Share

Dua Pilar Cinta
Dua Pilar Cinta
Author: Ramdani Abdul

1. Dua Pilar Cinta

“Mau lari ke mana lagi kamu, hah?” tanya seorang pria yang berjalan dari arah kegelapan. Suara lumatan sepatunya memercik suara yang langsung mendominasi ruangan pengap ini.

Gadis bersurai panjang yang terikat di kursi itu perlahan mengerjap. Butuh beberapa waktu baginya untuk mengembalikan penglihatan ke keadaan normal. Ketika matanya benar-benar terbuka, ia dengan jelas melihat seorang pria bertubuh tambun tengah menatapnya dengan seringai tajam.

“Mau ke mana lagi kamu, hah?” ulang pria itu dengan suara menggema. Pria paruh baya itu memelotot sembari memutari sang korban yang tengah meronta.

Rania merotasikan bola mata. Dibanding merasa takut, ia justru jengkel karena untuk kesekian kalinya pria gendut itu berhasil menyekapnya di gudang bau ini. Pria yang tengah memutarinya memang gila. Walau begitu, tetap saja sosok itu adalah papanya sendiri, Ratnawan.

 “Kamu gak bakalan bisa kabur dari sini, Rania.” Ratnawan terbahak sembari menepuk perutnya bak tengah menabuh gendang. “Papa bakal hukum kamu karena kamu udah berani kabur dari pesantren.”

“Pa,” panggil seorang wanita yang muncul dari belakang Ratnawan. Ia menggenggam tangan sang suami dengan lembut. “Kenapa Rania harus diiket kayak kangkung gitu, sih, Pa? Kita bisa bicarain ini baik-baik.”

Ratnawan melepas genggaman sang istri, kemudian menoleh ke arah Rania sembari berkacak pinggang. “Biarin aja, Ma. Si sendok nyam-nyam ini memang harus diberi pelajaran.”

Rania sontak memelotot dengan tajam. Lakban hitam yang membekap mulutnya tampak bergetar. Ada teriakan yang terhalang keadaan. Gadis itu kemudian mengentak-entak kursi hingga benda yang tengah didudukinya maju beberapa senti.

“Kasian Rania, Pa.” Risa, wanita di kursi roda itu kembali memohon.

Teriakan Rania lolos dari celah lakban. Bunyinya seperti kursi tua yang berderit. Sisi benda hitam itu sampai terbuka sebagian.

“Kamu ngomong apa, sih?” Ratnawan tergelak dengan tangan masih memukul perut.

Rania sontak menjerit saat Ratnawan menarik lakban dengan tiba-tiba. Ia mengaduh dengan pandangan berkaca-kaca. Mulut gadis itu serasa akan terlepas sampai hanya menyisakan deretan gigi. “Papa, ih!”

“Tenang, mulut kamu gak bakalan lepas kalau cuma ditarik kayak gitu. Gimana kalau pake cara lain? Mau?”

“Papa gak bosen apa nyekap-nyekap aku kayak gini?” tanya Rania. Pipinya langsung menggembung seirama dengan bibirnya yang maju beberapa senti ke depan.

“Mana mungkin Papa bosen. Udah jelas itu hobi Papa,” jawab Ratnawan enteng.

“Mama,” panggil Rania dengan nada memelas, “Papa udah gila.”

Risa tersenyum, lantas mengelus pipi sang putri dengan lembut. Untuk saat ini, ia sepertinya belum bisa banyak membantu. Ini konsekuensi dari ulah Rania sendiri.

“Kejutan!” teriak Ratnawan sembari mengangkat dua kantung keresek berwarna putih pucat.

“Papa, aku gak lagi ulang tahun! Lepasin cepet!” pekik Rania. Ia tahu kalau plastik itu berisi tepung terigu dan telur ayam.

“Jawab dulu pertanyaan Papa. Kenapa kamu kabur dari pesantren?”

“Lepasin dulu nanti aku jawab. Aku janji gak bakalan kabur,” tawar Rania.

“Jawab atau muka kamu bakal Papa jadiin adonan.” Ratnawan mengayun-ayunkan dua kantung itu di depan wajah Rania. “Jawab atau Papa—”

“Mama!” jerit Rania seraya berusaha melepas kungkungan tali.

Di detik ketiga setelah Rania memekik, satu butir telur sukses mendarat di kepala gadis itu, kemudian disusul oleh taburan tepung terigu di rambut. Menyadari hal itu, Rania sontak memelotot. Mulutnya hampir saja jatuh saking kaget dengan tindakan sang papa. “Aku gak lagi ulang tahun!” rengeknya kemudian.

“Pa, ini udah cukup. Kita bicarain semuanya baik-baik, ya.” Risa menengahi.

“Papa belum puas kalau tusukan cimol ini belum nangis, Ma.”

“Aku bosen tinggal di pesantren, Pa. Gak betah,” ungkap Rania.

Satu kucuran telur kembali berlabuh di surai panjang Rania. Kali ini ditambah dengan adukan tangan Ratnawan. Gadis itu merasa anyir, ingin muntah saking sebalnya.

“Pokoknya aku gak mau tinggal di pesantren!” pungkas Rania dengan wajah merengut.

“Gak betah gimana maksud kamu? Baru dua jam kamu tinggal di pesantren, dan kamu bilang kamu gak betah?” Ratnawan menggeleng.

“Aku udah lakuin apa yang Papa pinta. Pake kerudung, ikutan les ngaji, les kosidah sampai aku bela-belain masuk pesantren. Terus apalagi nanti?”

“Gak ada satu pun yang kamu lakuin dengan bener,” balas Ratnawan, “pake kerudung tapi bawahannya pake rok mini, les ngaji malah nyiram gurunya pake kuah bakso, ekskul kosidah ngancurin alat-alatnya, sampai masuk pesantren malah bikin rusuh seisi pondok. Kamu hadir gak, sih, pas pembagian otak?”

“Saat itu ‘kan aku lagi sama Papa,” jawab Rania.

Ratnawan mengembus napas panjang. “Papa bakal lepasin kamu asal kamu ikutin perintah Papa.”

“Apa lagi?” Rania setengah pasrah. “Apa?” ulangnya ketus.

“Satu hal.” Ratnawan tersenyum lebar.

“Apa?” Rania memutar bola mata. Ia masih berusaha melepas ikatan. Kursinya beberapa kali mengentak lantai hingga menimbulkan suara.

“Satu ... hal,” ulang Ratnawan.

“Iya, apa?” Rania mencebik.

“Kamu bakal Papa jodohin,” bisik Ratnawan, “kamu bakal Papa jodohin,” tandasnya kemudian.

Rahang Rania seakan lapuk saat mendengar ucapan barusan. Mulutnya menganga bak gua. Otaknya dengan cepat bekerja keras untuk memahami maksud Ratnawan. Tiga detik setelahnya, Rania mengambil napas panjang, lantas berteriak, “Papa, gak lucu!”

“Memang siapa yang lagi ngelawak?” tanya Ratnawan.

“Papa, aku gak mau dijodoh-jodohin. Aku baru aja dua puluh tahun. Pokoknya aku gak mau!” Rania menoleh ke arah lain.

“Pa.” Risa menggoyangkan tangan sang suami.    

“Jodohin,” ujar Ratnawan sembari meloloskan telur ke surai panjang Rania. Tak puas, pria itu kemudian menabur tepung ke wajah gadis itu. “Sempurna.”

“Papa!” Rania terbatuk beberapa kali. Perutnya kembali mual karena mencium bau anyir. Setelah berhasil menguasai diri, ia bertanya, “Papa mau ngejodohin aku sama siapa, sih? Kalau Papa mau jodohin aku sama Kim Taehyung atau Kim Seokjin, aku janji gak bakalan nolak.”

Ratnawan menarik telinga Rania, kemudian berbisik, “Papa jodohin kamu sama ustaz.”

Rania sontak memelotot saat bisikan itu terdengar. Bulu kuduknya mendadak meremang. Jantungnya serasa akan pindah ke kerongkongan. Di sisi lain, otaknya mendadak menampilkan bayangan aneh kalau sampai hal itu benar-benar terjadi.  Rania akan dipanggil ustazah, berpakaian tertutup, mengurus anak sampai berbagi tempat tidur dengan orang lain. Entahlah, di pikirannya saat ini, ustaz adalah sosok pria tua dengan wajah keriput dan janggut panjang.

Saat keterkejutan belum sepenuhnya usai, Rania justru kian berimajinasi liar. Mendengar akan dijodohkan dengan seorang ustaz, gadis itu malah takut akan dijadikan istri simpanan, atau bahkan akan tinggal serumah dengan perempuan yang lebih dahulu menjadi istri si ustaz dalam bayangannya. Ia akan disuruh-suruh, dicibir tetangga, dituduh pelakor hingga menjadi buronan polisi karena terbukti meracuni suami atau salah satu dari madunya.

Ketika kesadarannya pulih, Rania sontak menjerit, “Mama, Papa mau jodohin aku sama ustaz!” Gadis itu hendak bangkit, tetapi tubuhnya masih tertanam kuat di kursi.

“Pa.” Risa tersentak kaget. “Kita udah bicarain hal ini sebelumnya. Rania masih—”

Ratnawan tak mengindahkan ucapan maupun gestur yang ditampilkan Risa. Ia berjongkok, kemudian menatap Rania dengan dalam. “Kamu bakal nikah besok.”

Mata Rania serasa turun ke perut. Ia ingin berguling-guling di lantai sembari menangis histeris. Mungkin ini hanya sekadar candaan, tetapi tetap saja terdengar menyebalkan, apalagi kalau sampai menjadi kenyataan. Syok mendengar penuturan tersebut, penglihatan gadis itu tiba-tiba memudar hingga muncul titik-titik terang yang membawanya ke kegelapan mimpi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status