Dua minggu kemudian “Permisi, Mas,” imbuh seorang wanita paruh baya berada di bibir pintu masuk ruang kerja suaminya. Sang suami menoleh lalu tersenyum. “Masuk, Sayang!” serunya bernada lembut. Namun buru-buru istrinya menaruh telunjuknya pada bibirnya. “Psstt! Jangan panggil Sayang! Malu sama anak-anak.” Istrinya tertawa sumbang mengatakan itu. Paradoks memang. Ia senang dipanggil dengan sebutan mesra oleh suaminya namun ia tidak ingin panggilan mesra itu terdengar oleh anak-anak mereka. “Jadi kalau panggil Sayang saat berduaan boleh?” imbuh suaminya. Ia mematikan laptopnya dan menyudahi pekerjaannya. Ia tidak ingin menghabiskan waktu dengan pekerjaan ketika istrinya berada di sana. Sisi lain, istrinya merasa tak enak hati karena mengganggu konsentrasi suaminya yang tengah memeriksa neraca laporan keuangan pemasukan restoran. “Mas Naufal, aku ke sini hanya ingin mengantarkan kopi. Supaya Mas gak ngantuk.” Aruni mengatakan maksud kedatangannya. Ia mengambil tempat duduk di
“Mas, jangan marah dong! Kasihan mereka. Lagipula mereka hanya menginap malam ini saja. Ibunya sedang ngidam.”Salwa berusaha membujuk suaminya yang merajuk. Daniel kecewa karena rencananya gagal untuk melakukan ritual malam pertama. Ia memilih tidur di sofa sedangkan ke tiga keponakannya menguasai tempat tidurnya.Kehamilan Nuha sudah tersebar. Mau tidak mau ia mengumumkan kehamilannya pada keluarga dengan berat hati. Terkadang ia merasa malu karena anak-anaknya masih kecil ia sudah hamil lagi. Itulah alasan wanita berhati lembut itu menutupi kehamilannya.Saat ke tiga anak yang menggemaskan itu tidur, Salwa ikut berbaring di samping suaminya di sofa yang terletak tak jauh dari ranjang besar itu.“Mas Daniel, Mas Daniel jangan marah dong. Besok bagaimana kalau kita ke apartemen? Hum, kita bisa …”“Bisa se* di sana?” Daniel berbalik lalu tersenyum menatap istrinya.Gadis itu pun mengangguk mantap. “Ayo, kita tidur bersama mereka,” ajak gadis itu menarik tubuhnya untuk bangkit dari po
Malam itu suasana teramat sunyi. Hanya terdengar suara desahan dan lenguhan bersahut-sahutan di balik temaram kamar berukuran luas sebuah apartemen mewah itu.Malam itu menjadi malam panjang nan syahdu bagi sepasang suami istri yang saling mencintai. Akhirnya setelah penantian panjang, pria bermanik amber berhasil menyentuh istrinya. Seorang wanita yang sudah lama ia nantikan kehadirannya. Seorang wanita yang sudah berhasil memporak porandakan setengah kewarasannya.Beberapa kali pria itu membawa sang istri menuju nirwana untuk merasakan surga dunia. Peluh membasahi tubuh mereka yang tengah bergumul di bawah selimut yang sama.“Mas,” imbuh Salwa saat merasakan tubuh suaminya menindih tubuhnya yang polos. Ia merasa lengket dan tidak nyaman.Suara deru nafas suaminya terdengar berisik di indera pendengarannya.Karena tidak ada sahutan dari pria bertelanjang dada itu, Salwa mendorong dadanya hingga berguling ke samping.“Ish, Baby, kenapa dorong Mas?” seru pria itu tanpa merasa bersalah.
“Sayang, maafin Mas ya terlambat pulang,”Daniel beberapa kali menoel punggung istrinya agar berbalik dan tak mengabaikannya.Salwa marah karena suaminya pulang terlambat bahkan sampai malam hari. Di luar dugaan, Daniel harus menyelesaikan pekerjaan di lokasi proyek. Ada sedikit masalah di lapangan. Rupanya, lokasi proyek yang akan dibangunnya tengah bermasalah. Lokasi tersebut berada dalam sengketa. Oleh karena itu Daniel harus turun langsung berhubungan dengan si pemilik lokasi tanah berukuran hektaran tersebut.Salwa kesal karena seharian ia berada di dalam apartemen. Lebih tepatnya terkurung di sana karena Daniel membawa kartu akses apartemen itu. Alhasil seolah ia berada di dalam penjara.Eh hemDaniel berdehem untuk menormalkan perasaannya.“Do you want to build a snowman??”Daniel meniru suara Elsa dalam film frozen yang cukup fenomenal itu.Okay. Salwa hargai usahanya untuk menghiburnya.Tak mempan. Istrinya menepis tangannya lalu menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.Dani
“Sayang, bisa gak?”Daniel bertanya pada istrinya yang tengah meracik espresso sesuai instruksinya.Salwa terlihat anteng mencoba membuat secangkir espresso. Ia senang mempelajari hal-hal baru.Ia menggiling beberapa biji kopi lalu menyeduhnya. Di belakangnya Daniel tengah merapikan berbagai toples berisi aneka jenis kopi dan memasukkannya ke dalam kabinet yang menggantung di depannya.Tiba-tiba istrinya mengaduh. “Aduh, panas!”Tak sengaja air panas mengenai tangannya karena kurang hati-hati.“Ya ampun sally, kenapa gak hati-hati!” seru Daniel panik ketika melihat Salwa kurang hati-hati dalam menuangkan kopi espresso ke dalam cangkir keramik. Daniel buru-buru menarik tangan istrinya dan membasuhnya di bawah air yang mengalir selama dua puluh menit untuk menetralkan suhu kulitnya. Untung wastafel berada dekat. Salwa kurang fokus dalam membuat kopinya. Sembari melakukan step brewing kopi, ia masih kepikiran tentang apa yang terjadi pada kafe itu. Perbincangan karyawan kafe tadi mengu
“Maaf, ada apa?” tanya seorang pelayan menghampiri seorang wanita yang terlihat tengah marah pada seorang pria. Mereka mengira jika Salwa dan Raja adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar.“Hey, Calm down, Honey!!” seru Raja sama sekali tidak marah pada wanita yang berada di hadapannya. Beruntung Salwa menyiramnya dengan teh dingin bukan teh panas yang mungkin bisa membuat kulit dadanya melepuh.“Mas, tidak kenapa-kenapa?” seru seorang pelayan wanita menghampiri Raja.“It’s okay,” jawab Raja dengan senyum sinis. Raja mengambil tisu di atas meja lalu mengusap kemeja yang basah akibat tumpahan teh yang menodai pakaiannya.“Maaf, Mas dan Mbak jika memiliki masalah tolong selesaikan di luar. Anda telah mengganggu kenyamanan para pengunjung resto.”Seorang pelayan lain memanggil manajer restoran itu. Alhasil mereka mendapat teguran.“Maaf, Pak. Ini hanya kesalahpahaman. Maklum istri saya sedang ngidam jadi sensitif.”Dengan tanpa rasa malu Raja mengatakan itu pada manajer resto. Sa
“Ada apa Nuha?” tanya Aruni pada putrinya yang terlihat panik. Hari itu Aruni sedang berada di rumah Nuha. Ia mengunjungi putri kesayangannya yang tengah hamil muda. Ia mengkhawatirkan kondisinya.Mariyam Nuha terlihat panik saat mendengar kabar dari sekolah yang mengatakan bahwa Farah telah memukul teman sekelasnya hingga dilarikan ke rumah sakit.“Ummi,” imbuh Nuha menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.“Apa Nuha? Apa terjadi sesuatu dengan anak-anak?” tanya Aruni bernada khawatir.“Ummi, aku harus pergi ke sekolah sekarang. Ummi, tunggu saja di rumah. Asyraf gak ada temannya soalnya.”“Iya tapi … ada apa?”“Ummi, Farah memukul temannya hingga dibawa ke rumah sakit. Huft, aku gak tahu apa yang terjadi. Tapi aku kaget kok bisa Farah bisa semarah itu pada temannya hingga berani memukulnya.”Nuha menceritakan apa yang didengarnya dari pengakuan wali kelas Farah.“Apa? Memukul? Anak itu masuk rumah sakit sehabis dipukul Farah? Separah itukah?” sahut Aruni tak percaya denga
“Aku akan bilang ke Abi. Kau tenang saja. Kau tidak akan dikeluarkan dari sekolah. Abi akan membantumu. Kalau Abi tak berhasil, Kiai Ashabi akan turun tangan. Semua orang menghormati beliau. Takkan ada yang berani melawan beliau.”Seorang bocah lelaki tampan mengusap kepala gadis kecil yang tengah duduk dengan wajah masam di sebuah taman bunga sekolah elit.“Gak usah repot-repot. Ibu pasti bisa menyelesaikannya. Argh, sayang Ayah masih di luar kota. Kalau Ayah datang, pasti si Gavin akan bersujud di bawah kaki Ayah. Tolong maafkan aku, Pak Darren yang terhormat!!!Gadis bermata hazel itu melenguh pelan. Bibirnya terlihat lucu saat memeragakan adegan memelas Gavin dalam dunia imajinernya.“Maafkan aku, Farah. Ini semua karena aku,” seru gadis berwajah imut sembari terisak. Ia duduk di sebelah Farah.“Tenanglah Nada. Kau tidak bersalah! Si Gavin emang anak nakal! Pasti masa depannya suram. Dia pantas dihajar. Belum tahu saya jago silat!!! Dia belum tahu aja Aunty Sally bisa menendang bo