gajiku cuma 4,7 juta, kalau kukasih ke ibu 2 juta saja, apa dia bisa kelola sisanya dalam waktu sebulan? Belum lagi biaya transfort juga aku selalu minta setiap hari."Udah transfer aja, Bang." "Kamu yakin Ran? Sisanya cuma 2 juta 700 loh kalau Abang transfer ke ibu 2 juta. Kamu harus bayar kontrakan, bayar iuran, belanja sehari-hari belum lagi uang transfort Abang." "Yakin." jawabnya sambil mengecek sesuatu di dalam plastiknya.Akhirnya aku pun membuka aplikasi mobile bankingku dan mentransfer gaji 2 juta rupiah ke rekening Ibu."Sudah Ran.""Alhamdulillah, semoga Bapak cepet sembuh." katanya.Tak lama ponselku kembali berdering. Nama mbak Kania tertera di sana."Ada apa nih mbak Kania? Tumben telepon, jangan-jangan mau buat
Ah aku harap keputusanku membawa Ranti pergi bukanlah keputusan yang salah, aku hanya ingin menyelamatkan Ranti dari ketidakberdayaan dan ulah keluargaku yang senang memanfaatkannya.Lagipula aku menikahinya untuk kujadikan pendamping hidup, bukan untuk menjadi pembantu, enak saja."Ya udah nanti Haris ambil lagi uang gaji Haris ke Kania," jawab Mas Haris akhirnya dengan nada suara yang frustasi."Bagus, gitu dong, lagian si Kania kan juga kerja, gak usahlah kamu kasih dia uang, biar uangmu buat berobat Bapak saja, kamu kasih semua ke Ibu," kata Ibu lagi, berusaha sekuat tenaga agar anak lelakinya itu mau menuruti beliau. "Ya udah iya." Lagi-lagi Mas Haris setuju walau dari nada suaranya kudengar tampak sangat berat.Bagaimana tidak berat? Walau bagaimanapun siapa sih yang ingin urusan keuangan dan urusan rumah tangganya dicampuri orang lain?Walau yang mencampurinya adalah ibu sendiri, rasanya tetap saja berat.Alih-alih menikah untuk bahagia malah terancam kandas di tengah jalan.C
"Loh ya gak bisa gitu dong Rid, kasihan Ibu nanti pemasukannya kurang kalau kamu gak transfer," sahut Mas Haris keberatan."Pemasukan untuk apa sih sebetulnya? Uang dari Ridho kan untuk biaya perawatan Bapak, uang dari Mas Haris anggaplah untuk hidup sehari-hari dan uang dari Suci buat pengobatan Bapak, apa itu masih kurang juga?" Aku mencecar menjelaskan satu persatu sumber dan kemana sekiranya uang itu pergi.Biarlah ibu tak suka dan biarlah aku dianggap anak perhitungan. Selama ini aku hanya manut apa kata ibu, dimintai setengah gaji, istriku disuruh kerjakan tugas rumah dan bahkan ibu pernah bilang padaku seperti apa yang beliau katakan pada Mas Haris saat tadi di belakang.Katanya meski aku sudah menikah, kewajibanku tetap menomor satukan ibu, barulah setelah itu istriku.Aku ingat saat ibu maksa minta dibelikan baju setelah aku ketahuan membelikan Ranti baju dari mall. Dan yang membuatku tak habis pikir ibu minta baju yang harganya jauh di atas harga baju Ranti.Padahal saat i
Masalahnya dari mana aku dapat uang sebanyak itu? Gajiku saja bahkan gak sampe 5 juta per bulannya.Mbak Kania dan Mas Haris mungkin bisa karena mereka sama-sama punya gaji, sementara aku dan Ranti?"Iya, kenapa? Jangan bilang ya kamu keberatan lagi, ini tahlilan Bapak loh," sahut Ibu, mencecar tajam ke arah aku dan Ranti."Bu, tapi masalahnya dari mana kami dapat uang sebanyak itu?""Ya terserah kamu!" sengit Ibu. Wajahnya makin tak santai sejak seminggu lalu kami berdebat soal biaya perawatan Bapak."Sok sok an mau tanggung perawatan Bapak, sekarang Bapak meninggal aja gak mampu sumbang tahlilan." Ibu bicara lagi dengan suara pelan namun masih dapat kudengar jelas."Ya bukannya begitu Bu, kalau bayar perawat kan rutin tiap bulan sehabis Ridho gajian, nah sekarang, Ibu bilang kami harus sumbang dalam waktu 7 hari, darimana kami dapat uang 10 juta itu, Bu?" Aku mencoba menjelaskan walau kutahu kekesalan Ibu padaku akan kembali membuatku dan Ranti tersudut."Ya dari mana aja terserah k
"Dia emang susah diatur, selalu aja nurut apa kata istrinya, gak bisa dibilangin atau dirayu, hih amit-amit semoga kamu nanti gak punya anak yang kayak kakakmu itu," jawab Ibu bergidik bahu.Si Suci manggut-manggut sambil menjebikan bibirnya juga sedikit."Oh ya Bu, terus itu soal sumbangan 5 juta per orang apa gak kebanyakan? Ibu kan tahu Suci gak punya duit, Bu," kata Suci lagi.Ibu berdecak sambil mengibaskan tangannya."Gak usah dipikirin itu mah, Ibu sengaja cuma mau bikin Kakakmu si Ridho kelabakan. Biar kakakmu itu kapok karena udah banyak bantah Ibu. Pokoknya intinya Ibu mau buat kakakmu, si Ridho itu kembali lagi ke rumah ini supaya si Ranti juga balik ke sini.""Ibu sih waktu itu pake bilang mereka masih numpang segala, jadinya kak Ridho kesinggung kan?"Ibu mengembuskan napas kasar."Ibu kesel sama kakakmu Ci, masa iya istrinya dibelain terus begitu, yang Ibu mau itu si Ridho kayak si Haris, selalu mengutamakan Ibu, tapi dibentak bukannya minta maaf dan takut si Ridho malah