"Ridho hentikan! Kamu mau kemana?"
Ibu merebut baju di tanganku dan melemparkannya ke tembok."Ridho mau pergi dari sini, lebih baik Ridho tinggal di kontrakan daripada tinggal rumah ini tapi gak ada satupun yang mau menghargai Ranti sebagai istri Ridho," tegasku.Mulut ibu menganga, mungkin beliau sedang syok karena anak lelaki yang biasanya selalu kalem dan nurut apa saja kata beliau kini berubah jadi macan liar."Ridho! Apa-apaan ini? Tinggal di kontrakan katamu?!" sengit Ibu.Dan sebelum aku menjawabnya ibu sudah bicara lagi."Heh kamu gadis kampung." Ibu melotot ke arah Ranti seraya menoyor dadanya sebelah."Lihat anakku! Sejak dia menikah denganmu entah kenapa anakku jadi anak durhaka seperti ini, dia jadi berani membantah dan membentakku begini," imbuh beliau berteriak kencang.Tubuh Ranti bergetar ketakutan."Tapi Ranti gak ada niat buat-""Diam kamu!" potong Ibu. Beliau bertelunjuk jari, sejurus kemudian tangan beliau melayang dengan gagahnya, untunglah aku segera menangkis tangan itu agar tak sampai mendarat di pipi Ranti."Jangan sakiti istri Ridho, Bu," ucapku menatap beliau tajam.Wajah ibu memerah, tampak kemarahan yang sangat besar berkobar di sana."Lepaskan! Biar Ibu tunjukan siapa dia dan apa tempat yang pantas buat wanita ini!" sengit Ibu.Kulepaskan tangan ibu pelan-pelan, kutatap matanya tajam."Kalau Ibu gak bisa nerima Ranti sebagai istri Ridho, jangan salahkan Ridho kalau Ridho akan benar-benar melupakan rumah ini," ancamku.Mulut ibu lagi-lagi menganga. Setelah itu beliau tampak berusaha menetralkan diri semampunya.Ibu membuang napasnya perlahan-lahan setelah itu beliau kembali bicara dengan suara yang sudah normal."Ridho ... udahlah, gak perlu besar-besarkan masalah begini, kamu anak Ibu kan? Selama ini kamu tinggal bersama Ibu, sekarang gak mungkin kamu bisa tinggal jauh dari Ibu, apalagi di rumah kontrakan, ayo taruh lagi bajunya, kita kembali sarapan ya."Alisku menaut, kenapa ibu jadi seperti ini? Tadi beliau sedang amat murka, tapi sekarang apa? Apa ibu sedang berusaha meyakinkanku agar aku mengurungkan niatku pergi dari rumah ini?Ya benar. Mungkin saja.Aku tahu, ketakutan ibu memang begitu, beliau sangat takut melepaskan kedua anak lelakinya tinggal terpisah, itulah kenapa mas Haris juga masih tinggal bersama kami walau ia sudah menikah 5 tahun yang lalu.Entahlah apa alasannya aku pun tak tahu.Sebetulnya aku tak keberatan kalau harus terus tinggal bersama ibu dan sodara-sodaraku, hanya saja, yang membuatku akhirnya geram adalah--mereka selalu menganggap istriku itu pembantu dan lebih-lebih hari ini ibu mengungkit masalah kami yang masih menumpang di rumah beliau.Padahal tinggal di sini juga bukanlah kemauan kami, ibu sendiri yang memintanya bahkan sampai memohon-mohon dulu.Aku membuang muka."Maaf Bu, tapi keputusan Ridho udah bulat, tinggal terpisah bukan berarti Ridho akan melupakan Ibu kan?" ucapku seraya menurunkan koper itu dari atas kasur."Ridho!!" Ibu kembali menyentak hingga membuat Ranti terperanjat di tempatnya.Sifat aslinya seperti kembali lagi setelah tadi beliau gagal merayuku."Kenapa sih kamu jadi baperan begini? Biasanya juga si Ranti Ibu suruh-suruh kamu fine-fine aja, hal sepele begini gak usahlah kamu besar-besarin." semburnya lagi dengan wajah kembali merah padam.Aku menggeleng tak percaya, hal sepele katanya?Istriku disuruh kerja dari pagi sampai malam, rumah harus selalu rapi dan tak henti-hentinya ia disuruh-suruh, hal sepele katanya?Selama ini aku sabar dan diam karena Ranti selalu menahanku saat aku mulai emosi.Ranti bilang selama bisa sabar kenapa harus bertengkar? Apalagi sama ibu sendiri.Tapi entah kenapa kali ini rasanya aku sudah tak tahan. 2 bulan bayangkan! Dua bulan aku harus diam dan membiarkan istriku dijadikan pembantu.Enggak lagi, sekarang aku gak bisa menuruti ucapan Ranti lagi, kasihan dia jika Ranti terus-terus menjadi babu di rumahku sendiri.Kupalingkan wajah kasar tanpa aku berkata lagi, rasanya aku sudah malas berdebat dengan ibu.Segera kutarik koperku."Ayo Ranti! Kita pergi dari sini sekarang."Aku menarik tangan istriku keluar kamar dan meninggalkan ibu yang masih mematung di sisi ranjang."Jadi kamu benar-benar akan memilih istri kamu yang gak ada apa-apa nya itu Ridho?" Teriakan Ibu membuat langkahku mati.Aku berbalik badan menampakan wajah kecewa."Apa maksud Ibu? Ranti gak ada apa-apa nya gimana maksudnya?" cecarku dengan dada yang kembang kempis.Ibu berjalan pongah dengan tangan melipat di dada."Iya, kamu mau kontrak rumah dan hidup miskin sama wanita ini kan? Silakan! Pergi, pergi saja kau dari rumah ini, tapi ingat! Jangan pernah kembali dengan alasan kamu menyesal," tegas Ibu bertelunjuk jari."Kamu pikir mudah hidup miskin," imbuhnya pelan nyaris tak terdengar.Aku menarik napas berat. Entah apa yang ada dalam pikiran beliau. Dalam situasi seperti ini saja beliau masih menghina istriku?Kuakui, memang saat aku menikah dengan Ranti, ibuku jelas tidak mengizinkannya dengan alasan Ranti tidak sepadan dengan keluarga kami, kelas kami berbeda.Ranti hanya gadis dari kampung yang kutemui di warnas langganan dekat kantorku, ia bekerja di sana beberapa bulan dan aku menaruh hati begitu dalam hingga akhirnya aku betekad meresmikan dia jadi istriku.Kupikir setelah aku menikahi dan membawa Ranti ke dalam rumahku ibu akan mulai membuka hati dan menerima kenyataan ini, tapi ternyata aku salah.Alih-alih diterima, istriku malah sengaja dijadikan pembantu."Hidup bukan soal miskin atau kaya saja, Bu, tapi soal kasih sayang dan kenyamanan, dan hal itu gak bisa diatur oleh siapapun," tegasku akhirnya.Ibu mengatupkan bibir. Dengan langkah pasti kutarik tangan Ranti keluar rumah."Kamu benar-benar sudah berubah Ridho!" teriak Ibu lagi di bibir pintu.Mas Haris dan Suci pun menghampiri."Halah palingan cuma gertak doang. Si Ridho yang biasa hidup mewah dan ber AC di rumah ini, apa mampu dia hidup mandiri? Apalagi cuma tinggal di kontrakan," sinisnya terdengar jelas sekali ke telingaku."Iya udah biarin aja, Bu, nanti juga pada balik lagi," sahut Suci juga."Diam kalian! Kalau sodara kalian itu pergi apa kalian siap gantiin kerjaan si Ranti di rumah ini?" pekik Ibu membuat mulut mereka tertutup seketika.Aku pun benar-benar pergi tanpa membawa apapun dari rumah itu. Malas juga, takutnya mereka ngajak debat lagi gimana?Bismillah aja, walau pergi tanpa apapun, bahkan mobilku pun aku tinggal, tapi aku yakin kalau niat membahagiakan istri pasti akan selalu diberikan jalan yang mudah.Saat kami berjalan di bahu jalan perumahan mewah ibu, Ranti mengentikan langkah sambil menarik tanganku sedikit."Kita mau pergi kemana, Bang?""Entahlah."Ranti menarik napas berat."Ranti kan sudah bilang, apa-apa teh coba atuh dipikirkan dulu, pikirkan masak-masaknya.""Abang kesal Ran, kamu selalu aja disuruh-suruh begitu, dua bulan Abang sabar, hari ini mungkin bom waktu nya."Ranti menggelengkan kepala."Kita bahkan gak pamitan ke Bapak loh, kasihan nanti kalau beliau nyariin, gimana?" ucapnya lagi dengan wajah cemas.Aku menghela napas dalam, baru kuuingat soal bapak.Sudah 5 bulan ini Bapak sakit, beliau hanya bisa terbaring di kamar dengan selang infus dan oksigen.Itulah kenapa ibuku tak memperker
Ranti menggeleng dengan senyuman renyah."Kasih aja atuh Bang, gak apa-apa kita setengahnya aja."Aku menatap Ranti dengan kening mengerut, istri yang aneh, biasanya para istri minta uang belanja sepenuhnya, tapi ini gaji malah disuruh kasih ke ibu setengahnya.Gajiku cuma 4,7 juta, kalau kukasih ke ibu 2 juta saja, apa dia bisa kelola sisanya dalam waktu sebulan? Belum lagi biaya transfort juga aku selalu minta setiap hari."Udah transfer aja, Bang." "Kamu yakin Ran? Sisanya cuma 2 juta 700 loh kalau Abang transfer ke ibu 2 juta. Kamu harus bayar kontrakan, bayar iuran, belanja sehari-hari belum lagi uang transfort Abang." "Yakin." jawabnya sambil mengecek sesuatu di dalam plastiknya.Akhirnya aku pun membuka aplikasi mobile bankingku dan mentransfer gaji 2 juta rupiah ke rekening Ibu."Sudah Ran.""Alhamdulillah, semoga Bapak cepet sembuh." katanya.Tak lama ponselku kembali berdering. Nama mbak Kania tertera di sana."Ada apa nih mbak Kania? Tumben telepon, jangan-jangan mau buat
Ah aku harap keputusanku membawa Ranti pergi bukanlah keputusan yang salah, aku hanya ingin menyelamatkan Ranti dari ketidakberdayaan dan ulah keluargaku yang senang memanfaatkannya.Lagipula aku menikahinya untuk kujadikan pendamping hidup, bukan untuk menjadi pembantu, enak saja."Ya udah nanti Haris ambil lagi uang gaji Haris ke Kania," jawab Mas Haris akhirnya dengan nada suara yang frustasi."Bagus, gitu dong, lagian si Kania kan juga kerja, gak usahlah kamu kasih dia uang, biar uangmu buat berobat Bapak saja, kamu kasih semua ke Ibu," kata Ibu lagi, berusaha sekuat tenaga agar anak lelakinya itu mau menuruti beliau. "Ya udah iya." Lagi-lagi Mas Haris setuju walau dari nada suaranya kudengar tampak sangat berat.Bagaimana tidak berat? Walau bagaimanapun siapa sih yang ingin urusan keuangan dan urusan rumah tangganya dicampuri orang lain?Walau yang mencampurinya adalah ibu sendiri, rasanya tetap saja berat.Alih-alih menikah untuk bahagia malah terancam kandas di tengah jalan.C
"Loh ya gak bisa gitu dong Rid, kasihan Ibu nanti pemasukannya kurang kalau kamu gak transfer," sahut Mas Haris keberatan."Pemasukan untuk apa sih sebetulnya? Uang dari Ridho kan untuk biaya perawatan Bapak, uang dari Mas Haris anggaplah untuk hidup sehari-hari dan uang dari Suci buat pengobatan Bapak, apa itu masih kurang juga?" Aku mencecar menjelaskan satu persatu sumber dan kemana sekiranya uang itu pergi.Biarlah ibu tak suka dan biarlah aku dianggap anak perhitungan. Selama ini aku hanya manut apa kata ibu, dimintai setengah gaji, istriku disuruh kerjakan tugas rumah dan bahkan ibu pernah bilang padaku seperti apa yang beliau katakan pada Mas Haris saat tadi di belakang.Katanya meski aku sudah menikah, kewajibanku tetap menomor satukan ibu, barulah setelah itu istriku.Aku ingat saat ibu maksa minta dibelikan baju setelah aku ketahuan membelikan Ranti baju dari mall. Dan yang membuatku tak habis pikir ibu minta baju yang harganya jauh di atas harga baju Ranti.Padahal saat i
Masalahnya dari mana aku dapat uang sebanyak itu? Gajiku saja bahkan gak sampe 5 juta per bulannya.Mbak Kania dan Mas Haris mungkin bisa karena mereka sama-sama punya gaji, sementara aku dan Ranti?"Iya, kenapa? Jangan bilang ya kamu keberatan lagi, ini tahlilan Bapak loh," sahut Ibu, mencecar tajam ke arah aku dan Ranti."Bu, tapi masalahnya dari mana kami dapat uang sebanyak itu?""Ya terserah kamu!" sengit Ibu. Wajahnya makin tak santai sejak seminggu lalu kami berdebat soal biaya perawatan Bapak."Sok sok an mau tanggung perawatan Bapak, sekarang Bapak meninggal aja gak mampu sumbang tahlilan." Ibu bicara lagi dengan suara pelan namun masih dapat kudengar jelas."Ya bukannya begitu Bu, kalau bayar perawat kan rutin tiap bulan sehabis Ridho gajian, nah sekarang, Ibu bilang kami harus sumbang dalam waktu 7 hari, darimana kami dapat uang 10 juta itu, Bu?" Aku mencoba menjelaskan walau kutahu kekesalan Ibu padaku akan kembali membuatku dan Ranti tersudut."Ya dari mana aja terserah k
"Dia emang susah diatur, selalu aja nurut apa kata istrinya, gak bisa dibilangin atau dirayu, hih amit-amit semoga kamu nanti gak punya anak yang kayak kakakmu itu," jawab Ibu bergidik bahu.Si Suci manggut-manggut sambil menjebikan bibirnya juga sedikit."Oh ya Bu, terus itu soal sumbangan 5 juta per orang apa gak kebanyakan? Ibu kan tahu Suci gak punya duit, Bu," kata Suci lagi.Ibu berdecak sambil mengibaskan tangannya."Gak usah dipikirin itu mah, Ibu sengaja cuma mau bikin Kakakmu si Ridho kelabakan. Biar kakakmu itu kapok karena udah banyak bantah Ibu. Pokoknya intinya Ibu mau buat kakakmu, si Ridho itu kembali lagi ke rumah ini supaya si Ranti juga balik ke sini.""Ibu sih waktu itu pake bilang mereka masih numpang segala, jadinya kak Ridho kesinggung kan?"Ibu mengembuskan napas kasar."Ibu kesel sama kakakmu Ci, masa iya istrinya dibelain terus begitu, yang Ibu mau itu si Ridho kayak si Haris, selalu mengutamakan Ibu, tapi dibentak bukannya minta maaf dan takut si Ridho malah
Aku setuju. Selesai salat isya dan tahlil buat Bapak akhirnya kita pergi ke warnas langgananku di dekat kantor.Warnas di mana dulu aku bertemu dengan istri pujaanku ini."Bang, susah gak sih kalau kemana-mana naik angkot begini?" tanya Ranti saat kami masih di dalam angkot."Iya sebetulnya susah, tapi gimana? Ada mobil Abang di rumah ibu males bawanya. Tahu sendirilah sekarang kamu juga Ran, jangankan bawa apa-apa gak bawa apa-apa aja Ibu masih aja dendam sama Abang," jawabku lesu.Ranti menepuk pundakku."Besok kita beli, gak usahlah ambil dari rumah Ibu, males juga, takut dijadikan bahan omongan," kata Ranti."Ya besok kita beli," sahutku sambil mengerling.Istriku ini, selain pemberani baru kutahu dia pandai bercanda juga. Tadi saat di rumah ibu ia sepakati urunan 5 juta itu, barusan dia bilang besok kita beli mobil.Hadeh, dikira suaminya punya ilmu ngepet apa.Sesampainya kami di warnas."Eh si Kiranti ampun baru ke sini lagi sejak nikah," kata Bik Mae."Maklumlah Bik, namanya
"Heh berani banget sih Kak Ranti ngomong gitu sama Ibu." Si Suci menyahut geram.Tapi Ranti menghadapinya justru dengan tenang dan santai."Kenapa Ci? Kakak hanya minta catatan keuangannya saja, bukan minta uangnya, apa itu salah?" jawab Ranti lagi.Mulut si Suci menganga. "Betul." Kemudian Mbak Kania menyahut setuju."Kami rasa kami memang harus tahu untuk apa saja kira-kita uang 25 juta itu," imbuh Mbak Kania."Diam kamu Kania! Jangan suka ikut-ikutan kayak mereka. Mereka itu anak-anak durhaka!" sengit Ibu."Astagfirullah jangan sembarangan mengucap sumpah serapah, Bu, apalagi seenaknya melabeli anak sendiri dengan perkataan tidak baik," kata Ranti lagi.Ibu makin terlihat murka."Kamu emang benalu Ranti. Sudah kau kotori otak anakku sekarang kau pun kurang ajar sama Ibu." "Siapa sih Bu yang kurang ajar itu? Ranti hanya minta catatan pengeluaran dan pemasukan soal uang tahlilan, kira-kira siapa saja yang sudah menyumbang untuk tahlilan Bapak? Biar kalau ada yang belum nyumbang, bi