Angin sore terasa sejuk sekali.
Tanpa tergesa-gesa, dimasukkannya sepeda motor ke halaman samping rumah, di bawah pohon Jambu air, yang hari ini memekarkan semarak bunga putihnya.
Dari samping rumah, didengarnya suara beberapa orang sedang tertawa. Baru disadarinya, bahwa di halaman juga terparkir sebuah mobil hitam yang nampak gagah dengan ban besar, berhias guguran bunga Jambu. Pasti itu mobil teman Abangnya, yang katanya akan tinggal di rumah mereka, selama mengerjakan proyek pekerjaannya di salah satu daerah di sini.
"Hai, sudah pulang si Sondang," kata Abangnya setelah menjawab salamnya.
Ia tersenyum melihat Sang Tamu, yang berdiri menghampirinya, dan mengulurkan tangan sambil membalas senyumnya. Dia memberi kode untuk tidak bersalaman, dengan cara menggelengkan kepalanya."Masih kotor tangannya," katanya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Itu gaya bersalaman orang di sini juga," kata Abangnya. Sang Tamu tersenyum sambil mengangguk, lalu kembali duduk ke kursinya.
Mama dan Kakak Iparnya duduk di kursi di dekat TV, sesekali terdengar ikut menimpali perbincangan Abang dengan Sang Tamu.
"Ke mana si Kembar, kok enggak kedengaran suaranya?" Tanyanya setelah membersihkan tangan, dan kaki. Ia heran, karena kedua anak Abangnya yang baru berusia 5 tahun itu, tidak terdengar suaranya. Ruang tengah yang biasanya penuh mainan berserakan, juga terlihat bersih rapi.
"Diajak si Diana tadi ke rumahnya, ikut acara ulang tahun Risty," jawab Iparnya. "Mereka pesan, nanti tolong bilang supaya Bou yang jemput."
Dia mengernyitkan kening,"Hmm.. Pesan yang aneh.. Kenapa mesti saya yang menjemput? Kayaknya ada 'pesan sponsor' di sini," katanya sambil menatap meminta penjelasan kepada Mama.
Yang dilihati malah melengos. "Jangan menuduh sembarangan," kata Mama. Yang lain tertawa mendengarnya.
"Bukan menuduh, Ma. Cuma ingin tahu, karena biasanya enggak begitu," jawabnya sambil kemudian memalingkan pandang ke arah Iparnya, yang langsung menjawab:
"Aku enggak tahu apa-apa, lho... Tanya si Diana aja."
"Nah, ketahuan, kan. Si Diana ternyata orangnya. Enggak, ah, aku enggak mau menjemput mereka. Abang aja.." tolaknya.
Abangnya jadi heran melihat penolakannya. Sang Tamu juga menunjukkan ekspresi bingung. Mungkin dia tak faham, mengapa perkara menjemput saja, bisa menjadi suatu masalah.
"Ada apa sih, rupanya? Biasanya kamu enggak masalah, diminta pergi ke mana saja."
Wajahnya memerah mendengar ucapan Abangnya.
"Si Diana mau memperkenalkan dia dengan saudaranya. Kata Diana, dia sudah pernah bicara dengan Sondang, tapi nggak ada tanggapan. " Iparnya menjelaskan sambil tersenyum-senyum.
"Oh, begitu.. Ya, kan, tidak apa-apa. Bertambah kenalan, kan?" kata Abangnya mulai mengerti, dan ikut tersenyum ke arahnya.
"Enggak, ah..."
"Jangan langsung bilang 'enggak'.. Kata si Diana, orangnya baik, pekerjaannya juga bagus. Siapa tahu kalian cocok," sambung Mamanya.
"Enggak mau.. Nanti kalau aku cocok, tapi dia enggak, gimana? Kan, kasihan aku, Ma," jawabnya dengan nada mengganggu Mamanya.
Mamanya melengos, kesal melihat Sondang yang tidak pernah serius kalau sudah bicara soal jodoh. Ini bukan pertama kali mereka mencoba memperkenalkan Sondang dengan pria, dan ujung-ujungnya, Mama pasti kesal karena penolakan Sondang.
"Betul kata Mama itu.. Pergilah.. Ringan saja melihatnya, enggak usah dijadikan beban. Kalaupun enggak cocok buat diajak serius, ya, buat menambah teman juga bisa, kan?" kata Abangnya, sambil tersenyum-senyum melihat Mama yang masih mendongkol.
Dia terdiam. Meskipun hatinya menolak, tapi dia segan membantah Abangnya, apalagi di depan temannya.
"Jam berapa selesai acaranya, Da?" tanyanya pada Iparnya.
"Seharusnya ini sudah selesai, sih. Sudah jam 5, kan?" Iparnya melihat ke arah jam dinding. Malah sudah hampir jam 6 sore, sekarang.
"Ya, sudahlah, kujemput saja. Aku berangkat sekarang, ya," katanya.
"Jauhkah dari sini?" tiba-tiba terdengar Sang Tamu bertanya.
"Lima belas menitlah naik motor." Abangnya menyahut.
"Mau saya antar? Sekalian saya juga ingin mengenal daerah sini," Sang Tamu menawarkan diri.
Dia memandang Abangnya, meminta agar Sang Abang yang menjawab.
"Bagus juga begitu. Sekalian kau melihat-lihat daerah ini. Iya, kalau kamu mau, antar saja si Sondang," kata Abangnya memberikan persetujuan.
.**********.
Malam akhirnya tiba.
Usai menikmati balado tempe ikan teri, daging babi panggang dan sayur daun singkong tumbuk, Iparnya membuka percakapan, ketika mereka sudah duduk bersama di ruang tengah sambil nonton TV.
"Bagaimana tadi perkenalannya?" tanyanya pada Sondang. Ada nada menggoda di suaranya.
"Orangnya cakep, rapi, ramah, tipe menantu pilihan Mamalah,” katanya dengan suara tenang, berusaha mengimbangi ‘niat’ Iparnya untuk mengganggu dia. Sondang kemudian melihat kepada Sang Tamu yang sebenarnya sudah bukan tamu lagi. Karena tokh, teman Abangnya tersebut, akan tinggal beberapa waktu bersama mereka.
"Bang Idris yang banyak mengobrol dengan dia," jawabnya.
Idris yang yang disebut namanya, terkembang senyumnya mendengar bahwa dia mendadak dilibatkan dalam urusan ‘percomblangan’ Sondang.
"Untung tadi saya sempat melakukan wawancara," candanya.
"Bagaimana, Dris?" tanya Iparnya penasaran.
"Orangnya kelihatan baik, dan sopan. Dia bekerja sebagai Marketing produk kertas. Mereka sedang merintis pembukaan kantor baru di sini."
"Marga apa dia, Ndang?" Tanya Abangnya.
"Silitonga," jawab Sondang. Dia sebenarnya rikuh, karena Abangnyapun sekarang ikut-ikutan tertarik untuk mendukung program pencarian jodoh buat dia.
Abangnya mengangguk, dan menyambung bertanya: "Apa hubungannya dengan si Diana?"
"Dia itu anak Inangtuanya si Diana, yang dari Ompung borunya martinodohon," Mama menjelaskan.
Sondang melihat ke arah Idris, pastilah dia tidak mengerti maksud jawaban Mamanya. Tapi seolah tak ada yang peduli, tak ada juga yang berniat menerangkan artinya kepada Idris. Dia jadi merasa geli, melihat ekspresi yang ditampilkan Idris, seolah berkata: ‘What?’,
saat mendengar jawaban Mama."Oh, begitu ternyata," Abangnya kembali mengangguk.
"Berarti prospektif, dong, buat dilanjutkan. Sudah ada rencana buat bertemu lagi?” Tanya Iparnya.
Sondang cuma menggulir-gulirkan bola matanya, mendengar pertanyaan Iparnya.
“Nanti juga pasti berjumpa lagi. Kan, kita satu gereja dengan mereka,” katanya cuek.
"Maksudnya, yang khususlah. Bukan yang begitu.." Mamanya menimpali dengan tidak sabar. Sondang memang pandai membuat Mama emosi, kalau sudah berbicara soal ‘perjodohan.’
Sondang memandang kesal kepada Mamanya.
"Mama inilah, sabar saja.. Baru juga kenal tadi, belum ada ngobrol apa-apalah. Takut nanti dia, kalau aku tiba-tiba ngajak dia janjian ketemu. ’Genit kali cewek ini,’ itulah nanti pikirnya. "
"Ah, itu alasanmu dari dulu. Ingat kau waktu dikenalkan dengan berenya si Panggabean, yang tentara itu. Itu juga alasanmu ke Mama: ‘sabar saja, Ma. Alon-alon asal kelakon’. .. Eh, tiba-tiba kawinnya berenya itu dengan perempuan lain. Itulah hasil kesabaranmu itu!" tukas Mamanya.
Dia malah merasa lucu mendengar ucapan Mama. Akhirnya dia malah tertawa terbahak-bahak.
"Ya, ampun, Ma.. Aku sendiri malah sudah lupa, lho, sama peristiwa itu.."
"Tapi, kan, itu berarti memang kami enggak jodoh, Ma," lanjutnya berusaha memberi pengertian.
Mama mendengus jengkel, "Akh, bagaimana mau jodoh, kalau tiap diajak ketemu, ada saja alasanmu menolak. Kau kira Mama enggak tahu? Kan, cerita si Panggabean ke Mama: ‘Eh, Nantulang, susah kali kata Bereku itu, mau mengajak si Sondang buat ketemu. Ada terus alasannya buat menolak. Eh, Sondang, rongkap alias jodoh itu, kita yang membikin.. Sedangkan kau cari, belum tentu berhasil. Apalagi kalau macam kau ini, sembunyi terus di rumah ini, apa iya, bisa dapat jodohmu?" katanya berapi-api.
"Eh, Mama.. Tenanglah.. Kalau memang sudah waktunya, dapat sendirinya nanti jodoh itu. Jangan dipaksa supaya cepat menikah, kalau memang belum bertemu yang pas. Nanti aku salah pilih, Mama juga yang sedih kalau lihat aku bertengkar terus, kan?” elak Sondang menjawab Mama.
“Lagipula ya, Ma. kalau memang sudah jalannya, bisa saja jodohku malah mendatangi aku ke tempat persembunyianku ini. Bukannya Tante Uli juga begitu, Ma?" jawabnya bermain-main, sambil menggelendot manja ke bahu Mama. Sondang tahu, kalau dia sudah bermanja-manja begitu, hati Mama pasti luluh.
"Maksudmu datanglah orang ke rumah ini, terus mengantar jodoh buatmu. Eheh., mimpimu itulah. Satu dari semilyarlah, kejadian kayak begitu. Memang kau ya, selalu saja ada jawabanmu," Mama akhirnya tertawa, sambil menepis kepala Sondang dari bahunya.
"Memang Mama sudah bosan, ya, melihat aku di sini? Bolak-balik menyuruh aku menikah. Apa Mama enggak mau kutemani sampai jompo?"
"Bah, untuk apa kau menemani aku sampai jompo. Sudah ada Edamu sama Itomu ini, buat jadi temanku. Kalau mauku, cepatlah kau dapat jodoh. Lagipula, kalau memang si Silitonga ini baik, kan, enggak salah juga kalau dicoba berkenalan. Daripada kau capek-capek menunggu mimpimu yang enggak jelas itu. Ingat umurmu terus bertambah, lho..," Mama menjawab.
"Betul kata Mama itu, Ndang. Enak, lho, kalau ada orang yang membantu kamu mencarikan calon, dan ternyata cocok. Kamu bisa 'saving' waktu dan energi kamu buat mengerjakan hal-hal lain. Itu Edamu, contohnya, " Abangnya menyambung sambil tertawa kecil.
Iparnya tertawa mendengar ucapan Sang Suami yang juga ditujukan kepadanya.Mereka berdua adalah contoh dari pasangan yang bertemu, karena diperkenalkan oleh kawan mereka semasa kuliah.
Dia diam saja, tidak bisa ikut tertawa. Sebenarnya dia merasa jengah dengan pembicaraan seputar mencari pasangan untuknya. Di depan teman Abangnya pula, yang baru saja datang ke rumah mereka sore ini. Ya ampun, memangnya di depan orang baru, tidak ada hal lain yang bisa dipercakapkankah, selain tentang mencarikan jodoh buat dia? Mengapa sih, mereka tak membiarkan hal ini, menjadi sesuatu yang privat baginya? Nampaknya walaupun milyaran manusia sudah silih berganti menghuni bumi, kerumitan saat mencari pasangan hidup, akan sama saja, dari waktu ke waktu. Dan kerumitan itu sepertinya justru datang dari para anggota keluarga yang malah lebih gelisah, daripada si pencari pasangan itu sendiri.
.**********.
"Hari ini bahasanya campuran, Bang: Batak dan Indonesia," kata Sondang pada Idris, ketika mereka berada di mobil Idris, di perjalanan menuju gereja. "Iya, Bang Sihol sudah memberitahu semalam," jawab Idris kepadanya. Idris bukan orang Batak, dan biasanya mengikuti ibadah di gereja protestan berbahasa Indonesia. Tapi keluarga Sondang semuanya pergi ke gereja Batak. Dan karena dia baru tiba di kota ini kemarin sore, mereka belum sempat untuk mencari tahu di mana gereja yang bisa dikunjunginya secara rutin. "Nanti sepulang gereja, saya tunjukkan kepada Abang, ya. Ada 3 yang saya tahu cukup besar di sini," kata Sondang. Idris mengangguk, sambil berusaha berkonsentrasi mengemudi. Kota 'baru'nya ini terlihat cukup sepi di hari Minggu pagi. Jalanan terlihat bersih. Di sepanjang trotoar, terlihat pepohonan yang mengeluarkan bunga-bunga cantik berwarna kuning, merah dan oranye. Bahkan ada beberapa Bougenville yang terliha
Jam setengah enam pagi, sebuah pesan teks masuk ke telepon genggam Idris. 'Bang, kalau mau sarapan, di bawah sudah ada, ya,' dari Sondang ternyata. Cepat sekali dia, sepagi ini sudah selesai memasak makanan. Idris menjawab 'Terima kasih,' dan kemudian bergegas turun dari kamarnya di lantai 3, sambil membawa tas pakaian dan tas kerjanya. Dia akan berangkat pagi-pagi, agar bisa segera sampai di Site. Ditemuinya Sondang yang sedang sarapan di bawah, masih memakai baju tidurnya, dan terlihat masih belum mandi juga. Di atas meja, sudah tersedia beberapa piring, dan semangkuk besar sup ayam yang mengepul. Idris sebenarnya belum pernah makan sepagi itu, tapi melihat Sondang sedang makan, dia jadi ingin ikut-ikutan. "Kamu berangkat jam berapa?" Tanya Idris ketika mereka sudah sama-sama duduk menghadapi makanan masing-masing. Di samping piring mereka masing-masing, sekarang ada gelas-gelas berisi jus Wortel, yang baru saja
Friska akhirnya bisa bangun pagi, dan mau ikut dengan mereka ke pasar. Ramai sekali sepagi itu. Jalanan di luar pasar yang becek oleh hujan dini hari tadi, membuat pasar terlihat lebih semrawut dan lebih sulit buat dijalani. Lelah sekali jadinya. Setelah ke tukang daging, mereka pindah ke tukang sayur, lalu membeli bumbu dapur, dan rempah untuk membuat jamu. Bang Idris juga bersikeras untuk membeli sekarung beras isi dua puluh kilo, yang langsung dibawa oleh seorang kuli angkut, untuk dimasukkan ke mobilnya. "Seperti mau pesta saja banyaknya belanja'an ini," kata Sondang ketika meihat keranjang belanja yang sudah memenuhi bagian belakang mobil. "Sekalian buat persediaan beberapa hari," kata Idris. Senang sekali akhirnya, ketika mereka bisa duduk di kursi 'Bakmi Ahin', bakmi babi terkenal di sini. Sudah ramai juga yang mengantri, sehingga mereka harus sabar menunggu sampai giliran mereka tiba. Friska terlihat berse
Usai makan, mereka duduk-duduk di gazebo di halaman depan rumah. Rumah keluarga Sondang memang berhalaman luas. Terletak di pinggir kampung, dan merupakan rumah paling ujung. Bapak mereka membeli tanah di situ, beberapa tahun menjelang pensiun. Waktu itu harga tanahnya masih murah, sehingga bisa dibeli cukup luas. Namun belum sempat dibangun, Bapak sudah meninggal, dan akhirnya Abangnya yang kemudian memutuskan untuk bekerja dan tinggal bersama mereka, membangun rumah tersebut sedikit demi sedikit. Pertama-tama hanya satu lantai. Ketika proyek yang dikerjakan Abang berhasil, dan membuatnya memiliki uang lebih, Abangnya menambahi membangun lantai dua, yang terdiri dari dua kamar tidur, dan satu kamar mandi. Dan suatu hari, ketika Abangnya merasa ingin punya ruang kerja sendiri di rumahnya, dia memutuskan membangun sebuah kamar di lantai tiga, yang sebelumnya hanya menjadi tempat menjemur pakaian dan tangki penampung air. Ketika Sondang bertanya, mengapa me
Seminggu berjalan dengan sangat cepat rasanya. Sondang merasa begitu tertekan sepanjang minggu. Dia telah salah membuat sebuah laporan, dan baru mengetahuinya, setelah hampir setahun berlalu. Pimpinannya marah besar, dan menyuruh dia untuk bekerja lembur, supaya pekerjaan itu selesai dalam waktu 3 hari. Itu sebabnya, begitu Kamis tiba, dia merasa seperti akan masuk ke dalam neraka. Dia sangat lelah, setelah bekerja sampai jam delapan malam selama dua hari berturut-turut. ‘Aku pasrah’, pikirnya. Hidungnya mampet karena flu yang berat, dan itu sangat melemahkan semangatnya. Satu sisi dirinya ingin menyerah, tapi sisi lain memaksanya untuk terus berjuang. Jam Sembilan malam, akhirnya laporan tersebut selesai juga. Abang menjemputnya ke kantor, karena sudah terlalu malam baginya, untuk pulang sendiri. Sepanjang perjalanan, dia menggigil dan merasa seolah mereka tak sampai juga ke rumah. Ke
sai kebaktian, Idris entah bagaimana ceritanya, sudah mengobrol akrab sekali nampaknya dengan Amelia, membuat para pemuda lainnya, sungkan untuk ikut bergabung.Sondang bersama Justin, berlatih musik bersama, sementara yang lainnya bercanda-canda sambil menunggui mereka. Kalau sedang bermain musik, ternyata Sondang tak terlihat sakit. Wajahnya terlihat begitu bersemangat.Begitu latihan musik tersebut selesai, Sondang dan Justin bergabung dengan kelompok Andi, Friska dan Diana yang duduk-duduk mengobrol, bersama beberapa pemuda lainnya. Idris dan Amelia masih terlihat asyik berbincang berdua saja di kursi yang tak jauh dari mereka.“Eiyy, kita pergi kan, ke pestanya si Irene?” tanya Diana kepada semua pemuda yang duduk di situ.Irene, anak dari salah satu orang Batak di kota mereka, yang menjadi warga gereja GPIB. Dia menikah hari ini, dan resepsinya diadakan sejak jam 11 siang. Sebagai sesama orang Batak, meski tidak satu ge
Sudah sebulan, Idris tidak datang di Sabtu Minggu. Kata Bang Sihol, Idris sedang ke kantor pusat perusahaan mereka di Jakarta. Andi dan Amelia sibuk mencari-cari dia di gereja. Setiap minggu mereka bertanya kepada Sondang, apakah Bang Idris belum datang? Sondang merasa terganggu, tapi juga merasa kasihan pada Amelia, yang terlihat jelas menyukai Idris. Selama Idris tidak datang, Amelia terlihat kurang bersemangat, dan kadang-kadang seperti orang berkhayal saja. Tak tega melihat Amelia seperti itu, akhirnya Sondang memberikan nomor telepon Idris kepadanya, walaupun setelah itu dia menyesal, karena memberikan nomor tersebut, sebelum meminta izin kepada orangnya. Karena itu, buru-buru dikirimnya pesan ke Idris. 'Bang, maaf ya. Tadi tanpa izin Abang, saya bagi nomor telepon Abang ke Amelia.' Sore, baru ada jawaban. 'Iya, Ndang. Enggak apa-apa.' Sudah, cuma itu saja jawabannya. Entah dia kesal atau tidak, Son
Tiga minggu setelah Idris sembuh dari sakit, dan kembali ke proyek, akhirnya dia kembali datang ke rumah Sondang di suatu Sabtu malam, dan ikut ke gereja di hari Minggu.Amelia terlihat sangat gembira menyambutnya, dan segera duduk di samping Idris. Andi yang duduk di sebelah Idris, melihat semuanya dengan tersenyum-senyum, di sela-sela percakapannya dengan Friska.Diana yang merasa bahwa jemaat seharusnya hening saat menanti kebaktian dimulai, menatap dengan kesal pada Amelia yang sibuk mengobrol dengan Idris, dan membuat Diana yang duduk di belakang mereka merasa terganggu oleh percakapan mereka. Hanya Sondang yang duduk di samping Friska, yang tak peduli dengan tingkah Amelia. Dia sedang sibuk sendiri dengan pikirannya, yang akhir-akhir ini sedang 'diusik' oleh kehadiran suatu sosok, yang setiap kali teringat, membuat hatinya terasa terasa 'penuh' bunga.Sudah beberapa minggu ini, dia menyadari ada yang tak 'teratur' di denyut jantungnya, se