Ah aku harap keputusanku membawa Ranti pergi bukanlah keputusan yang salah, aku hanya ingin menyelamatkan Ranti dari ketidakberdayaan dan ulah keluargaku yang senang memanfaatkannya.
Lagipula aku menikahinya untuk kujadikan pendamping hidup, bukan untuk menjadi pembantu, enak saja."Ya udah nanti Haris ambil lagi uang gaji Haris ke Kania," jawab Mas Haris akhirnya dengan nada suara yang frustasi."Bagus, gitu dong, lagian si Kania kan juga kerja, gak usahlah kamu kasih dia uang, biar uangmu buat berobat Bapak saja, kamu kasih semua ke Ibu," kata Ibu lagi, berusaha sekuat tenaga agar anak lelakinya itu mau menuruti beliau."Ya udah iya." Lagi-lagi Mas Haris setuju walau dari nada suaranya kudengar tampak sangat berat.Bagaimana tidak berat? Walau bagaimanapun siapa sih yang ingin urusan keuangan dan urusan rumah tangganya dicampuri orang lain?Walau yang mencampurinya adalah ibu sendiri, rasanya tetap saja berat.Alih-alih menikah untuk bahagia malah terancam kandas di tengah jalan.Cukup lama berdiri di dekat pintu, akhirnya aku meneruskan langkah sebab ingin segera menyelesaikan urusanku ke kamar mandi."Eh Rid udah dateng?" Ibu bangkit dari kursinya setelah melihatku lewat di depan mereka.Akhirnya aku melipir sebentar ke dekat meja makan sambil kucium punggung tangan beliau."Iya barusan," jawabku."Oh udah sadar kamu hidup di kontrakan itu gak enak?" sahut Mas Haris sinis."Hust." Ibu menyikut tangan Mas Haris menyuruh kakakku itu untuk tak banyak bicara.Refleks keningku mengkerut, kenapa tampak sekali ibu lebih membelaku sekarang? Bukankah aku sudah dikatakan anak durhaka kemarin?Tapi ya sudahlah biarkan saja, segera kuteruskan langkah ke kamar mandi dan menyelesaikan urusanku.__________Selesai dari kamar mandi, aku kembali ke depan. Di ruang keluarga semuanya sudah berkumpul.Mas Haris, Mbak Kania, Suci, Ibu dan juga Ranti sudah ada di sana.Aku pun mengambil tempat dan duduk di dekat Ranti."Jadi gini Rid, sebetulnya Ibu gak enak mau ngomongnya, tapi ... gimana ya?" Ibu mulai bicara."Gimana apanya, Bu?" tanya Ranti kemudian.Ibu tersenyum pada istriku, aku sampai terheran-heran, selama ini beliau selalu kecut dan bersikap seenaknya pada Ranti tapi kenapa sekarang setelah kami pindah rumah Ibu jadi baik dan manis sekali?Apakah benar ada yang sedang ibuku inginkan?"Begini loh Ran, karena Bapak masih sakit dan gak ada yang jaga, apa kamu mau tinggal lagi di sini? Kasihan kalau kami kerja Bapak hanya tinggal sendirian di rumah," ujar Ibu lagi.Aku menghela napas berat saat mendengarnya, tepat dugaanku ternyata, ada udang di balik rempeyek.Pantas saja sekarang Ibu baik dan manis sekali pada kami, omongannya juga udah kayak pemain sinetron ftv, sangat hati-hati dan dibuat-buat supaya kami percaya.Ternyata oh ternyata. Semua itu agar kami tinggal lagi rumah ini.Ah tapi aku tak akan percaya lagi, mendengar ucapan ibu dan balik lagi ke rumah ini hanya akan membuat Ranti kembali menjadi pembantu, apalagi tadi kata Bapak beliau juga tak keberatan kami pindah rumah.Malah Bapak dukung sepenuhnya kami hidup mandiri agar kami merasakan bagaimana membangun rumah tangga yang sebetulnya."Gimana Ran?" Ibu bertanya lagi pada Ranti yang sedang berpikir bimbang."Enggak!" Akhirnya aku yang menjawab.Semua wajah menoleh padaku."Kami gak akan tinggal di sini lagi," imbuhku.Wajah Ibu mulai merah padam, jelas sekali terlihat beliau sedang menahan amarahnya."Loh Kak kenapa begitu, Kak? Tinggal bersama-sama kan lebih enak, rame dan seru, Kakak juga gak perlu lagi bayar kontrakan tiap bulan." Suci menyahut dan berusaha meyakinkanku.Tapi aku juga sudah muak pada anak itu. Dia sama saja dengan Ibu, pandai sekali bersandiwara dan memanfaatkan orang lain demi kepentingannya sendiri.Dia pikir aku tidak tahu bahwa ia berubah manis dan mendadak sopan pada kami, agar kami percaya dan mau tinggal lagi di rumah ini?Jelas saja Suci akan merayu kami agar kami mau tinggal lagi bersama mereka karena jika Ranti ada lagi di rumah ini keberadaannya akan mengurangi tugas-tugas yang diberikan ibu padanya."Kami lebih nyaman tinggal terpisah meski cuma di kontrakan," ucapku lagi tanpa ragu.Semua orang menarik napas berat mendengarku bersikukuh dengan keputusanku.Setelah hening beberapa saat. Ibu lalu mengambil tempat di sebelahku."Begini Ridho ... Ibu paham pasti kamu lebih nyaman tinggal berdua dengan Ranti, tapi Ibu mohon kesadarannya ya Nak, kasihan Bapak, di sini gak ada yang urus." kata beliau.Aku membuang napas kasar. Mulai deh ibu keluarkan jurus andalannya.Untung saja tadi Bapak sudah kasih aku wejangan untuk tidak terlalu memikirkan ucapan Ibu."Kalau soal Bapak Ibu tenang saja, karena Ridho akan carikan suster untuk merawatnya selama kalian gak ada di rumah," ucapku akhirnya.Ibu bergeming sebentar dengan alis menaut."Em ya sudah kalau itu keputusanmu Rid, Ibu sih dukung aja," kata beliau akhirnya."Loh kok gitu sih, Bu?" Si Suci menyahut keberatan, tampak sekali anak itu memang ingin sekali istriku kembali ke rumah ini."Iya Ibu gimana sih?" Mbak Kania juga ikut menyahut dengan wajah kesal."Ya gak apa-apa dong, itu kan pilihan Ridho. Orang perawatnya juga Kakakmu yang akan bayar, iya 'kan Rid?" tanya Ibu di akhir kalimatnya."Iya Ridho yang akan bayar," jawabku mantap.Wajah Ibu tampak berseri-seri mendengar ucapanku, sementara si Suci dan Mbak Kania menekuk wajah kesal."Tapi setelah Ridho berhasil carikan perawat untuk Bapak, maaf kalau Ridho gak akan transfer lagi uang setengah gaji Ridho seperti biasanya," imbuhku.Ibu terperangah dengan mulut menganga, wajahnya yang tadi berseri-seri berubah tak enak."Loh kok gitu?""Iya palingan Ridho akan kasih semampunya aja buat makan Ibu, nominalnya gak pasti, bagaimana situasi saja," jawabku tegas sambil bersender di badan sofa."Ya gak bisa gitu dong Ridho," imbuh Ibu lagi bernada keberatan."Loh uang yang biasa Ridho transfer itu untuk biaya pengobatan dan perawatan Bapak kan? Kalau biaya perawatan Bapak sudah Ridho tanggung lalu untuk apa Ridho transfer setengah gaji lagi?"Ibu pun menelan salivanya dengan wajah pias."Loh ya gak bisa gitu dong Rid, kasihan Ibu nanti pemasukannya kurang kalau kamu gak transfer," sahut Mas Haris keberatan."Pemasukan untuk apa sih sebetulnya? Uang dari Ridho kan untuk biaya perawatan Bapak, uang dari Mas Haris anggaplah untuk hidup sehari-hari dan uang dari Suci buat pengobatan Bapak, apa itu masih kurang juga?" Aku mencecar menjelaskan satu persatu sumber dan kemana sekiranya uang itu pergi.Biarlah ibu tak suka dan biarlah aku dianggap anak perhitungan. Selama ini aku hanya manut apa kata ibu, dimintai setengah gaji, istriku disuruh kerjakan tugas rumah dan bahkan ibu pernah bilang padaku seperti apa yang beliau katakan pada Mas Haris saat tadi di belakang.Katanya meski aku sudah menikah, kewajibanku tetap menomor satukan ibu, barulah setelah itu istriku.Aku ingat saat ibu maksa minta dibelikan baju setelah aku ketahuan membelikan Ranti baju dari mall. Dan yang membuatku tak habis pikir ibu minta baju yang harganya jauh di atas harga baju Ranti.Padahal saat i
Masalahnya dari mana aku dapat uang sebanyak itu? Gajiku saja bahkan gak sampe 5 juta per bulannya.Mbak Kania dan Mas Haris mungkin bisa karena mereka sama-sama punya gaji, sementara aku dan Ranti?"Iya, kenapa? Jangan bilang ya kamu keberatan lagi, ini tahlilan Bapak loh," sahut Ibu, mencecar tajam ke arah aku dan Ranti."Bu, tapi masalahnya dari mana kami dapat uang sebanyak itu?""Ya terserah kamu!" sengit Ibu. Wajahnya makin tak santai sejak seminggu lalu kami berdebat soal biaya perawatan Bapak."Sok sok an mau tanggung perawatan Bapak, sekarang Bapak meninggal aja gak mampu sumbang tahlilan." Ibu bicara lagi dengan suara pelan namun masih dapat kudengar jelas."Ya bukannya begitu Bu, kalau bayar perawat kan rutin tiap bulan sehabis Ridho gajian, nah sekarang, Ibu bilang kami harus sumbang dalam waktu 7 hari, darimana kami dapat uang 10 juta itu, Bu?" Aku mencoba menjelaskan walau kutahu kekesalan Ibu padaku akan kembali membuatku dan Ranti tersudut."Ya dari mana aja terserah k
"Dia emang susah diatur, selalu aja nurut apa kata istrinya, gak bisa dibilangin atau dirayu, hih amit-amit semoga kamu nanti gak punya anak yang kayak kakakmu itu," jawab Ibu bergidik bahu.Si Suci manggut-manggut sambil menjebikan bibirnya juga sedikit."Oh ya Bu, terus itu soal sumbangan 5 juta per orang apa gak kebanyakan? Ibu kan tahu Suci gak punya duit, Bu," kata Suci lagi.Ibu berdecak sambil mengibaskan tangannya."Gak usah dipikirin itu mah, Ibu sengaja cuma mau bikin Kakakmu si Ridho kelabakan. Biar kakakmu itu kapok karena udah banyak bantah Ibu. Pokoknya intinya Ibu mau buat kakakmu, si Ridho itu kembali lagi ke rumah ini supaya si Ranti juga balik ke sini.""Ibu sih waktu itu pake bilang mereka masih numpang segala, jadinya kak Ridho kesinggung kan?"Ibu mengembuskan napas kasar."Ibu kesel sama kakakmu Ci, masa iya istrinya dibelain terus begitu, yang Ibu mau itu si Ridho kayak si Haris, selalu mengutamakan Ibu, tapi dibentak bukannya minta maaf dan takut si Ridho malah
Aku setuju. Selesai salat isya dan tahlil buat Bapak akhirnya kita pergi ke warnas langgananku di dekat kantor.Warnas di mana dulu aku bertemu dengan istri pujaanku ini."Bang, susah gak sih kalau kemana-mana naik angkot begini?" tanya Ranti saat kami masih di dalam angkot."Iya sebetulnya susah, tapi gimana? Ada mobil Abang di rumah ibu males bawanya. Tahu sendirilah sekarang kamu juga Ran, jangankan bawa apa-apa gak bawa apa-apa aja Ibu masih aja dendam sama Abang," jawabku lesu.Ranti menepuk pundakku."Besok kita beli, gak usahlah ambil dari rumah Ibu, males juga, takut dijadikan bahan omongan," kata Ranti."Ya besok kita beli," sahutku sambil mengerling.Istriku ini, selain pemberani baru kutahu dia pandai bercanda juga. Tadi saat di rumah ibu ia sepakati urunan 5 juta itu, barusan dia bilang besok kita beli mobil.Hadeh, dikira suaminya punya ilmu ngepet apa.Sesampainya kami di warnas."Eh si Kiranti ampun baru ke sini lagi sejak nikah," kata Bik Mae."Maklumlah Bik, namanya
"Heh berani banget sih Kak Ranti ngomong gitu sama Ibu." Si Suci menyahut geram.Tapi Ranti menghadapinya justru dengan tenang dan santai."Kenapa Ci? Kakak hanya minta catatan keuangannya saja, bukan minta uangnya, apa itu salah?" jawab Ranti lagi.Mulut si Suci menganga. "Betul." Kemudian Mbak Kania menyahut setuju."Kami rasa kami memang harus tahu untuk apa saja kira-kita uang 25 juta itu," imbuh Mbak Kania."Diam kamu Kania! Jangan suka ikut-ikutan kayak mereka. Mereka itu anak-anak durhaka!" sengit Ibu."Astagfirullah jangan sembarangan mengucap sumpah serapah, Bu, apalagi seenaknya melabeli anak sendiri dengan perkataan tidak baik," kata Ranti lagi.Ibu makin terlihat murka."Kamu emang benalu Ranti. Sudah kau kotori otak anakku sekarang kau pun kurang ajar sama Ibu." "Siapa sih Bu yang kurang ajar itu? Ranti hanya minta catatan pengeluaran dan pemasukan soal uang tahlilan, kira-kira siapa saja yang sudah menyumbang untuk tahlilan Bapak? Biar kalau ada yang belum nyumbang, bi
Aku berbalik menghadap Ranti yang tengah duduk di sisi ranjang.Perlahan aku juga duduk di sampingnya. Kasihan Ranti, dari semalam diam saja, sekarang kelihatan sangat kesal, mungkin dia sangat tersinggung dengan ucapan ibu semalam."Ranti ... maafkan atas ucapan ibu semalam ya, kamu kan tahu gimana ibu, jangan dimasukan ke hati ya," ucapku pelan.Ranti menggeleng dan mengibaskan tangannya."Gak apa-apa, Bang.""Tadi kamu bilang mau beli mobil biar gak dihina-hina ibu lagi, Abang jadi ngerasa bersalah."Ranti malah tertawa."Ranti mau beli mobil bukan karen itu aja sih alesannya, tapi biar Abang gak telat pergi kerja kalau hujan," jawabnya sambil menyanggah dagunya di atas bantal.Aku tersenyum sambil menggeleng kepala, lalu mengacak rambutnya yang diikat ke belakang."Iya nanti kita beli ya, tapi kalau Abang udah naik jabatan atau dapat bonus mendadak," kataku terkekeh.Aku lalu bangkit."Eh Abang mau kemana? Tunggu dulu."Aku akhirnya duduk kembali."Apa lagi? Katanya kamu mau beli
Percakapan mereka berakhir. Aku yang sejak tadi hanya menyimak langsung bertanya."Kenapa kata Ayah sama Bunda Ran?""Mereka mau bantuin kita beli rumah Bang, asik," jawab Ranti berseri-seri.Alisku menaut.Bantuin beli rumah? Apa tak salah? Maaf maaf tapi kalau boleh jujur, rumah keluarga Ranti di kampung itu sangat sederhana bahkan jauh dari kata mewah.Bahkan mereka itu terlihat seperti keluarga golongan menengah ke bawah, itulah sebabnya ibu sering sewot sama Ranti karena beliau berpikir keluarga Ranti itu jauh beda dengan keluargaku.Tapi sekarang apa? Mereka mau bantuin kami beli rumah?"Abang kenapa sih bengong begitu?" Ranti mengagetkanku lagi."Enggak Ran, Abang cuma khawatir Ayah sama Bunda akan kecewa sama Abang."Ranti berdecak sambil mengibaskan tangannya."Ck Ayah sama Bunda bukan orang seperti itu, Bang.""Tapi kalau bisa gak usahlah kita minta bantuan mereka soal tempat tinggal Ran, kasihan, masa rumah buat kita mereka yang harus pusing." Ranti tertawa sedikit, "kenap
Aku cekikikan sambil kutahan sebisanya."Hihihi."Malu bukan main pasti sedang ibu rasakan sekarang."Gak salah denger nih kita, Bu?" tanya seorang ibu pengajian yang punya alis cetar.Sepertinya ibu itu juga menyimpan dendam pada ibuku, karena dilihat dari wajahnya ia tampak sangat puas menertawakan juga."Enggak Ibu-Ibu, bukan begitu, menantu saya ini kadang emang harus diginiin supaya dia ngerti, maklumlah dari kampung maksa mau jadi istri anak saya, yaa ibaratnya cocok jadi pembantu malah maksa mau jadi ratu, jadinya enggak nyambung, hehe hihi," ujar Ibu. Tertawa elegan diakhir kalimatnya.Sontak aku diam. Lagi-lagi ibu berani hina istriku, keterlaluan."Ah kata siapa cocok jadi pembantu? Wajahnya ayu begitu, pinter pula.""He em udah ayu, pinter dan baik pula, buktinya nawarin kita buah, enggak kayak tuan rumahnya haha hihi hahahaha."Semua ibu-ibu tertawa lepas. Seperti sangat puas sekali menertawakan ibuku, terutama bu Husaebah tetangga kami di komplek yang dandanannya paling h