Share

Bab 3

"Angga bantuin ya, bu!" ujar Angga. tangannya mengambil piring yang masih basah, mengelap, dan menatanya ditumpukan piring yang sudah bersih.

"Makasih ya nak, udah mau bantuin, ibu?" sahut Nani sambil tersenyum. Kemudian dibalas hangat oleh putranya.

"Ibu jangan sedih lagi. Kalau ayah jahat sama ibu bilang aja sama, Angga."

"Memang kamu mau ngapain, ayah?"

"Mau Angga pelorotin celananya!" spontan gelak tawa sang ibu mencairkan suasana. Nani begitu bersyukur meski sudah ditinggal suami, tapi setidanya masih ada buah hatinya untuk menghibur lara yang terluka.

"Bentar lagi ibu selesai! Kita langsung pergi dari sini, ya!"

"kita mau pergi kemana lagi, bu?" tanya Angga.

"Mungkin untuk sementara waktu kita tinggal di rumah nenek dan tante Mirna," jawab Nani pasrah.

"Adik, kamu mana, Angga?" tanya Nani celingukan keluar dapur.

"Itu, lagi bantuin ibu yang punya warung di depan," jawab Angga sembari menunjuk.

Sementara Nani hanya geleng-geleng kepalanya.

.

.

.

"Ini ada sedikit makanan untuk diperjalanan," ucap Ibu pemilik warung sambil menyerahkan kantung kresek kepada Nani.

"Ga usah repot-repot bu, saya udah dikasih makan ajah udah bersyukur," ujar Nani terharu.

"Ga apa-apa! Anggap aja ini sisa bayarannya."

"Alhamdulillah, makasih ya, bu?" Nani menggapai tangan ibu pemilik warung tersebut.

"Sama-sama!" sahut Ibu pemilik warung sambil berlalu pergi untuk menyambut pengunjung lain yang baru datang.

"Ibu yang punya warung tadi baik, yah?" celoteh Ajril menatap sang ibu yang tengah berjalan meninggalkan warung makan itu.

"Iya nak! Alhamdulillah masih ada orang baik," tutur sang ibu sambil menggandeng putranya dikanan dan dikiri.

"Astagfirullah..." Nani tersentak, membuat kedua bocahnya saling beradu pandang.

"Ibu lupa, tas ibu ketinggalan." Nani dengan cepat Nani berbalik arah, kembali menuju warung makan tadi sambil berlari kecil.

.

.

.

Tok.... Tok

pintu terbuka. Menampilkan wanita yang sudah lanjut usia dengan kulit kian keriput. Ia

tersenyum lembut kearah Nani dan kedua bocah cilik didepannya.

"Nenek!" Serempak Angga dan Ajril berbarengan memeluk sang nenek. Tentu, nenek menyambutnya hangat. Ikut membalas memeluk kedua bocah itu dengan sayang.

"Hmm... bau," celetuk Ajril. Kemudian melepas tangan yang melingkar dipinggang neneknya.

"Nenek kayanya belum mandi," ujar Ajril seraya menyumbat hidungnya rapat.

"Ajril ga boleh gitu, yang sopan sama nenek," sahut Nani tegas.

"Memang bener ko, bu. Iya, kan nek?" tanya Ajril pada sang nenek tak mau kalah. sementara si nenek hanya nyengir.

"Kalian tumben kemari. Ada apa?" tanya sang nenek seraya menuntun kedua cucunya masuk kedalam rumah. Nani mengikuti dari belakang.

"Anu, bu!" sahut Nani menunduk sedih.

"Ada apa sama si anu?" tanya wanita renta itu semakin penasaran.

"Anu bu, anu Nani sudah berbuat salah!" jawab Nani seraya terisak.

"Memangnya apa yang dilakukan sama si anu? Anu itu siapa?" Mereka berempat duduk dibangku yang sudah reot.

"Bukan begitu, bu. Maksud Nani, ini tentang bang Ramlan! Bang Ramlan mentalak aku, bu!" Nani mulai terisak.

"Astagfirullah. Kamu serius, Nani?"

"Bener, bu! Sekarang, Nani ga tau harus gimana!"

"Memangnya apa yang sudah kamu lakukan? kamu berselingkuh?"

"Engga, bu!" Nani menggelengkan kepala. Dan setelah itu ia pun menjelaskan semuanya.

Wanita yang sudah berumur hampir 80 tahun itu marah dan kesal. Terlihat dari dia beranjak dari tempat duduknya dengan tergesa berjalan kearah dapur mencari sesuatu dibalik pintu.

"Ibu! ibu mau apa?" tanya Nani tergagap ngeri melihat ibunya kembali membawa golok keluar.

"Ibu mau samperin tuh, si Ramlan!"

"Jangan, bu! Ga usah diperpanjang. lagian Ibu juga ngapain bawa-bawa golok segala, kan bikin Nani takut, bu," cegah Nani seraya menghalangi pintu keluar.

"Kamu juga jangan halangin ibu. Ibu mau kasih pelajaran sama si Ramlan itu, biar dia ga semena-mena sama kamu dan juga anak-anak. Ibu ga bisa diem aja ngeliat anak dan cucu ibu dicampakan hanya gegara kamu makan banyak," tutur Ibunya Nani yang hampir menangis.

"Sabar, bu. Toh, Nani juga udah ikhlas ko, bu. Udah ga apa-apa, kita serahin aja semuanya sama Allah. Biar Allah yang balas," sahut Nani lemah. Iapun mengambil golok dari tangan sang ibu namun sayang wanita tua itu enggan melepasnya.

"Tapi ibu kesel, Nani. Ibu ga bisa diginiin!" Teriak ibu Nani melampiaskan amarahnya dengan menangis.

"Sabar bu."

Nani berusaha menenangkan sang ibu dengan mengusap serta memeluk tubuh ringkih itu kian bergetar.

"Assalamualaikum!" Seru Mirna. Kakak Nani sambil membuka pintu.

"Astagfiruallah, ada apa ini?" tanya Mirna. Matanya tak lepas menatap golok yang digenggam ibunya itu.

Semua yang ada dirumah itu terdiam tanpa terkecuali bocah-bocah itu terlebih dahulu terkapar tidur pulas di kursi reot.

Selang beberapa menit situasi di rumah itu kembali normal. Meskipun masih menyisakan sedikit amarah, Nani dan juga ibunya masih bisa mengendalikan. Hal itu berkat sebuah ide yang meluncur dari otak Mirna.

"Mbak yakin bakal berhasil?" tanya Nani, raut wajahnya menyimpan kecemasan.

"Seratus persen yakin dong. Kita liat aja nanti," sahut Mirna tersenyum sinis seraya membisikan sesuatu, menyusun sebuah rencana, untuk membalaskan perbuatan mantan suami Nani.

"Besok Mbak akan antar kamu ketempat teman, Mbak," Ujar Mirna.

"Tapi kita bukan kerumah dukun, kan?" tanya Nani.

"Ya, enggalah! Ngapain juga kita kerumah dukun," cetus Mirna seraya menyeruput teh hangatnya.

"Mau nyantet Mas Ramlan," ucap Nani polos.

"Ngaco kamu!" Mirna melotot garang kearah Nani.

"Ya, kali aja mbak punya pikiran buat serang bang Ramlan pake santet," Celoteh Nani kemudian.

"Ngapain repot-repot nyantet. Bantai aja sekalian, Nani. Ukh, kamu tuh!" Mirna menjitak kepala Nani dengan gemas. Sementara Nani hanya cengar-cengir menanggapinya.

.

.

.

"Ibu! huhu...," tangis Ajril dan Angga pecah berbarengan.

"Sudah! Kalian ga usah nangis lagi, ibu kalian pasti bakal kembali," seru Mirna menenangkan kedua bocah itu yang hampir berlari mengejar mobil yang telah membawa Nani pergi.

"Tapi Ibu mau pergi kemana Tante?" tanya Angga menatap sang Nenek dan Tantenya bergantian.

"Ibu kalian mau cari uang banyak," jawab neneknya.

"Mau cari ayah baru!" timpal Mirna. Kedua bocah kecil itu menatap Tantenya dengan serempak.

"Maksudnya, ibu kalian mau ke kota," jawab Mirna kemudian.

"Ko, kami ga diajak?" lirih Ajril.

"Ibu...," tangis Angga semakin kencang.

"Aduh, udah dong kalian jangan pada nangis terus. Tante bingung mesti ngapain," seru Mirna menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Sudah-sudah. Nenek punya sesuatu di dalam, ikut nenek yuk!" ajak sang nenek, mencoba membujuk bocah-bocah itu untuk berhenti menangis.

"Ga mau!" pungkas Ajril seraya menatap jalanan yang sudah tak berlalu lalang kendaraan.

"Ayo dong sayang, masa cucu nenek cengeng sih apa kata supermin nanti."

"Udah. Ayo, pada masuk!" ajak Mirna sembari memaksa kedua bocah itu dengan merangkul pundak Angga dan Ajril.

"Tapi Tante-" Belum sempat Angga melanjutkan ucapannya, lengannya sudah dituntun masuk kedalam rumah oleh sang Tante.

"Ayo Ajril!" Nenek ikut menuntun Ajril untuk ikut masuk kedalam rumah bersamaan. Namun bocah itu tak menggubris. Hanya diam menatap jalanan sepi itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status