SKL 4
.
Dengan langkah gontai Dee menuju ke kamar untuk mengemasi barang-barangnya. Di dalam sana ia bertemu dengan Mbok Siti yang berdiri kebingungan di depan lemari. Perempuan paruh baya itu disuruh mengemasi barang-barang Dee, tapi ia tak tahu harus mengemasi apa saking banyaknya baju dan barang-barang lainnnya.
"Mbok, bantu aku ya?" pinta Dee mengiba pada Simbok yang sudah bekerja di rumahnya sejak ia Sekolah Dasar.
Perempuan paruh baya itu mengusap rambut anak majikannya itu, ia tak tega melihat Dee yang terusir dari rumah sendiri. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Perlahan Mbok Siti juga ikut terisak. Ia memang tak menyukai perbuatan Dee dan pembelaan diri yang terkesan tak tahu malu. Namun, sepanjang ia bekerja di rumah itu, Dee tak pernah kasar dengannya. Gadis itu termasuk yang paling akrab dengannya selaku pembantu dan majikan.
"Mohon maaf, Non. Mbok ndak bisa bantu. Saya masih butuh pekerjaan ini, dan Non sendiri tau gimana Tuan dan Nyonya kalau udah marah besar. Bisa-bisa saya harus ikut angkat kaki dari rumah ini. Sementara tanggungan saya masih banyak di kampung."
Dee memejamkan matanya. Ia juga harus berpikir nasib Mbok Siti jika harus diberhentikan dari pekerjaan. Gadis itu menatap kosong ke dinding kamar warna putih gading itu. Menatap putus asa pada keadaan yang sedang berlaku padanya.
Perlahan ia membuka lemari dan mengambil beberapa baju yang dimasukkan ke dalam koper kecil. Ia mengambil dress kesukaannya, ingin ikut dimasukkan, tapi sayangnya koper sudah penuh terisi. Dari lemari, langkahnya menuju meja rias, di sana ada banyak skincare dan body care mahal yang selama ia rutin ia pakai. Ia coba ambil satu paket dan ingin dimasukkan dalam koper, tapi lagi-lagi ia seolah lupa bahwa kopernya kecil dan sudah penuh terisi.
Dee menggengam serum wajah di tangannya, ia menatap cermin yang memamerkan wajah kacaunya. Wajahnya penuh dengan air mata yang belum kering. Gadis itu menggeram, kemudian dengan tangannya ia sapu seluruh benda yang ada di meja riasnya hingga menimbulkan suara dentingan benda berjatuhan. Gadis itu berteriak sekerasnya atas hidup yang ia rasa tak adil.
Mbok Siti yang berada di dekatnya ketakutan dengan emosi kesedihan yang tak terduga. Ia beranikan diri mendekat pada Dee, lalu menepuk lembut bahunya agar gadis itu tenang.
Dee ambruk di lantai. Tangannya mengusap rambut panjang yang terurai. Ia masih menangis sesenggukan. Malam ini menjadi titik terberat dalam hidupnya, dan detik itu ada rasa benci yang menjalar pada Bryan, lelaki yang telah membuat hidupnya kacau.
Gadis itu bangkit dan mengusap air matanya. Ia menarik gagang koper dan membawanya keluar. Ia tak ingin teriakan mama dan papa kembali menyuruhnya keluar entah ke berapa kali. Itu menyakitkan bagi Dee, karena untuk pertama kali ia merasa diperlakukan begitu hina oleh orangtua sendiri.
Di luar sana telah berdiri mama dan papa di ruang tamu. Keduanya menatap tajam pada wajah Dee dan tangan yang mendorong koper seolah takut jika gadis itu telah mencuri barang-barang berharga sebelum ia pergi.
Dee bahkan tak berani mendekat hanya untuk berpamitan. Ah, bukankah berpamitan hanya untuk orang yang pergi atas kemauan, yang pergi sesaat dan kembali lagi kapan yang ia mau?
Tanpa kata, tanpa ucapan selamat tinggal, Dee berlalu dari hadapan mereka yang memang tak ingin lagi melihat wajahnya.
Di teras rumah yang mewah itu, berdiri Nadine dan Carissa, kakak dan adik satu-satunya Dee. Melihat wajah keduanya, hati Dee langsung tergerak untuk meminta bantuan atau perlindungan apa pun yang bisa mereka lakukan.
"Kak, plis tolong aku!" pinta Dee pada Nadine.
Nadine tersenyum miring, seolah tak ada rasa simpati dalam hatinya untuk Dee.
"Memalukan! Kamu memang pantas diusir!" ucap Nadine dengan kasar seraya menempelkan sebuah sandal rumahan untuk adiknya itu.
Dee menatap sandal yang diulurkan dengan kasar padanya, ia tertawa sinis dalam tangisnya. Perlakuan Nadine menjelaskan bahwa Dee tak boleh mengenakan sandal atau sepatu mewah yang menjadi miliknya selama ini. Tak pantas gelandangan memakai barang mewah.
"Out!" ketus Nadine seraya menunjuk arah gerbang dengan matanya.
Dee menatap nanar padanya, lalu seulas senyum miris terukir di bibirnya. Gadis itu menggeleng atas sikap tega dari Nadine seolah ia tak pernah ada cela. Dee menatap sinis pada kakaknya, kembali ia teringat perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu bergandeng mesra dengan lelaki lain di sebuah cafe, padahal statusnya sudah menikah.
Lalu, bagaimana bisa ia merasa lebih suci dari Dee?
Nadine sudah menikah dengan lelaki pebisnis yang kaya raya, sesuai dengan kriteria mama dan papa. Mereka belum dikarunia anak, dan sang suami sering berada di luar negeri. Sebab itu, Nadine sering di rumah orangtuanya, ditambah ia masih bekerja di perusahaan papa.
Sementara di samping Nadine, Carissa sedari tadi menangis dalam diam.
"Kak, apa yang bisa kubantu?" tanya gadis berusia tujuh belas tahun itu.
Carissa memang berbeda dengan Nadine, ia sama sekali tidak arogan dan merasa diri paling benar. Saat yang lain harus diminta dan berakhir mengabaikan, Carissa malah menawarkan pertolongan. Namun, Dee menggeleng, karena ia tahu persis bahwa adiknya tak bisa melakukan apa-apa.
Keputusan mama dan papa sudah bulat dan tak bisa diganggu, atau mereka yang mencoba tidak setuju akan ikutan merasakan dampaknya.
"Nothing," jawab Dee. Ia menyeka sudut matanya, menatap serius pada Carissa.
"Hanya sekolah yang baik, dan jadi anak baik, that's it!" Dee menggigit bibir bawahnya agar tak lagi menangis di depan Carissa.
"Kak …," Carissa memanggil dengan isak tangisnya.
"Hati-hati," ucapnya lagi saat perlahan tangan Carissa terlepas dari tangan sang kakak yang perlahan membalikkan badan dan berjalan.
Setidaknya ada yang mengucapkan kalimat perpisahan untuk Dee.
Gadis itu pergi dengan cucuran air mata. Bahkan saat ia berdiri di pintu pagar, satpam dengan membungkukkan badan membukakan pintu untuknya. Perlakuan mereka membuat Dee semakin terisak, mengingat dirinya akan segera menjadi gembel jalanan. Berubah tiga ratus enam puluh derajat dari kehidupan sebelumnya.
Jam di ponsel Dee sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Ia bahkan tak tahu ke mana akan pergi. Gadis itu sama sekali tak memiliki uang karena semua kartunya diambil oleh papa. Ia membuka dompet dan hanya terlihat uang seratus ribu pemberian Mbok Siti saat di kamar tadi.
"Mbok belum gajian, Non. Ini uang lebih belanja tadi, mungkin cukup untuk beli makan besok pagi," ucap perempuan patuh baya itu dengan tulus.
Dee menatap selembar uang itu dengan tetesan air mata. Sebelumnya seratus ribu itu mungkin ia habiskan hanya untuk membeli es krim. Dan kini, ia harus bisa super hemat dengan selembar itu. Dee bahkan tertawa sinis.
Gadis itu berhenti, dan duduk bersandar di dinding pagar yang masih dekat dengan area rumahnya. Ia menutup wajahnya dan terisak semaunya.
"Kak Dee …," Tiba-tiba ia mendengar panggilan untuknya.
Dee menoleh dan melihat Carissa yang berjalan padanya.
Kembali Carissa menangis melihat keadaan Dee. Namun, ia sadar harus segera kembali ke rumah. Gadis itu nekat memanjat tembok pagar yang tinggi agar tak terlihat oleh satpam. Lalu, berjalan hati-hati dan mencari keberadaan Dee yang menurutnya belum jauh dari pekarangan rumah.
"Untuk kakak," Carissa mengulurkan satu juta uang tabungannya untuk Dee.
Dee membelalakkan mata melihat beberapa lembar uang dari adiknya. Dengan berat hati ia menerimanya, karena ia juga tak ada pilihan lain saat ini. Setidaknya Carissa masih tinggal bersama mama dan papa yang kebutuhannya akan selalu terjaga.
Dua saudara itu hanyut dalam isak tangis seraya berpelukan untuk yang terakhir kali. Hingga keduanya sadar bahwa mereka tak boleh lama, karena jika ketahuan akan lebih besar resikonya.
"Aku harap kakak menghubungiku di mana pun nanti kakak berada apa pun caranya."
Setelah mengucapkan kalimat demi kalimat perpisahan, Carissa kembali ke rumah dengan cara sembunyi-sembunyi. Sementara Dee melanjutkan perjalanannya yang entah ke arah mana.
.
Komen ya biar makin semangat update 🔥
SKL 5.Mobil yang dikendarai Bryan berhenti di garasi. Ia keluar dan mengunci dengan aman. Sama seperti yang dilakukan papa dan mamanya. Mereka baru saja tiba di rumah setelah dari rumah Dee.Bryan masuk dan duduk di sofa ruang keluarga, ia mengusap kepalanya yang terasa berat. Malam terberat yang pernah ia jalani selama hidupnya. Ia pikir Dee beda, tapi nyatanya sama saja seperti mantan-mantannya yang bermain di belakangnya.Menurut Bryan, seseorang boleh melakukan apa saja, asal tidak merusak harga diri. Karena sejatinya yang dimiliki oleh manusia hanya itu. "Kok bisa sih kamu nggak tau dari awal kalau Dee itu udah nggak perawan?" tanya sang mama yang ikut memijat pelipisnya."Ya mana tau, Ma. Emang sebelum nikah dicobain dulu?" jawabnya ngasal dan kesal."Ya minimal kamu tau pergaulannya, Bryan!" sanggah sang papa."Pergaulannya ya seperti itu, Pa. Biasa have fun, tapi aku nggak sampai kepikiran kalau Dee bakal sebablas itu. Banyak kok cewek-cewek seksi di bar sana yang enggan di
SKL 6.Di sebuah kamar sederhana, seorang gadis tertidur pulas memberi hak tubuhnya yang begitu lelah sejak pagi hingga malam menjelang.Suara ponsel berdering membangunkan tidurnya. Nabila beringsut duduk dan mengambil ponsel yang terletak di nakas. Gadis itu menguap dan mengucek matanya agar bisa melihat dengan jelas siapa penelepon di tengah malam itu.Deandra Pradipta SMA. Begitu Nabila menyimpan kontak Dee. "Halo, Bila … Nabila aku mau minta tolong. Plis help!" teriak Dee begitu Nabila menggeser layar untuk mengangkat telepon.Nabila sempat tersentak mendengarnya. Lalu, sambungan terputus tiba-tiba dan belum sempat Nabila simpulkan apa yang terjadi.Nabila terlihat kebingungan dengan sisa kantuk yang bersarang. Ponsel masih ia genggam di tangannya. Pasalnya yang menelepon bukan sahabatnya atau teman dekat, tapi teman yang dulu sangat tidak menyukainya. Namun, Nabila kembali berpikir tentang satu kalimat yang diucapkan Dee sebelum sambungan terputus. Gadis itu menggeleng pelan,
SKL 7.Pukul tujuh pagi, saat matahari yang begitu menantang sudah menembus masuk lewat jendela kamar di hotel. Dee sudah membereskan semua barang-barang dan bersiap untuk melanjutkan tujuan. Sejenak ia membuka ponsel ingin memberitahu Nabila bahwa ia akan berangkat dengan kereta api. Semalam saat Dee tiba di hotel, ia tersenyum malu sekaligus perih melihat notifikasi top up kuota dari Nabila.Gadis itu membulatkan mata dengan dada yang tiba-tiba kembali sesak saat melihat sebuah notifikasi yang memberikan berita tentang perceraiannya. Sesaat Dee kembali duduk di ranjang sederhana itu, demi membaca setiap kalimat yang ditulis oleh pemilik tulisan. Dee menggengam erat ponsel di tangannya dengan merapatkan giginya. Bisa-bisanya Bryan dan keluarga mengumumkan berita perceraian itu beserta sebabnya, yang membuat nama Dee semakin buruk di media. Nama yang dulu dikenal sebagai putri dari pengusaha kaya raya yang selalu tampil elegan, kini malah kebalikannya.Dee mengutuk si penulis berita
SKL 8.Setelah putus dari Aldo, Dee tetap melanjutkan hidupnya seperti biasanya. Ia tak ingin galau berkepanjangan, lebih tepatnya tak terlalu menampakkan di depan orang lain, meski sebenarnya ia sakit hati juga kecewa. Namun, Dee tak pernah menjadi pengikut setia kalimat penggalau cinta.'Aku tak bisa hidup tanpamu.''Nadiku berhenti berdenyut tanpamu.'B u l s h i t! Kalimat-kalimat galau yang menurut Dee tidak masuk akal.Gadis itu tetap kuliah, pulang ke rumah dan keluar di malam hari. Ia bersama teman-temannya kerap mengunjungi klub malam dan minum hingga mabuk. Setelah itu ia tak akan pulang ke rumah, menginformasikan orangtuanya tak bisa pulang karena sudha terlalu larut sebab mengerjakan tugas kuliah. Lalu, ia akan menginap di hotel, atau menginap di kos teman.Orangtuanya tak begitu peduli dengan pergaulannya karena mereka sendiri sibuk dengan perusahaan yang semakin berkembang pesat. Sebab itu, hidup Dee semakin liar.Hari terus berjalan, dan aktivitas Dee masih sama. Siang
SKL 9.Setelah pertemuan itu, Dee dan Danial semakin dekat. Keduanya saling merasa cocok dan bahkan terang-terangan sepakat untuk melakukan misi yang sama. Balas dendam antara hati ke hati. Sasaran mereka adalah Aldo dan Sofia.Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, Danial selalu menyempatkan diri untuk mengantar Dee ke kampus sesuai dengan janjinya. Setiap kali ada waktu, mereka jalan berdua, mengintai ke tempat yang sama dengan Aldo dan pacarnya. Seperti hari itu, Dee dan Danial mengikuti Aldo yang memasuki sebuah restoran mewah saat makan siang. Dee melangkah dengan anggun seraya tangan tetap mengait di lengan Danial. Keduanya terlihat begitu romantis dengan senyum terukir, tangan yang saling menggenggam dan canda tawa saat saling bercerita.Diam-diam Aldo mengamati mereka, hingga gadis depannya itu mengikuti arah Aldo memandang. Terlihatlah seorang Dee di sana tengah mengobrol dengan pacar barunya. "Sayang," panggil gadis itu pada Aldo. Seketika ia merasa cemburu dengan tatap
SKL 10.Dee melihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia baru saja turun di stasiun kereta api. Lebih dari sepuluh jam di dalam kereta, dan ia sempat sejenak tertidur karena lelahnya pikiran. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sana ke mari, mencari sesosok yang mungkin sedari tadi menunggunya, tapi ia tak menemukan."Gapapa, Bil. Aku naik taksi aja ya," tolak Dee saat Nabila menawarkan diri untuk menjemputnya di stasiun kereta api.Dilihat dari lokasi yang dikirimkan oleh Nabila, rumahnya tak terlalu jauh dari stasiun tempatnya turun. Mungkin hanya memakan waktu sekitar lima belas atau dua puluh menit dengan menggunakan motor.Nabila tertawa di seberang sana. Menertawakan Dee yang mungkin belum terbiasa dengan kondisi yang sekarang. Yang ada di pikirannya angkutan hanya berupa jenis mobil."Nggak ada taksi di sini, Dee. Kalau pun ada jarang," kata Nabila.Dee mengerutkan kening, sadar diri akan keadaaan. Lantas ia kembali membuka dompet dan melihat uang yang
SKL 11."Aku mau mandi dulu, takut magribnya kelewat," ucap Nabila yang berdiri di pintu kamar Dee. Ia membawa Dee dan barang-barangnya ke sebuah kamar yang akan ditempati gadis itu entah sampai kapan. Tadi pagi Nabila sudah membersihkannya sebelum membuka warung dan mengajar di pondok pesantren.Nabila juga menjelaskan bahwa kamar mandi di rumah itu hanya satu, dan Dee mengerti. Itu artinya setiap akan mandi penghuni rumah harus mengantri."Atau mau salat magrib barengan sama aku dan nenek?" tanya Nabila sebelum beranjak dari kamar itu.Dee diam, tiba-tiba darahnya seolah berhenti mengalir entah sebab apa, ada rasa takut mendengar kata salat. Seumur hidup ia tak pernah mengerjakannya, meskipun ia tak lupa bagaimana panggilan adzan berkumandang, tapi ia selalu mengabaikan. Terkadang saat ia pulang siang hari, sore atau entah kapan yang tetap diabaikan.Gadis itu menelan ludah dengan susah, ia menggaruk bagian belakang kepalanya. Dee tak pernah tahu cara salat, gerakan-gerakannya. Ia
SKL 12."Kamu ingin semua orang punya pemikiran sepertimu," "Sama seperti saat kamu bully aku waktu SMA," tambah Nabila sedikit mengenang masa lalunya."Semua orang harus seperti kamu, yang nggak sama seperti kamu berarti salah. Pemikiran kamu itu ternyata masih bertahan sampe sekarang,"Dee menatap Nabila beberapa saat, terlihat bingung karena temannya ternyata juga ikut menyalahkannya, dan malah menyangkut-pautkan dengan masa lalu. Diakui ia memang sering membully dulu, tapi haruskah dibahas sekarang saat hatinya benar-benar porak poranda?"Kamu masih marah sama aku?" tanya Dee.Nabila menggeleng dengan pasti. Luka itu memang menyakitkan, dan setiap akan tidur Nabila selalu mencoba memaafkan, tapi tetap tak bisa terlupakan."Jadi?" tanya Dee dengan nada lirih. Lebih ke pasrah pada apa pun yang nanti akan dikatakan Nabila. Pasrah karena posisinya sekarang hanya sebagai penumpang, dan ia tak tahu lagi harus ke mana jika Nabila tidak menerimanya.Pasrah karena posisinya memang bersal