‘Baby, I’m dancing in the dark with you between my arms barefoot on the grass, listening to our favourite song ....’Mengalun dengan sangat manis musik yang dinyanyikan oleh sepasang vokalis pria dan wanita yang berada di sudut lain tempat.Resepsi yang diadakan pada malam harinya di ballroom hotel Kings juga sangat megah. Prims hadir di sana, menikmati sajian makanan yang beraneka ragam, dan live music yang merdu di telinganya.Ia baru saja mendengar kalimat Jayden dan Lucia yang mereka sampaikan sesaat sebelum mereka berdansa untuk pertama kalinya setelah resmi menjadi pasangan.Pemandangan manis yang hingga detik ini masih betah dilihat oleh Prims dari tempat ia duduk di kursi VIP bersama dengan Arley.Prianya itu baru saja datang dari kamar mandi dan melemparkan seulas senyumnya yang manis saat kembali duduk di sampingnya.“Apakah ini hidangan penutupnya?” tanya Arley dengan mendekatkan bibirnya di samping telinga Prims.“Iya, Arley. Stroberi di cake milikmu sudah aku makan tadi,
Prims menggigit bibirnya dengan gugup mendengar ‘Cintaku’ sekali lagi diucapkan oleh Arley. Tidak bisa mendefiniskan seperti apa perasannya sekarang ini karena jujur saja ... ini terlalu mendebarkan.Perutnya yang membeku kini seperti tak bisa merasakan apapun. Sedang Arley masih berlutut di hadapannya dengan salah satu alis yang terangkat menunggu jawaban darinya.Prims menengadahkan kepalanya saat Arley perlahan berdiri, meraih kotak transparan yang ada di tangan Prims, menjauhkannya dari pemiliknya dan meletakkannya di atas nakas.Ia tak bisa berkata-kata bahkan ketika Arley meraih pinggangnya dan membuatnya berbaring dalam waktu kurang dari beberapa detik.Mata mereka bertemu pandang di dalam kebisuan. Sentuhan jemarinya yang besar singgah di pipi Prims teriring dengan sebuah bisikan, “Apa yang kamu pikirkan?”Prims masih tak henti menatapnya. Tertawan pesona Arley yang menunduk berada di atasnya. Wangi tubuhnya tercium manis berbaur dengan stroberi yang baru saja mereka gigit sec
Arley membeku begitu mendengar apa yang dikatakan oleh Prims. Kedua tangan kekarnya yang saat ini sedang membawa Prims dengan tanpa beban itu terasa kram. Ia tak melakukan apapun selama beberapa detik selain menatap Prims saja.“Aku hamil, test pack-nya garis dua,” sebut Prims sekali lagi. Satu kalimat yang kemudian menyadarkan Arley sehingga ia lalu menurunkan Prims, urung untuk mengangkatnya secara sembarangan setelah mengetahui istrinya sedang mengandung.Prims memandang Arley yang masih tak memberikan reaksinya. Bibirnya masih lurus seperti tombol spasi. Melihat wajahnya yang datar ... Prims ragu prianya itu akan menerima kabar ini dengan senang hati.“K-kenapa kamu diam saja?” Prims meraih kemeja di bagian pinggang Arley, memberinya sedikit tarikan sehingga kepalanya tersentak.“Ya?” tanggapnya. “Kamu bilang apa, Primrose?”“Aku tanya kenapa kamu diam saja?”“Kamu sungguh hamil?”Prims menganggukkan kepalanya terlebih dahulu, “Iya. Aku sudah telat sejak kita pulang bulan madu i
***“Apakah kamu mual?”Tanya dari Arley membuat Prims memalingkan wajah yang semula menunduk di depan closet. Ia melihat Arley yang tampak sudah rapi dengan kemeja lengan panjang dan juga coat yang menggantung di lengan kanannya.“Sedikit saja, Arley,” jawab Prims kemudian menekan flush.“Apakah kamu benar-benar sanggup untuk pergi?” tanya Arley sekali lagi saat Prims berkumur di wastafel kemudian mencuci tangan dan mengeringkannya terlebih dahulu.“Bisa kok.”“Jika kamu tidak bisa, aku akan bilang pada profesor Mashe bahwa kamu sedang tidak enak badan dan tidak bisa hadir memenuhi undangan beliau.”“Tidak apa-apa, sudah mendingan sekarang. Ayo!”Prims tersenyum, lalu melingkarkan tangannya pada lengan Arley setelah prianya itu memastikan Prims benar-benar dalam kondisi yang baik sekarang.Hamil muda, pada trimester pertama, tepat setelah Prims mengetahui kondisinya yang berbadan dua, ia mulai diserang morning sickness. Arley sudah melihatnya mual lebih dari lima kali sejak pagi.Dan
Namun, alih-alih menunjukkan tatapan yang bersahabat seperti yang ia lakukan sebelumnya, Richard justru melemparkan senyum yang tak bisa diartikan. Sejenak, Prims menjumpai sebuah kebencian yang besar dari sepasang netranya sebelum akhirnya teman lamanya itu melangkahkan kakinya meninggalkan parkiran.Prims melihat punggungnya yang berbalut dalam jas warna biru gelap itu lalu menghilang di pintu masuk William Traver Gallery."Apakah kamu melihat yang barusan, Arley?" tanya Prims seraya menoleh pada Arley yang berdiri di sebelah kanannya. Arley mengangguk setuju untuk hal itu, "Iya," jawabnya singkat."Kenapa dia tiba-tiba bersikap seperti itu?" tanya Prims sedikit cemas. Ia tipe yang tidak bisa melihat perubahan sikap seseorang secara signifikan—apalagi pada Richard ia seperti sedang membenci Prims."Mungkin dia sedang tidak enak hati, Sayang," jawab Arley dengan sedikit menunduk, menunjukkan senyumnya mengintip netra Prims yang bersembunyi di balik bulu matanya yang lentik."Aku pi
“Kenapa aku membuatmu malu?” tanya Prims sembari satu langkah mundur ke belakang. Menatap Richard yang kedua alisnya sedikit berkerut dan tampak tidak akan pergi begitu saja sebelum ia menyelesaikan soal ‘malu’ yang sedang ia bicarakan itu.“Aku mengusulkan reuni itu pada teman-teman kita semasa SMA,” jawab Richard mula-mula. “Aku bilang pada mereka kalau salah satu teman kita yang bernama Primrose adalah seorang pelukis terkenal dengan nama panggungnya Rosefiore. Mereka sangat senang dengan hal itu. Mereka menunggumu datang tetapi kamu tidak muncul bahkan setelah acara selesai.”“Bukankah aku sudah mengatakan padamu, Rich?” sergah Prims sebelum percakapan mereka berlari semakin jauh. “Bukankah aku sudah mengirim pesan padamu bahwa aku tidak bisa datang?”“Dan tanpa memberiku alasan? Apakah itu karena Arley melarangmu?”“Aku yang memutuskan untuk tidak datang karena aku berpikir dulu tidak ada satu orang pun yang suka denganku. Dengan mengingat semua fakta itu, aku memilih untuk tida
“Dia mengatakan hal yang aneh?” ulang Prims sembari menatap Arley, sejenak menghentikan kegiatan mengunyah yang sedang berlangsung.“Iya, Sayang,” jawab Arley tanpa keraguan.Prims memiringkan kepalanya sekilas ke kiri, “Apa yang aneh itu, Arley?”“Kamu sungguh tidak menyadarinya?”“Tidak,” Prims menggeleng dengan yakin.“Dia bilang kalau profesor Mashe lebih sering membicarakanmu.”“Lalu?”“Itu aneh, Sayang.”“Huh?” kedua alis Prims terangkat. Menatap lurus pada Arley yang meletakkan kedua tangannya tertelungkup di bawah dagunya selama beberapa detik.Terlihat sedang mencoba merangkai kata untuk bisa ia katakan pada Prims dalam cara sesederhana mungkin.“Saat seseorang mengatakan, ‘lebih banyak’ atau ‘lebih sering’ atau mungkin ‘lebih baik’ itu harus dada pembandingnya. Misalnya ... profesor Mashe lebih banyak membicarakanmu daripada dia. Tapi Celine tidak bilang begitu tadi. Dia hanya bilang kalau ‘profesor Mashe lebih banyak membicarakanmu’ begitu saja. Kalimat itu tidak lengkap, d
“Sayang?” panggil Arley dengan panik. Trauma dengan penculikan yang terjadi sebelumnya. Apalagi dengan keadaan Arley yang meninggalkannya begitu saja, ia dibuat cemas.Arley hampir berlari menuju ke titik kecelakaan terjadi karena berpikir Prims menyusulnya.Tetapi hal itu ia urungkan saat ia melihat Prims yang datang dari seberang jalan dengan sebatang es krim yang ada di tangannya.“Astaga ....”Arley jatuh kedua bahunya. Sedangkan yang dicemaskan dan hampir membuatnya terkena serangan jantung malah datang dengan polosnya.“Kamu sudah selesai?” tanya Prims sembari menyodorkan satu es krim pada Arley.“Dari mana kamu, Primrose?”“Aku ingin buang air kecil. Jadi aku ke swalayan yang ada di sana,” tunjuknya sekilas pada swalayan yang memang tak jauh dari mereka. “Lalu membeli ini karena aku pikir evakuasinya akan lama.”“Kamu tahu kalau aku baru saja berpikir bahwa kamu menghilang?”Prims hampir saja tersedak mendengar yang disampaikan oleh Arley.“Maaf, aku betul-betul tidak bisa me