“Hai, Ndang.. Selamat pagi,” sapa Idris ketika akhirnya langkahnya tiba di makam Sondang. Diletakkannya bunga mawar dan krisan putih, di dekat tulisan nama Sondang. Dirabanya nama tersebut dengan hati-hati, seolah dia sedang menyentuh rambut Sondang, seperti dulu. Dia tahu, Sondang tak ada di situ. Hanya tubuhnya yang tertinggal, perlahan-lahan sedang kembali menjadi tanah. Namun, hatinya begitu rindu untuk menyapa Sondang, dan untuk mengobrol dengan dia. “Pabriknya sudah selesai. Jadi aku akan pulang ke Jakarta besok,” katanya lagi, sambil menggigit bibirnya, menahan jatuhnya air mata. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya ada teriakan anak-anak kecil yang bermain layang-layang, di sekitar pemakaman. "Harusnya kau ikut pulang bersamaku, kan?" Pada akhirnya Idris menangis. Rencananya untuk membawa Sondang, tinggal di rumah yang telah dipersiapkan Idris, kandas sudah. Sondang memilih berumah di seberang langit, tempat di mana Idris tak bisa mendatanginya. Idris menutup matanya. Dia sud
Angin sore terasa sejuk sekali.Tanpa tergesa-gesa, dimasukkannya sepeda motor ke halaman samping rumah, di bawah pohon Jambu air, yang hari ini memekarkan semarak bunga putihnya.Dari samping rumah, didengarnya suara beberapa orang sedang tertawa. Baru disadarinya, bahwa di halaman juga terparkir sebuah mobil hitam yang nampak gagah dengan ban besar, berhias guguran bunga Jambu. Pasti itu mobil teman Abangnya, yang katanya akan tinggal di rumah mereka, selama mengerjakan proyek pekerjaannya di salah satu daerah di sini."Hai, sudah pulang si Sondang," kata Abangnya setelah menjawab salamnya.Ia tersenyum melihat Sang Tamu, yang berdiri menghampirinya, dan mengulurkan tangan sambil membalas senyumnya. Dia memberi kode untuk tidak bersalaman, dengan cara menggelengkan kepalanya."Masih kotor tangannya," katanya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada."Itu gaya bersalaman orang di sini juga," kata Abangnya. Sang Tamu tersenyum sambil men
"Hari ini bahasanya campuran, Bang: Batak dan Indonesia," kata Sondang pada Idris, ketika mereka berada di mobil Idris, di perjalanan menuju gereja. "Iya, Bang Sihol sudah memberitahu semalam," jawab Idris kepadanya. Idris bukan orang Batak, dan biasanya mengikuti ibadah di gereja protestan berbahasa Indonesia. Tapi keluarga Sondang semuanya pergi ke gereja Batak. Dan karena dia baru tiba di kota ini kemarin sore, mereka belum sempat untuk mencari tahu di mana gereja yang bisa dikunjunginya secara rutin. "Nanti sepulang gereja, saya tunjukkan kepada Abang, ya. Ada 3 yang saya tahu cukup besar di sini," kata Sondang. Idris mengangguk, sambil berusaha berkonsentrasi mengemudi. Kota 'baru'nya ini terlihat cukup sepi di hari Minggu pagi. Jalanan terlihat bersih. Di sepanjang trotoar, terlihat pepohonan yang mengeluarkan bunga-bunga cantik berwarna kuning, merah dan oranye. Bahkan ada beberapa Bougenville yang terliha
Jam setengah enam pagi, sebuah pesan teks masuk ke telepon genggam Idris. 'Bang, kalau mau sarapan, di bawah sudah ada, ya,' dari Sondang ternyata. Cepat sekali dia, sepagi ini sudah selesai memasak makanan. Idris menjawab 'Terima kasih,' dan kemudian bergegas turun dari kamarnya di lantai 3, sambil membawa tas pakaian dan tas kerjanya. Dia akan berangkat pagi-pagi, agar bisa segera sampai di Site. Ditemuinya Sondang yang sedang sarapan di bawah, masih memakai baju tidurnya, dan terlihat masih belum mandi juga. Di atas meja, sudah tersedia beberapa piring, dan semangkuk besar sup ayam yang mengepul. Idris sebenarnya belum pernah makan sepagi itu, tapi melihat Sondang sedang makan, dia jadi ingin ikut-ikutan. "Kamu berangkat jam berapa?" Tanya Idris ketika mereka sudah sama-sama duduk menghadapi makanan masing-masing. Di samping piring mereka masing-masing, sekarang ada gelas-gelas berisi jus Wortel, yang baru saja
Friska akhirnya bisa bangun pagi, dan mau ikut dengan mereka ke pasar. Ramai sekali sepagi itu. Jalanan di luar pasar yang becek oleh hujan dini hari tadi, membuat pasar terlihat lebih semrawut dan lebih sulit buat dijalani. Lelah sekali jadinya. Setelah ke tukang daging, mereka pindah ke tukang sayur, lalu membeli bumbu dapur, dan rempah untuk membuat jamu. Bang Idris juga bersikeras untuk membeli sekarung beras isi dua puluh kilo, yang langsung dibawa oleh seorang kuli angkut, untuk dimasukkan ke mobilnya. "Seperti mau pesta saja banyaknya belanja'an ini," kata Sondang ketika meihat keranjang belanja yang sudah memenuhi bagian belakang mobil. "Sekalian buat persediaan beberapa hari," kata Idris. Senang sekali akhirnya, ketika mereka bisa duduk di kursi 'Bakmi Ahin', bakmi babi terkenal di sini. Sudah ramai juga yang mengantri, sehingga mereka harus sabar menunggu sampai giliran mereka tiba. Friska terlihat berse
Usai makan, mereka duduk-duduk di gazebo di halaman depan rumah. Rumah keluarga Sondang memang berhalaman luas. Terletak di pinggir kampung, dan merupakan rumah paling ujung. Bapak mereka membeli tanah di situ, beberapa tahun menjelang pensiun. Waktu itu harga tanahnya masih murah, sehingga bisa dibeli cukup luas. Namun belum sempat dibangun, Bapak sudah meninggal, dan akhirnya Abangnya yang kemudian memutuskan untuk bekerja dan tinggal bersama mereka, membangun rumah tersebut sedikit demi sedikit. Pertama-tama hanya satu lantai. Ketika proyek yang dikerjakan Abang berhasil, dan membuatnya memiliki uang lebih, Abangnya menambahi membangun lantai dua, yang terdiri dari dua kamar tidur, dan satu kamar mandi. Dan suatu hari, ketika Abangnya merasa ingin punya ruang kerja sendiri di rumahnya, dia memutuskan membangun sebuah kamar di lantai tiga, yang sebelumnya hanya menjadi tempat menjemur pakaian dan tangki penampung air. Ketika Sondang bertanya, mengapa me
Seminggu berjalan dengan sangat cepat rasanya. Sondang merasa begitu tertekan sepanjang minggu. Dia telah salah membuat sebuah laporan, dan baru mengetahuinya, setelah hampir setahun berlalu. Pimpinannya marah besar, dan menyuruh dia untuk bekerja lembur, supaya pekerjaan itu selesai dalam waktu 3 hari. Itu sebabnya, begitu Kamis tiba, dia merasa seperti akan masuk ke dalam neraka. Dia sangat lelah, setelah bekerja sampai jam delapan malam selama dua hari berturut-turut. ‘Aku pasrah’, pikirnya. Hidungnya mampet karena flu yang berat, dan itu sangat melemahkan semangatnya. Satu sisi dirinya ingin menyerah, tapi sisi lain memaksanya untuk terus berjuang. Jam Sembilan malam, akhirnya laporan tersebut selesai juga. Abang menjemputnya ke kantor, karena sudah terlalu malam baginya, untuk pulang sendiri. Sepanjang perjalanan, dia menggigil dan merasa seolah mereka tak sampai juga ke rumah. Ke
sai kebaktian, Idris entah bagaimana ceritanya, sudah mengobrol akrab sekali nampaknya dengan Amelia, membuat para pemuda lainnya, sungkan untuk ikut bergabung.Sondang bersama Justin, berlatih musik bersama, sementara yang lainnya bercanda-canda sambil menunggui mereka. Kalau sedang bermain musik, ternyata Sondang tak terlihat sakit. Wajahnya terlihat begitu bersemangat.Begitu latihan musik tersebut selesai, Sondang dan Justin bergabung dengan kelompok Andi, Friska dan Diana yang duduk-duduk mengobrol, bersama beberapa pemuda lainnya. Idris dan Amelia masih terlihat asyik berbincang berdua saja di kursi yang tak jauh dari mereka.“Eiyy, kita pergi kan, ke pestanya si Irene?” tanya Diana kepada semua pemuda yang duduk di situ.Irene, anak dari salah satu orang Batak di kota mereka, yang menjadi warga gereja GPIB. Dia menikah hari ini, dan resepsinya diadakan sejak jam 11 siang. Sebagai sesama orang Batak, meski tidak satu ge