Kehidupan penuh romansa antara aku dan suamiku tampaknya hanya berlangsung selama sebulan. Akhir-akhir ini dia sering keluar malam bersama teman-temannya, seperti yang menjadi kebiasaannya dulu.Sebenarnya aku ingin sesekali diajaknya nongkrong bersama teman-temannya. Aku ingin tahu, apakah Akas malu atau tidak memperkenalkan aku pada teman-temannya. Aku penasaran seperti apa pergaulannya di luar rumah.Aku baru saja selesai menyapu halaman. Jam menunjukan pukul 6 pagi saat aku melihat jam dinding di ruang tamu. Aku duduk sejenak di teras sembari menikmati udara pagi yang masih sangat sejuk. Suara derap kaki menarik perhatianku untuk melihat ke arah sumber suara. Dan aku pun langsung mengernyitkan dahi begitu mendapati suamiku sudah berpakaian rapih sembari membenarkan topi yang dia pakai. "Loh, Mas, mau kemana?" "Maaf, Yank, aku terburu-buru. Aku dapat kerjaan untuk menyetir bus pariwisata ibu-ibu kampung sebelah." jawabnya sembari mengulurkan tangannya ke arahku, untuk kemudian ku
PoV Vina Malam itu mataku enggan terpejam. Pikiran bahwa suamiku sedang berbuat hal buruk di luar sana terus menghantui otakku. Sebenarnya aku tidak ingin berburuk sangka, tetapi kejadian beberapa bulan lalu sudah cukup membuatku sulit percaya sepenuhnya pada suamiku. Aku baru saja menyeduh teh celup di dapur untuk menemaniku malam ini. Dan setelah beberapa saat, mertua perempuanku keluar dari arah kamar mandi dan manatapku penuh tanya. "Jam segini, kenapa kamu belum tidur? Besok pagi kamu harus nyuci, Vin," ibu mertu mencebik. Sudah bukan hal baru bagiku. Setelah aku resign dari pekerjaanku, keluarga suamiku semakin memperlakukanku selayaknya pembantu. Pakaian kotor satu keluarga dibebankan padaku, memasak, dan membersihkan rumah, semua menjadi tanggung jawabku tanpa ada campur tangan mereka untuk membantuku sedikitpun. "Pengennya tidur sih, Mbok. Tapi kepikiran. Mas Akas ditelepon nggak diangkat." jawabku sembari meletakkan sendok teh yang semula ku pakai untuk mengaduk
Namaku Vina Ambarwati Sutrisna, biasa dipanggil Vina. Saat ini aku tengah menginjak usia ke 23 tahun.Hari-hari yang aku jalani selalu dipenuhi dengan riuhan suara mesin jahit, itu karena aku bekerja di suatu pabrik garment besar yang terletak di batas kota tempatku tinggal. Sedari lulus sekolah aku hanya menghabiskan waktuku untuk bekerja, suntuk rasanya. Aku ingin menghabiskan waktu ahir pekan dengan pacar seperti yang dilakukan teman-teman perempuanku yang lain. Tapi aku cukup ragu untuk memasuki dunia pacaran, aku sama sekali tidak berpengalaman tentang hal itu.*** "Aku gedek, adik sepupuku minta dicarikan kenalan melulu, di kiranya mbaknya ini biro jodoh apa!" ucap Mira memonyongkon bibir mungilnya sembari memaiknan sendok dan garpu di mangkuk bakso yang baru saja dia pesan.Mira Dwi Sulistiyani, dia sahabatku sedari pertama aku datang di pabrik ini. Dia cantik, bertubuh mungil, dan juga centil. Kadang juga sok tau, salah satu kebiasaanya yang cukup membuat aku kesal."Carikan l
Sore menjelang malam, tepatnya saat azan magrib berkumandang. Langit yang gelap kian menghitam, beradu dengan rintik air yang kian deras membasahi bumi. Aku bimbang, baiknya langsung pulang menerjang hujan, atau tetap di posisi berjongkok menunggu hujan reda? Mana saat ini aku hanya sendiri di parkiran. Ah, lebih baik aku pulang. Lagi pula, lambungku yang kosong ini kian meronta, mengingat hari ini Emak memasak sajian sedap. Kupat opor lengkap dengan sambal goreng kerecek sebagai pendampingnya. Huh, kian nggak sabar aku untuk cepat-cepat tiba dirumah!Aku memacu kendaraanku dengan kecepatan tinggi, menerobos hujan yang tetap awet mengguyur bumi hingga aku tiba dirumah."Assalamu'alaikum!", salamku kepada mereka yang ada di rumah saat itu."Wa'alaikum salam, hujan-hujan, Vin, cepat mandi! Emak sudah siapkan air hangat!" terlihat Emak sedang sibuk menata makanan di meja makan, tidak seperti biasanya.Hidangan makanan, beserta peralatan makan di tata sedemikian rapi di meja makan berbentu
Hari yang mendebarkan tiba. Kakiku lemas, jantungku berdegup kencang. Kiranya seperti apa pertemuanku dengan Fahri nanti?Aku memutuskan untuk pergi ke rumah temanku menaiki angkutan umum. "Ril, antar Mbak ke terminal angkot." pintaku sembari menyemprotkan parfum eskulkul ke area ketiak. "Sekarang?" adikku yang sedari tadi sibuk menggambar medongakkan kepalanya. "Nggak, Ril, habis maghrib. Ya sekarang lah!" Ku perhatikan gambar-gambar anime buatan adikku yang terpampang di layar i-pad. Kian sempurna saja kemampuan menggambarnya. "Kenapa nggak pake motor sendiri sih, Mbak. Ngrepotin." "Sudah lah, di suruh Mbaknya itu nurut, protes melulu. Jangan jadi adik durhaka kamu ...." ku tunjuk-tunjuk adiku dengan telunjukku. Senyap, Nuril hanya memutar bola mata. Aku tau dia sebenarnya enggan mengantarkan aku, maafin, Mbak, ya, Ril. "Jangan bilang-bilang Emak kalo Mbak pergi, Ril." Aku sengaja pergi saat orang tuaku tidak berada dirumah. Sejak kejadian malam itu, aku sama sekali tidak be
Pagi ini udara terasa sangat dingin, aku memutuskan untuk kembali menarik selimut dan tidur usai sembahyang subuh. Terlebih ini hari Minggu. Pabrik tempatku bekerja menjadwalkan hari Sabtu dan Minggu sebagai hari libur semua karyawan, terkecuali bagi mereka yang memiliki tugas lembur.Tidur merupakan healing yang sesungguhnya bagiku. Karena di dalam tidur, aku tidak menemukan omelan Emak yang selalu menyinggung perihal nikah setiap kali berbicara denganku. Mataku mulai berat, hawa dingin pagi ini berhasil menina-bobo kan aku di atas pangkuan ranjang yang empuk. Selang 10 menit aku tertidur, aku merasakan sentuhan kasar membelai pipiku, beradu dengan sentuhan lembut yang terasa dingin. Sebenarnya aku tidak asing dengan hal ini, tetapi keberadaanya cukup mengusikku yang sangat ingin kembali tidur, dan kembali melanjutkan mimpi."Meeow ..." sapa binatang berbulu itu sembari terus menggosokkan wajah lucunya ke muka bantalku."Apa sayang? Tiwul lapar, ya? Mau minta mamam ya, sayang?" tan
"Gimana kelanjutan kamu dengan Fahri, Vin?" Mira bertanya padaku tanpa menoleh. Tangan dan matanya tetap fokus dengan kain yang tengah dia obras, sebelum ahirnya diletakan di mejaku untuk proses berikutnya."Nggak ada kelanjutan. Aku hanya menganggapnya sebagai teman, Mir." jawabku datar.Aku tahu, Mira akan kesal dengan jawaban yang keluar dari mulutku. Lagipula, aku males andai punya pacar tukang pamer seperti si Fahri itu."Ck, kamu itu perempuan beruntung, Vin. Berkali-kali aku nyariin Fahri kenalan, tapi cuma kamu yang bisa bikin dia sreg. Dia masih hubungi kamu, kan?""Ya masih. Paling ya sebatas 'udah makan?', 'udah tidur', 'udah mandi?'. Aku bosen ngladenin basa-basi nggak penting. Toh setiap hari Emakku dirumah juga menanyakan hal semacam itu.""Itu perhatian namanya ...""Emang suamimu dulu waktu PDKT juga begitu, Mir?" "Kayanya, enggak deh," Mira terlihat berpikir saat menjawab pertanyaanku. "Eh, kayanya iya. Entah, aku sudah lupa, Vin," Aku memaklumi jika Mira lupa. Dia
Sebulan berlalu semenjak aku dan Fahri saling mengenal, nampaknya aku mulai menemukan kenyamanan. Berbalas pesan whatsapp seolah menjadi rutinitas setiap hari. Bukan, lebih tepatnya, kebutuhan bagiku. Aku selalu merasa kurang, bahkan hilang semangat jika sehari saja Fahri tidak menghubungiku duluan. Apa ini yang dinamakan jatuh cinta? Atau mungkin hanya merasa kesepian saja, lantaran hanya Fahri yang setiap hari berkomunikasi denganku dalam jumlah chat terbanyak? Aku masih bingung untuk memastikan.Aku tengah bersiap dan mengemasi barang-barang bawaanku. Ahir pekan ini Fahri berencana mengajakku berlibur ke pantai. Suara deburan ombak, belaian lembut dari angin yang berhembus, bermain pasir atau menceburkan diri ke dalam air. Aku tersenyum. Baru membayangkannya saja aku sudah senang. Setidakknya kali ini aku melewati ahir pekanku di tempat yang indah, setelah seminggu penuh aku terus-terusan berkutat dengan mesin jahit. "Jogja, aku datanggg!" seruku mengejutkan si pendiam yang sehari