Share

Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat
Dihina Karena Cacat, Dinikahi Konglomerat
Penulis: Mhyaa Selle

1. Penolakan

"To-tolong ... tolong, aku!" 

Seorang gadis yang sedang terbaring tak berdaya di atas aspal mengulurkan tangan pada seseorang yang terlihat melangkah ke arahnya.

Samar-samar ia melihat langkah kaki itu mendekat. Namun, ia tak dapat melihat ke arah wajah karena posisinya yang tidak memungkinkan, tetapi ia sempat melihat pergelangan kaki orang tersebut ada tato bentuk love dengan panah menancap di tengah.

Perlahan beberapa langkah kaki itu terdengar menjauh, lalu disusul suara ban yang beradu dengan aspal dan deru mobil yang meninggalkan tempat itu.

"Tolong!" desisnya sekali lagi. Kemudian ia pingsan karena tidak kuat menahan beban motor yang menimpa dirinya.

Sementara orang yang menabraknya pergi begitu saja menyisakan sebuah misteri.

Entah siapa yang menolongnya, saat tersadar, gadis itu sudah berada di ranjang rumah sakit dalam keadaan kaki yang diperban.

Saat hendak menggerakkan kakinya yang sebelah kiri dia terkejut mendapati kakinya terasa kaku dan tak bisa digerakkan sama sekali.

"Tidakkkkkkkk!" teriaknya histeris.

Seorang wanita paruh baya berlari ke kamar anaknya dengan tergesa-gesa saat mendengar teriakannya.

"Astagfirullah, Kafizah. Kamu kenapa, Nak? Ayo bangun!"

Gadis cantik yang masih terbungkus dengan selimut itu langsung kaget dan terbangun dari mimpi yang menurutnya sangat buruk.

Dia langsung memeluk ibunya. "Bu ... Kafizah mimpi, Bu."

Sebenarnya itu bukanlah mimpi, tetapi sebuah gambaran dari masa lalunya yang kelam dan selalu datang dalam tidurnya.

Kejadian empat tahun silam selalu mengusik pikirannya. Apalagi kejadian itu menyisakan luka batin dan luka fisik untuknya.

Luka fisiknya yaitu, kakinya sebelah harus lumpuh seumur hidup dan berjalan dengan bantuan tongkat.

Lalu, batinnya terluka karena melihat orang yang telah menabraknya memiliki tato love terkena panah dan orang itu pergi begitu saja, tidak menolongnya sama sekali. Membuat Ia trauma dengan simbol itu hingga ia sulit untuk jatuh cinta.

Di hatinya akan timbul rasa benci dan emosi saat ada seseorang yang memberikan gambaran cinta padanya.

"Mimpi itu lagi?" tanya sang Ibu sambil mengusap kepala putrinya lalu mengelap keringat di dahi sang anak.

Gadis yang bernama lengkap Nurul Kafizah itu mengangguk pelan dengan napas yang ngos-ngosan.

Bu Marni-ibunya Kafizah hanya bisa menghela napas kasar.

"Mimpi itu akan selalu datang jika kamu selalu memikirkannya. Coba perlahan-lahan kamu lupakan kejadian itu, Nak." 

Kafizah menggeleng pelan. "Tidak bisa, Bu."

"Usahakan, Nak! Kamu harus ikhlas menerima semua takdir yang sudah Allah tentukan." Bu Marni memeluk erat sang anak demi menenangkannya.

"Kafizah tidak akan tenang kalau pelakunya belum ditangkap, Bu," ucap gadis itu dengan suara bergetar.

"Kita bisa apa, Nak. Bahkan polisi pun tidak berpihak sama kita," ucap Bu Marni menyeka sudut matanya.

"Orang seperti kita tidak bisa mendapatkan keadilan. Jadi ikhlaskan, biar hukum Allah yang berkerja jika hukum dunia tidak berlaku," tambah Bu Marni.

"Tenangkan dirimu, dan jangan terus-terusan mengingat kejadian itu!"

Gadis cantik itu terdiam dan mencoba menenangkan dirinya.

"Bagaimana caranya, Bu?" tanyanya sambil menatap wajah sendu sang Ibu.

"Coba lebih sibukkan lagi dirimu, Nak. Banyak-banyak istighfar, banyakin zikir dan sering-sering ajak bunga di toko kita untuk mengobrol," ucap ibunya mencoba menghibur sang anak.

"Sudah, ya! Makanya, jangan suka tidur di waktu petang hari kan sudah sering Ibu bilangin," tegur ibunya mencoba mengalihkan pikiran cemas sang anak.

"Maaf, Bu. Tadi Kafizah tuh baca buku sebentar Eh ... malah ketiduran," katanya sambil mengangkat buku yang berada di dekatnya.

"Ya sudah, sekarang kamu bangun terus mandi! Sebentar lagi waktu salat Magrib. Kamu harus salat selanjutnya bantuin Ibu bikin cemilan untuk menyambut teman bapakmu bersama putranya."

"Perjodohan lagi?" tanyanya dengan wajah lesu tak bersemangat.

Bu Marni yang hendak pergi mendadak kembali duduk di samping Kafizah.

"Iya, bapakmu ingin melihatmu segera menikah dan tidak lagi jadi gunjingan orang-orang," balas ibunya, "usiamu sudah 25 tahun dan umur segitu sudah dianggap perawan tua di lingkungan kita."

"Apa Ibu juga menganggapku sebagai perawan tua?"

"Tidak, Nak. Ibu tidak berpikir begitu. Ibu hanya patuh pada bapakmu dan kamu sebagai anak harus mengerti itu."

"Lalu, kenapa Bapak tidak mengerti aku, Bu? Aku malu jika harus terus dijodohkan begini dan berakhir dengan penolakan karena kondisiku." gadis itu menangiskembali di pelukan ibunya.

"Ini pria yang ke sembilan yang akan Bapak kenalkan padaku dan tujuh di antaranya menolak dan menghina habis-habisan fisikku, Bu."

"Satu di antaranya kamu yang menolaknya, bukan?" tanya ibunya sembari melerai pelukan.

"Itu karena dia terlalu romantis, Bu. Setiap hari mengirimkan aku kertas yang ada gambar itu dan aku benci gambar itu, Bu. Gambar itu mengingatkan aku dengan kejadian --"

Bu Marni menyimpan jari telunjuknya di bibir Kafizah yang mulai cemas jika mengingat masa kelam itu.

"Ssstt ... Lupakan! Lupakan! Tarik napas dalam-dalam dan buang perlahan-lahan!" titahnya.

Kafizah mengikuti arahan sang Ibu agar kembali tenang dan tidak gelisah lagi.

"Beri pria ke sembilan ini kesempatan. Barangkali, dia pria yang berbeda serta baik dan mau menerimamu apa adanya, juga membantumu melupakan trauma itu."

"Mandilah! Dan jangan lupa salat Magrib!" titah wanita paruh baya itu lalu melangkah keluar dan menghilang di balik pintu kamar.

Nurul Kafizah membuang napas panjang dan segera melakukan ritual yang ibunya perintahkan.

***

"Kafizah! tamunya sudah datang, Nak!" ucap Bu Marni yang menghampiri putrinya di kamar.

Setelah selesai membantu ibunya di dapur, Kafizah kembali ke kamarnya karena ingin melaksanakan salat Isya. Tamunya datang baru saja.

"Ibu pergi saja duluan, sebentar lagi Kafizah menyusul," ucap gadis itu sambil merapikan jilbab pasmina yang ia kenakan, lalu memakai make up tipis-tipis.

Setelah itu ia meraih tongkat miliknya, lalu berdiri dan melangkah keluar kamar dengan langkah yang tidak normal seperti orang pada umumnya.

Sesampainya di ruang tamu, ia merasa risih karena disambut oleh tatapan menelisik dari pria yang katanya anak dari teman Pak Rahman-bapaknya.

"Ini Kafizah putri saya satu-satunya," ucap Pak Rahman saat putrinya duduk di sampingnya, "Nak! Kenalkan dia Pak Jupri teman lama Bapak dan ini putranya, namanya Raka."

Kafizah mengatupkan tangan pada pria paruh baya itu dan juga putranya.

Pria itu malah menatap Kafizah dari ujung kepala yang tertutup jilbab sampai ujung kaki, membuat Kafizah semakin gelisah dan takut penolakan yang sama akan terjadi lagi.

"Pertemuan ini tujuannya untuk melakukan ta'aruf antara Kafizah-putriku dan Raka-putra Pak Jupri yang sebelumnya sudah kami bahas bersama, bukan begitu, Pak Jupri?" ucap Pak Rahman dengan senyuman khasnya saat membuka obrolan yang sejak tadi hening.

"Iya, betul itu Pak Rahman," sahut Pak Jupri melirik putranya, "Bagaimana, Nak Kafizah? Apakah kamu bersedia jadi menantuku? Jadi istri dari putraku-Raka?"

Gadis bermata teduh itu hanya menunduk dan meremas jemarinya. Ia bingung harus menjawab apa. Sementara pria yang akan menjadi calon suaminya terus saja menatap dirinya dengan tatapan menguliti.

"Kenapa Ayah malah bertanya ke dia? Harusnya Ayah bertanya padaku terlebih dulu," protes pria bernama Raka itu.

Kafizah mengangkat wajahnya dan memberanikan diri menatap Raka, sedangkan Pak Rahman menatap temannya dengan penuh tanya.

"Apa maksud semua ini Pak Jupri?" tanya Pak Rahman terkejut. Pria paruh baya itu mengira kalau Raka sudah turut sepakat dengan perjodohan ini.

Baru saja Pak Jupri mau menjelaskan tiba-tiba Raka berucap, "Ayahku belum bertanya padaku, apakah aku siap menikah dengan gadis cacat itu atau tidak." Raka fokus menatap kaki Kafizah yang terhalang rok.

"Ayah hanya bilang, ingin membawaku bertemu dengan seorang wanita cantik putri dari temannya. Tapi Ayah tidak bilang kalau wanita itu ternyata ... cacat dan jalan saja harus dibantu dengan tongkat," celoteh pria itu tanpa memperdulikan perasaan Kafizah.

"Jaga sikapmu, Raka!" tekan Pak Jupri.

"Memang seperti itu kenyataannya, Ayah," balas pria itu tidak mau kalah.

"Ayah sengaja tidak memberitahu kekurangan Kafizah, karena bagi Ayah itu tidak penting untuk dinilai. Yang terpenting Kafizah gadis baik-baik dan dari keluarga baik pula."

Pak Jufri berusaha menjelaskan pada putranya.

Pak Rahman menatap putrinya yang langsung berdiri dan meninggalkan ruang tamu.

Ada sesal di hati Pak Rahman karena kembali penolakan terjadi dan itu semakin melukai perasaan putri semata wayangnya.

"Aku tidak bisa menerima perjodohan ini, Ayah!" ujar Raka menatap ayahnya dengan sengit.

"Kenapa? Kafizah gadis yang baik dan sangat cantik, Nak."

"Baik saja tidak cukup, Ayah!" tandas pria itu, "percuma cantik tapi cacat, buat apa? Gak ada gunanya."

Kata-kata pria itu terdengar jelas hingga ke kamar Kafizah dan membuat gadis itu menutup telinganya dengan bantal.

Bu Marni menghampiri putrinya dan berusaha menghibur Kafizah supaya tidak meratapi nasibnya.

"Lalu apa standar wanita yang layak kau jadikan istri?" tanya Pak Rahman menatap Raka, tetapi dengan tangan mengepal dan urat-uratnya terlihat jelas.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status