Usai makan, mereka duduk-duduk di gazebo di halaman depan rumah.
Rumah keluarga Sondang memang berhalaman luas. Terletak di pinggir kampung, dan merupakan rumah paling ujung. Bapak mereka membeli tanah di situ, beberapa tahun menjelang pensiun. Waktu itu harga tanahnya masih murah, sehingga bisa dibeli cukup luas.
Namun belum sempat dibangun, Bapak sudah meninggal, dan akhirnya Abangnya yang kemudian memutuskan untuk bekerja dan tinggal bersama mereka, membangun rumah tersebut sedikit demi sedikit. Pertama-tama hanya satu lantai. Ketika proyek yang dikerjakan Abang berhasil, dan membuatnya memiliki uang lebih, Abangnya menambahi membangun lantai dua, yang terdiri dari dua kamar tidur, dan satu kamar mandi. Dan suatu hari, ketika Abangnya merasa ingin punya ruang kerja sendiri di rumahnya, dia memutuskan membangun sebuah kamar di lantai tiga, yang sebelumnya hanya menjadi tempat menjemur pakaian dan tangki penampung air. Ketika Sondang bertanya, mengapa me
Seminggu berjalan dengan sangat cepat rasanya. Sondang merasa begitu tertekan sepanjang minggu. Dia telah salah membuat sebuah laporan, dan baru mengetahuinya, setelah hampir setahun berlalu. Pimpinannya marah besar, dan menyuruh dia untuk bekerja lembur, supaya pekerjaan itu selesai dalam waktu 3 hari. Itu sebabnya, begitu Kamis tiba, dia merasa seperti akan masuk ke dalam neraka. Dia sangat lelah, setelah bekerja sampai jam delapan malam selama dua hari berturut-turut. ‘Aku pasrah’, pikirnya. Hidungnya mampet karena flu yang berat, dan itu sangat melemahkan semangatnya. Satu sisi dirinya ingin menyerah, tapi sisi lain memaksanya untuk terus berjuang. Jam Sembilan malam, akhirnya laporan tersebut selesai juga. Abang menjemputnya ke kantor, karena sudah terlalu malam baginya, untuk pulang sendiri. Sepanjang perjalanan, dia menggigil dan merasa seolah mereka tak sampai juga ke rumah. Ke
sai kebaktian, Idris entah bagaimana ceritanya, sudah mengobrol akrab sekali nampaknya dengan Amelia, membuat para pemuda lainnya, sungkan untuk ikut bergabung.Sondang bersama Justin, berlatih musik bersama, sementara yang lainnya bercanda-canda sambil menunggui mereka. Kalau sedang bermain musik, ternyata Sondang tak terlihat sakit. Wajahnya terlihat begitu bersemangat.Begitu latihan musik tersebut selesai, Sondang dan Justin bergabung dengan kelompok Andi, Friska dan Diana yang duduk-duduk mengobrol, bersama beberapa pemuda lainnya. Idris dan Amelia masih terlihat asyik berbincang berdua saja di kursi yang tak jauh dari mereka.“Eiyy, kita pergi kan, ke pestanya si Irene?” tanya Diana kepada semua pemuda yang duduk di situ.Irene, anak dari salah satu orang Batak di kota mereka, yang menjadi warga gereja GPIB. Dia menikah hari ini, dan resepsinya diadakan sejak jam 11 siang. Sebagai sesama orang Batak, meski tidak satu ge
Sudah sebulan, Idris tidak datang di Sabtu Minggu. Kata Bang Sihol, Idris sedang ke kantor pusat perusahaan mereka di Jakarta. Andi dan Amelia sibuk mencari-cari dia di gereja. Setiap minggu mereka bertanya kepada Sondang, apakah Bang Idris belum datang? Sondang merasa terganggu, tapi juga merasa kasihan pada Amelia, yang terlihat jelas menyukai Idris. Selama Idris tidak datang, Amelia terlihat kurang bersemangat, dan kadang-kadang seperti orang berkhayal saja. Tak tega melihat Amelia seperti itu, akhirnya Sondang memberikan nomor telepon Idris kepadanya, walaupun setelah itu dia menyesal, karena memberikan nomor tersebut, sebelum meminta izin kepada orangnya. Karena itu, buru-buru dikirimnya pesan ke Idris. 'Bang, maaf ya. Tadi tanpa izin Abang, saya bagi nomor telepon Abang ke Amelia.' Sore, baru ada jawaban. 'Iya, Ndang. Enggak apa-apa.' Sudah, cuma itu saja jawabannya. Entah dia kesal atau tidak, Son
Tiga minggu setelah Idris sembuh dari sakit, dan kembali ke proyek, akhirnya dia kembali datang ke rumah Sondang di suatu Sabtu malam, dan ikut ke gereja di hari Minggu.Amelia terlihat sangat gembira menyambutnya, dan segera duduk di samping Idris. Andi yang duduk di sebelah Idris, melihat semuanya dengan tersenyum-senyum, di sela-sela percakapannya dengan Friska.Diana yang merasa bahwa jemaat seharusnya hening saat menanti kebaktian dimulai, menatap dengan kesal pada Amelia yang sibuk mengobrol dengan Idris, dan membuat Diana yang duduk di belakang mereka merasa terganggu oleh percakapan mereka. Hanya Sondang yang duduk di samping Friska, yang tak peduli dengan tingkah Amelia. Dia sedang sibuk sendiri dengan pikirannya, yang akhir-akhir ini sedang 'diusik' oleh kehadiran suatu sosok, yang setiap kali teringat, membuat hatinya terasa terasa 'penuh' bunga.Sudah beberapa minggu ini, dia menyadari ada yang tak 'teratur' di denyut jantungnya, se
Ketika Sondang turun ke lantai 1 rumah mereka, untuk berangkat ke pesta ulang tahun Mama Amelia, Justin malah terlihat ada di ruang tamu, tanpa dia tahu kapan datangnya. Dia sedang berbincang bersama Mama, dan Abang. Di samping Justin, Sondang melihat juga Mama Justin. Situasi itu membuat kaki Sondang melemah. Apa lagi sekarang?Sondang tak faham, mengapa Justin tetap saja datang ke sini, meski Sondang sudah menolak tawarannya? Dia memang menyukai Justin, tapi saat ini dia sedang galau, dan dia tak ingin Justin memaksanya untuk menuruti kemauannya sendiri."Halo, Ndang,' Justin menyapanya dengan gembira. Matanya bercahaya gemerlap ditimpa sinar lampu. Dia terlihat tampan mengenakan kemeja kuning polos, membuat kulitnya yang putih terlihat semakin besih. Penampilannya membuat Sondang tak kuasa menolak pesonanya, dan mendadak kehilangan rasa kesalnya."Tadi Mama mengajak aku menjemput Nantulang ke sini. Ternyata mereka sudah janjian untu
Ketika Idris tiba di depan rumah Sondang di Sabtu malam itu, dia melihat sebuah mobil terparkir di dekat pohon Kemuning. Dia tahu mobil siapa itu! Dibukanya gerbang dengan lambat, menunggu gejolak hatinya mereda. Di ruang tamu, dilihatnya Justin sedang duduk sendirian. “Hai, Bang. Baru datang?” tanya Justin ramah ketika melihat Idris. Idris mengangguk, dan tersenyum membalas sapaan Justin. Diambilnya tempat duduk di kursi di depan Justin. “Sudah bertemu Sondang?” Justin mengangguk. “Iya, Bang. Ini baru mengantar dia. Tadi kami pergi ke pantai.” Idris merasa disayat hatinya. Berdua sajakah mereka pergi? “Sondang lagi di dapur. Membuat teh,” Justin menjelaskan, sebelum Idris bertanya. Idris bimbang, akan langsung saja pergi ke kamarnya, atau meneruskan mengobrol dengan Justin. Namun akhirnya, naluri lelakinya yang menang. Dia bertahan duduk di situ, di depan 'saingan'nya. Sambil menunggu Sondang, mereka berdua berbincang tentang klub Bola favorit mereka, dan hobi yang mereka k
Idris merasa lelah karena perasaan cintanya yang tak jua berbalas. Dia telah memaksakan diri untuk pulang ke rumah Sondang di Sabtu malam ini, demi memupus kerinduannya melihat Sondang dan mendengar tawa lepasnya. Namun begitu tiba, kenyataan yang didapatinya malah menghempaskan dia ke dalam realita, bahwa Sondang tidak mencintainya, dan dia telah memilih Justin. Memang sejak awal dia sudah tahu, kecil sekali peluangnya untuk memenangkan hati Sondang. Namun dia tetap bersikeras mencoba, karena terlalu menyedihkan jika dia harus melepaskan Sondang tanpa berbuat apa-apa. Dan setelah mencobanya, barulah dia tahu, sesakit ini ternyata. Melihat perempuan yang dia rindukan malah pergi berdua saja dengan lelaki lain, bagaimana dia tak merasa cemburu? Apa yang dilihatnya malam ini, telah membuatnya sampai pada titik, tak ingin mencoba lagi. Dia lelah, dan ingin kembali kepada kewarasan yang pernah dimilikinya, sebelum dia tenggelam lebih dalam. “Ndang, sudah
Saat melihat sekotak kue dan selembar pesan di atasnya, Sondang refleks menitikkan air mata. Meski keluarga mereka sangat akrab, tapi bagi mereka, ulang tahun bukan suatu peristiwa yang perlu dirayakan secara khusus. “Cukup berdoa saja,” itu kata Ayahnya sejak dulu. Karena itu, mendapat kue ulang tahun yang khusus diberikan untuknya, ternyata menjadi pengalaman yang mengharukan. Dia tahu, kue itu dari Idris, karena dia pernah melihat tulisannya, yang terlihat rapi dan kecil-kecil, ketika mereka sedang duduk bersebelahan di gereja. Yang membuatnya tak percaya adalah, Idris yang sejak tadi malam membuatnya kesal, karena seolah menghindarinya, ternyata malah menyiapkan kue ulang tahun buat dia. Semalam, begitu Idris mengatakan tidak ikut dengannya ke gereja, Sondang merasa kecewa. Lalu pagi-pagi tadi, Idris tak kunjung turun, meski dia sudah sengaja berlama-lama menunggunya di bawah. Sondang tahu, bahwa ini terasa aneh dan konyol, sebab Idris kan, bukan siapa-siapa baginya. Tapi inila