Share

Mengalir Darah Pengkhianat

“Kau berhasil selamat, Nyonya Bianca.”

Kalimat sambutan itu berasal dari bibir Romeo yang duduk di sofa sudut kamar Bianca—seperti biasanya. Sementara Bianca yang merasakan luka-luka kecil yang ada di tubuhnya baru menyadari satu hal, bahwa dirinya beberapa saat sebelum pingsan telah mengalami kecelakaan.

“A-alex?” Bianca beranjak bangun, dengan perasaan tidak enak ia berniat menanyakan kabar Ajudan yang telah menemaninya pergi.

Namun Romeo dengan langkah cepatnya berdiri dan menyengkram rahang Bianca. Tatapan matanya begitu tajam, napasnya menusuk kulit wajah Bianca. Api kemarahan telah tergambar jelas.

“Kau membohongiku?”

Bianca merasakan sakit atas cengkraman tangan Romeo, dirinya benar-benar ketakutan lantaran ia telah lancang mengunjungi kawasan terlarang bersama salah satu pria kepercayaan Romeo.

“A-aku hanya…”

“Kau tidak akan bisa membodohiku, Bianca Caterina!”

“A-alex, dia…”

Romeo segera melepas cengkraman tangannya dari rahang Bianca.

“Alex? Laki-laki yang turut serta dalam kebohonganmu itu?” Romeo meninggikan suara, membuat Bianca terdiam untuk sementara waktu sembari mengingat apa yang telah ia lakukan.

Ya, dia telah berbohong dan parahnya ia juga menyeret Alex dalam kebohongannya. Dia sengaja memanfaatkan ketidak-hadiran Romeo beberapa hari ini agar ia bisa ke tempat di mana jasad Ayahnya dibuang.

“A-aku telah salah, Tuan!” Mengabaikan segala rasa sakit di tubuhnya, Bianca beranjak dan berusaha menyentuh kaki Romeo.

Mengingat tulang-belulang yang tersisa di tanah lapang tadi megingatkan Bianca betapa menyeramkannya sosok Romeo yang berdiri dihadapannya ketika dalam keadaan murka.

“Aku salah karena menyeret salah satu Ajudanmu ke dalam kebohonganku.”

Tanpa berbalik, Romeo tersenyum miring. Dia mulai mengabaikan Bianca dan berjalan cepat keluar dari ruangan kamar Bianca.

“Pengkhianat memanglah pengkhianat. Tidak bisa kumaafkan meski kau mati-matian membelanya!” teriak Romeo, menggema di seluruh koridor yang menghubungkan kamar Bianca dengan ruangan-ruangan penting lainnya.

“Tuan!” Bianca berada di ambang pintu, dengan tertatih-tatih ia berusaha mengejar Romeo yang telah menghilang di ujung koridor.

***

Bianca tersandung salah satu anak tangga, dia terjatuh dan berguling. Sebelum ia semakin jatuh, dengan seluruh kekuatan yang tersisa ia mencoba bangkit sembari memegangi tiang pinggiran tangga.

Kepalanya masih sangat pusing, dia hampir ambruk lagi namun beberapa pelayan telah datang dan menolongnya dengan raut panik.

“Nyonya, apa yang terjadi? Mengapa Tuan membawa Alex ke ruang bawah tanah?” salah seorang pelayan perempuan yang terlihat lebih muda mengatakannya dengan nada ketakutan.

Sementara pelayan lainnya berusaha membungkam mulut pelayan muda itu. Mereka berdua tampak ketakutan, membuat hati Bianca semakin resah. Dengan tegas akhirnya Bianca bertanya untuk memastikan sesuatu.

“Alex, dia masih hidup?”

Mereka masih tetap diam, sebelum akhirnya pelayan paling muda sengaja menggigit tangan yang membungkamnya dan mulai menjawab pertanyaan Bianca dengan nada panik.

“Anda dan Ajudan Alex berhasil di selamatkan oleh Tuan Romeo sebelum akhirnya mobil yang Anda tumpangi meledak dan membakar supir yang mengemudikan mobil.”

Mendengar pernyataan itu membuat Bianca bingung apakah harus lega atau malah sebaliknya.

Dengan hati gusar ia kembali melanjutkan langkah, walau dua orang pelayan yang berada di sekitarnya berlarian kecil mengikutinya dengan raut khawatir pula. Teringat akan sesuatu, Bianca kembali berhenti—lantas menoleh.

“Dimana aku bisa menemukan ruang bawah tanah tempat Alex dibawa?”

Lagi-lagi pelayan paling muda yang menunjukkan semuanya. Sampai di depan pintu ruang bawah tanah, Bianca memukul-mukul kepalanya sendiri karena frustasi. Pintunya tertutup dan bahkan membukanya harus menggunakan sandi.

Bianca menoleh ke belakang berharap bahwa dua pelayan tadi masih mengikutinya dan bisa membantunya. Tetapi nahas, ternyata mereka sudah pergi. Wajar saja, pikir Bianca mungkin mereka takut jikalau nantinya dituduh sebagai pengganggu aktivitas Tuannya—yaitu Romeo Albert yang sedang dilanda api amarah.

Bahkan Bianca sendiri juga takut, namun di sisi lain ia harus bertanggung jawab untuk menyelamatkan Alex. Karena dirinyalah Alex berada di posisi bahaya dan ia harus segera menolongnya sebisa mungkin walaupun terbesit kata mustahil dalam kepala.

“Aku harus menekan angka berapa agar pintu ini segera terbuka!” Bianca masih saja menepuk-nepuk kepalanya, berpikir keras untuk memecahkan sandi pintu yang ada dihapadannya.

Kepalanya serasa berputar-putar. Ia mencoba menekan beberapa angka secara acak namun pintu tak kunjung terbuka. Ia hampir menyerah dan kembali mengingat-ingat angka atau mungkin tanggal penting sejak dia datang ke rumah ini.

“Tanggal lahir Romeo?” Bianca mulai menekan kembali angka yang tertera. “Sial! Aku tidak ingat berapa tahunnya karena waktu itu aku hanya melihatnya sekilas saat menandatangi surat perjanjian sebelum menikah,” gumamnya.

Beberapa saat setelah berusaha memutar otak, Bianca terdiam sejenak. Sesuatu bagaikan ide yang cemerlang mulai terbesit.

“Menikah! Mungkinkah itu tanggal saat kami menikah? Hanya tanggal itu yang kuingat sejak datang ke rumah ini.”

Walau masih penuh keraguan—Bianca mencoba menekan kembali. Matanya membulat dan berpikir jika ini benar maka, “Astaga!” Sembari membungkam mulut tidak percaya. Setelah pintu terbuka, perlahan Bianca mulai menginjakkan kaki ke dalam ruang bawah tanah.

Beberapa langkah maju ke depan, pintu ruangan mendadak tertutup otomatis membuat Bianca terkejut. Apalagi hawa ruangannya sangat menyeramkan. Sangat minim cahaya dan hanya terdapat lampu-lampu kuning yang temaram.

Yang mengejutkannya lagi, aroma anyir mulai tercium. Benda-benda tajam dan berbagai senjata terpampang menghiasi dinding-dindingnya yang telah menguning. Hinga sampai di depan koridor yang sangat gelap, Bianca mulai mendengar suara cambukan dan teriakan seorang pria.

Tubuhnya mulai bergetar ketakutan. Ketika Bianca hendak mendekat ke sumber suara, beberapa serangga seperti kecoa dan tikus mendatanginya dan melewati kakinya. Bianca segera membungkam mulut dan berusaha agar tidak bersuara.

Mengabaikan semua rasa takutnya—Bianca mulai berjalan cepat dan sampai di ujung koridor dimana pemandangan yang tersuguhkan membuat dirinya hampir menangis.

Pria bersetelan serba hitam yang berdiri membawa sebuah cambuk besar itu menoleh ke arah Bianca, tersenyum dan tertawa mengerikan melihat kedatangannya.

“Selamat datang di tempatku bersenang-senang, Bianca Istriku.” Suara beratnya menggema memenuhi langit-langit ruangan.

Di depan Romeo, keadaan Alex begitu mengerikan. Pria bermata sipit dan berkulit kuning itu bertelanjang dada dengan posisi kedua tangannya dirantai ke atas. Darah mengucur dari pelipis, hidung serta bibirnya. Bahkan seluruh tubuhnya memerah karena berulang kali telah dicambuk.

“Nyo-nya…” lirih Alex dengan tatapan matanya yang sayu.

Membuat batin Bianca begitu tersiksa melihatnya. Karena ini murni kesalahannya, Alex hanyalah orang tidak bersalah yang dia seret ke dalam kebohongannya.

“Tu-Tuan, dia tidak bersalah. Aku yang telah menjebaknya ke dalam rencanaku. Dia… dia Ajudanmu yang setia—”

Bianca belum selesai menjelaskan namun kalimatnya terhenti karena Romeo kembali mencambuk badan Alex dengan sangat keras, kembali menimbulkan bekas yang mengerikan di kulit kuning pucat pria yang telah sekarat itu.

“Kumohon!” Bianca bahkan berlutut di hadapan Romeo sembari menangis.

“Sangat sulit untuk membohonginya karena dia adalah Ajudanmu yang setia. Bahkan aku… aku sampai mengancamya dan mengatakan bahwa hukuman mengerikan akan dia dapatkan jika berani meragukanku.” Bianca berusaha menjelaskannya meski suaranya terdengar bergetar.

Suasana di antara mereka lengang sejenak. Untuk beberapa saat Romeo memejamkan kedua matanya sembari menengadahkan kepalanya ke langit-langit. Sebelum akhirnya ia mendorong tubuh Bianca hingga membuat wanita bertubuh kecil itu tersungkur ke lantai.

Romeo mendekatinya perlahan sembari menyeret cambuk besarnya yang terbuat dari besi pipih. Suara gesekannya dengan lantai ruangan terkesan mencekam, membuat siapapun merinding.

“Tuan.. maafkan aku…” Bianca bersujud di hadapan Romeo sembari menangis tersedu-sedu.

Sementara Alex di belakang sana tengah menarik paksa kedua tangannya dari ranta-rantai berkarat yang membelenggunya. Hingga darah mulai bercucuran dari pergelangan tangan.

“Kurasa… darah pengkhianat tetap mengalir dalam tubuhmu… Bianca Caterina!”

Saat Romeo mulai mengangkat cambuknya, Alex yang telah berhasil melepas rantai di tangannya meski hampir mematahkan pergelangannya berlari mendekat, mendekap tubuh kecil Bianca dan sekali lagi menerima cambukan dari Romeo.

“Saya tidak berani meragukan Nyonya Bianca karena tahu bahwa Anda sangat mencintainya, Tuan. Dan jika harus ada pertumpahan darah di sini, akulah yang berhak Anda bunuh, bukan Nyonya—karena Anda sangat mencintainya..”

Setelah mengatakan semua itu dengan suaranya yang terdengar lemah, Alex ambruk tak sadarkan diri di hadapan Bianca. Segera Bianca mengecek napas dan denyut nadi pria itu.

“Dia…”

“Katakan kepadaku! Jika dia mati maka aku akan membuang jasadnya ke tanah lapang yang telah kalian kunjungi. Dan jika tidak… kau bisa membawanya ke kamarnya,” ucap Romeo dengan nada dingin. Setelah itu ia beranjak meninggalkan mereka berdua begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status