Aku pun benar-benar pergi tanpa membawa apapun dari rumah itu. Malas juga, takutnya mereka ngajak debat lagi gimana?
Bismillah aja, walau pergi tanpa apapun, bahkan mobilku pun aku tinggal, tapi aku yakin kalau niat membahagiakan istri pasti akan selalu diberikan jalan yang mudah.Saat kami berjalan di bahu jalan perumahan mewah ibu, Ranti mengentikan langkah sambil menarik tanganku sedikit."Kita mau pergi kemana, Bang?""Entahlah."Ranti menarik napas berat."Ranti kan sudah bilang, apa-apa teh coba atuh dipikirkan dulu, pikirkan masak-masaknya.""Abang kesal Ran, kamu selalu aja disuruh-suruh begitu, dua bulan Abang sabar, hari ini mungkin bom waktu nya."Ranti menggelengkan kepala."Kita bahkan gak pamitan ke Bapak loh, kasihan nanti kalau beliau nyariin, gimana?" ucapnya lagi dengan wajah cemas.Aku menghela napas dalam, baru kuuingat soal bapak.Sudah 5 bulan ini Bapak sakit, beliau hanya bisa terbaring di kamar dengan selang infus dan oksigen.Itulah kenapa ibuku tak memperkerjakan ART, karena sejak Bapak sakit kami jadi butuh biaya pengobatan yang lumayan, belum lagi keuangan kami juga merosot perlahan-lahan.Toko kelontong yang sekarang dikelola ibu pendapatannya makin sedikit dan bahkan sulit ditebak setiap harinya.Untunglah masih ada gajiku, mas Haris dan si Suci, walau gaji bekerja sebagai karyawan biasa tak begitu besar, tapi cukuplah untuk kami makan dan biaya pengobatan Bapak.Setiap bulannya kami akan dimintai setengah dari uang gaji kami dengan alasan untuk biaya hidup dan pengobatan Bapak, ya mungkin dari sana juga sebabnya kenapa ibu gak mengizinkan anak laki-lakinya pisah rumah.Tapi entahlah aku juga tak begitu paham apa maksud dan keinginan ibu itu."Soal Bapak, nanti kan kita akan rutin ke sana nengokin beliau Ran, gak usah khawatir ya, yang penting sekarang kamu aman dulu, kamu istri Abang, tanggung jawab Abang, kamu juga berhak bahagia." Aku meyakinkannya.Ranti yang berpembawaan tenang itu tak bicara lagi, kami lalu meneruskan langkah mencari sebuah kontrakan."Abang teh yakin bisa tinggal di sini?" tanya Ranti dengan khas logat Sunda nya, saat kami berada di depan sebuah kontrakan.Ranti adalah wanita berdarah Sunda, kedua orang tua nya masih lengkap, ia juga punya sodara bernama Hasjun, mereka semua tinggal di kampung.Memang kehidupan mereka amat sederhana, karena itulah aku bertekat untuk terus membahagiakannya semampu yang kubisa."Yakin dong kenapa enggak?" senyumku padanya.Ranti lalu membuka kontrakan itu.Sebelum kami masuk seseorang sudah datang menyapa kami."Eh Mbak Ranti, sudah di sini aja," katanya.Seketika keningku mengerut. Siapa dia? Kok kenal Ranti?"Iya ini Bu, mau tinggal di sini.""Oh semoga betah ya Mbak Ranti," katanya lagi sambil berlalu dari hadapan kami.Aku yang masih terheran-heran cepat bertanya."Siapa dia Ran? Kok dia kayak kenal sama Ranti?""Ah biasalah emak-emak," jawabnya ringan sambil mengajakku masuk.Kulupakan soal orang tadi lalu menyeret koperku ke dalam.Sekarang aku akan memulai hidup baru di kontrakan ini. Kupandangi tiap sudut kontrakan yang hanya terdapat 3 petak itu."Di sini belum ada AC Bang, panas," kata Ranti."Gak apa-apa Abang akan berusaha adaptasi."Hari berlalu, seminggu sejak kami mengontrak rumah.Perlahan-lahan, meski sejujurnya aku sedikit kesulitan tinggal di kontrakan aku berusaha untuk terus bersabar dan kuat menjalaninya agar aku terbiasa.Aku gak boleh sampai balik lagi ke rumah ibu, kasihan Ranti, lebih baik aku yang tersiksa sedikit di sini daripada aku hidup mewah tapi istriku sudah layaknya babu di sana.Aku juga akan tunjukan sama ibuku, kalau aku bisa dan mampu hidup mandiri, meski di kontrakan yang amat sederhana."Gajian masih seminggu lagi, apa uang belanjanya masih ada?" tanyaku pagi ini sambil memakai kaos kaki di bibir pintu."Ada atuh Abang," jawabnya.Entah kenapa setiap kutanya istriku soal uang belanja ia selalu jawab masih ada, padahal seminggu lalu saat kami pindah ke kontrakan aku hanya memberinya uang 900 ribu karena saat itu hanya tersisa segitu di dalam dompet.Aku hampir setiap hari bertanya apakah uangnya masih ada? Karena aku tahu dari tetangga kontrakan katanya biaya sewa kontrakan di sini sebesar 800 ribu perbulannya, jadi mungkin uang yang kuberikan seminggu lalu itu sisanya hanya 100 ribu yang bisa dikelola istriku sehari-hari.Tapi ajaib bukan main, uang 100 ribu itu masih saja ada katanya, padahal aku tahu harga cabe dan bawang lagi meroket."Kalau uangnya habis bilang aja Ran, nanti Abang usahakan pinjam ke teman atau ke bos," ujarku lagi meyakinkannya.Ranti menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis."Gak usah atuh, orang uangnya juga masih cukup," jawabnya lagi.Baiklah, aku tak memaksa. Hari itu akupun pergi bekerja seperti biasa.***Seminggu kemudian."Hallo Ridho, transferin setengah gajimu buat biaya pengobatan Bapak," kata Ibu di dalam sambungan telepon.Aku yang baru saja pulang kerja menggeleng kepala.Baru saja sampai aku sudah ditodong, gak pake basa-basi pula. Hadeh ibu ... ibu.Walau beliau lagi marah pada kami, tapi kalau soal duit sepertinya ibuku itu tak ingin melewatkannya."Iya nanti Ridho transfer."Tut tut tut. Telepon dimatikan sepihak."Hadeh."Tak lama Ranti datang dari luar. Setelah menaruh barang bawaannya ke atas karpet ia bertanya."Ada apa, Bang?""Ibu, udah nodong uang," jawabku sambil menggeleng kepala."Berikan saja, buat berobat Bapak, kan?""Iya, tapi masalahnya Ibu masih aja minta setengah gaji Abang, bukannya gak mau kasih, tapi kan sekarang kita harus bayar kontrakan juga Ran," ujarku sambil memijit kening yang tiba-tiba terasa nyut-nyutan.Ranti menggeleng dengan senyuman renyah."Kasih aja atuh Bang, gak apa-apa kita setengahnya aja."Aku menatap Ranti dengan kening mengerut, istri yang aneh, biasanya para istri minta uang belanja sepenuhnya, tapi ini gaji malah disuruh kasih ke ibu setengahnya.Gajiku cuma 4,7 juta, kalau kukasih ke ibu 2 juta saja, apa dia bisa kelola sisanya dalam waktu sebulan? Belum lagi biaya transfort juga aku selalu minta setiap hari."Udah transfer aja, Bang." "Kamu yakin Ran? Sisanya cuma 2 juta 700 loh kalau Abang transfer ke ibu 2 juta. Kamu harus bayar kontrakan, bayar iuran, belanja sehari-hari belum lagi uang transfort Abang." "Yakin." jawabnya sambil mengecek sesuatu di dalam plastiknya.Akhirnya aku pun membuka aplikasi mobile bankingku dan mentransfer gaji 2 juta rupiah ke rekening Ibu."Sudah Ran.""Alhamdulillah, semoga Bapak cepet sembuh." katanya.Tak lama ponselku kembali berdering. Nama mbak Kania tertera di sana."Ada apa nih mbak Kania? Tumben telepon, jangan-jangan mau buat
Ah aku harap keputusanku membawa Ranti pergi bukanlah keputusan yang salah, aku hanya ingin menyelamatkan Ranti dari ketidakberdayaan dan ulah keluargaku yang senang memanfaatkannya.Lagipula aku menikahinya untuk kujadikan pendamping hidup, bukan untuk menjadi pembantu, enak saja."Ya udah nanti Haris ambil lagi uang gaji Haris ke Kania," jawab Mas Haris akhirnya dengan nada suara yang frustasi."Bagus, gitu dong, lagian si Kania kan juga kerja, gak usahlah kamu kasih dia uang, biar uangmu buat berobat Bapak saja, kamu kasih semua ke Ibu," kata Ibu lagi, berusaha sekuat tenaga agar anak lelakinya itu mau menuruti beliau. "Ya udah iya." Lagi-lagi Mas Haris setuju walau dari nada suaranya kudengar tampak sangat berat.Bagaimana tidak berat? Walau bagaimanapun siapa sih yang ingin urusan keuangan dan urusan rumah tangganya dicampuri orang lain?Walau yang mencampurinya adalah ibu sendiri, rasanya tetap saja berat.Alih-alih menikah untuk bahagia malah terancam kandas di tengah jalan.C
"Loh ya gak bisa gitu dong Rid, kasihan Ibu nanti pemasukannya kurang kalau kamu gak transfer," sahut Mas Haris keberatan."Pemasukan untuk apa sih sebetulnya? Uang dari Ridho kan untuk biaya perawatan Bapak, uang dari Mas Haris anggaplah untuk hidup sehari-hari dan uang dari Suci buat pengobatan Bapak, apa itu masih kurang juga?" Aku mencecar menjelaskan satu persatu sumber dan kemana sekiranya uang itu pergi.Biarlah ibu tak suka dan biarlah aku dianggap anak perhitungan. Selama ini aku hanya manut apa kata ibu, dimintai setengah gaji, istriku disuruh kerjakan tugas rumah dan bahkan ibu pernah bilang padaku seperti apa yang beliau katakan pada Mas Haris saat tadi di belakang.Katanya meski aku sudah menikah, kewajibanku tetap menomor satukan ibu, barulah setelah itu istriku.Aku ingat saat ibu maksa minta dibelikan baju setelah aku ketahuan membelikan Ranti baju dari mall. Dan yang membuatku tak habis pikir ibu minta baju yang harganya jauh di atas harga baju Ranti.Padahal saat i
Masalahnya dari mana aku dapat uang sebanyak itu? Gajiku saja bahkan gak sampe 5 juta per bulannya.Mbak Kania dan Mas Haris mungkin bisa karena mereka sama-sama punya gaji, sementara aku dan Ranti?"Iya, kenapa? Jangan bilang ya kamu keberatan lagi, ini tahlilan Bapak loh," sahut Ibu, mencecar tajam ke arah aku dan Ranti."Bu, tapi masalahnya dari mana kami dapat uang sebanyak itu?""Ya terserah kamu!" sengit Ibu. Wajahnya makin tak santai sejak seminggu lalu kami berdebat soal biaya perawatan Bapak."Sok sok an mau tanggung perawatan Bapak, sekarang Bapak meninggal aja gak mampu sumbang tahlilan." Ibu bicara lagi dengan suara pelan namun masih dapat kudengar jelas."Ya bukannya begitu Bu, kalau bayar perawat kan rutin tiap bulan sehabis Ridho gajian, nah sekarang, Ibu bilang kami harus sumbang dalam waktu 7 hari, darimana kami dapat uang 10 juta itu, Bu?" Aku mencoba menjelaskan walau kutahu kekesalan Ibu padaku akan kembali membuatku dan Ranti tersudut."Ya dari mana aja terserah k
"Dia emang susah diatur, selalu aja nurut apa kata istrinya, gak bisa dibilangin atau dirayu, hih amit-amit semoga kamu nanti gak punya anak yang kayak kakakmu itu," jawab Ibu bergidik bahu.Si Suci manggut-manggut sambil menjebikan bibirnya juga sedikit."Oh ya Bu, terus itu soal sumbangan 5 juta per orang apa gak kebanyakan? Ibu kan tahu Suci gak punya duit, Bu," kata Suci lagi.Ibu berdecak sambil mengibaskan tangannya."Gak usah dipikirin itu mah, Ibu sengaja cuma mau bikin Kakakmu si Ridho kelabakan. Biar kakakmu itu kapok karena udah banyak bantah Ibu. Pokoknya intinya Ibu mau buat kakakmu, si Ridho itu kembali lagi ke rumah ini supaya si Ranti juga balik ke sini.""Ibu sih waktu itu pake bilang mereka masih numpang segala, jadinya kak Ridho kesinggung kan?"Ibu mengembuskan napas kasar."Ibu kesel sama kakakmu Ci, masa iya istrinya dibelain terus begitu, yang Ibu mau itu si Ridho kayak si Haris, selalu mengutamakan Ibu, tapi dibentak bukannya minta maaf dan takut si Ridho malah
Aku setuju. Selesai salat isya dan tahlil buat Bapak akhirnya kita pergi ke warnas langgananku di dekat kantor.Warnas di mana dulu aku bertemu dengan istri pujaanku ini."Bang, susah gak sih kalau kemana-mana naik angkot begini?" tanya Ranti saat kami masih di dalam angkot."Iya sebetulnya susah, tapi gimana? Ada mobil Abang di rumah ibu males bawanya. Tahu sendirilah sekarang kamu juga Ran, jangankan bawa apa-apa gak bawa apa-apa aja Ibu masih aja dendam sama Abang," jawabku lesu.Ranti menepuk pundakku."Besok kita beli, gak usahlah ambil dari rumah Ibu, males juga, takut dijadikan bahan omongan," kata Ranti."Ya besok kita beli," sahutku sambil mengerling.Istriku ini, selain pemberani baru kutahu dia pandai bercanda juga. Tadi saat di rumah ibu ia sepakati urunan 5 juta itu, barusan dia bilang besok kita beli mobil.Hadeh, dikira suaminya punya ilmu ngepet apa.Sesampainya kami di warnas."Eh si Kiranti ampun baru ke sini lagi sejak nikah," kata Bik Mae."Maklumlah Bik, namanya
"Heh berani banget sih Kak Ranti ngomong gitu sama Ibu." Si Suci menyahut geram.Tapi Ranti menghadapinya justru dengan tenang dan santai."Kenapa Ci? Kakak hanya minta catatan keuangannya saja, bukan minta uangnya, apa itu salah?" jawab Ranti lagi.Mulut si Suci menganga. "Betul." Kemudian Mbak Kania menyahut setuju."Kami rasa kami memang harus tahu untuk apa saja kira-kita uang 25 juta itu," imbuh Mbak Kania."Diam kamu Kania! Jangan suka ikut-ikutan kayak mereka. Mereka itu anak-anak durhaka!" sengit Ibu."Astagfirullah jangan sembarangan mengucap sumpah serapah, Bu, apalagi seenaknya melabeli anak sendiri dengan perkataan tidak baik," kata Ranti lagi.Ibu makin terlihat murka."Kamu emang benalu Ranti. Sudah kau kotori otak anakku sekarang kau pun kurang ajar sama Ibu." "Siapa sih Bu yang kurang ajar itu? Ranti hanya minta catatan pengeluaran dan pemasukan soal uang tahlilan, kira-kira siapa saja yang sudah menyumbang untuk tahlilan Bapak? Biar kalau ada yang belum nyumbang, bi
Aku berbalik menghadap Ranti yang tengah duduk di sisi ranjang.Perlahan aku juga duduk di sampingnya. Kasihan Ranti, dari semalam diam saja, sekarang kelihatan sangat kesal, mungkin dia sangat tersinggung dengan ucapan ibu semalam."Ranti ... maafkan atas ucapan ibu semalam ya, kamu kan tahu gimana ibu, jangan dimasukan ke hati ya," ucapku pelan.Ranti menggeleng dan mengibaskan tangannya."Gak apa-apa, Bang.""Tadi kamu bilang mau beli mobil biar gak dihina-hina ibu lagi, Abang jadi ngerasa bersalah."Ranti malah tertawa."Ranti mau beli mobil bukan karen itu aja sih alesannya, tapi biar Abang gak telat pergi kerja kalau hujan," jawabnya sambil menyanggah dagunya di atas bantal.Aku tersenyum sambil menggeleng kepala, lalu mengacak rambutnya yang diikat ke belakang."Iya nanti kita beli ya, tapi kalau Abang udah naik jabatan atau dapat bonus mendadak," kataku terkekeh.Aku lalu bangkit."Eh Abang mau kemana? Tunggu dulu."Aku akhirnya duduk kembali."Apa lagi? Katanya kamu mau beli